Senin, 12 Mei 2008

Teladan yang Lain


Ketika ia pertama kali tiba di rumah kami, aku dan istriku merasa gembira. Pasalnya, sudah selama empat bulan terakhir ini, kami berdua merasa kesulitan untuk menemukan pengasuh bayi. Tapi, puji Tuhan, karena kebaikan hati seorang teman, ia dapat hadir di sini.Teman kami ini mendengarkan dan mengerti kesulitan yang kami hadapi. Tanpa meminta uang jasa atau imbalan, tiba-tiba ia berinisiatif pulang ke desanya untuk mendapatkan seorang pengasuh bayi bagi kami. Ia pun tidak butuh waktu lama untuk mencari. Kabarnya, dua hari setelah itu, ia menemukan ibu ini.
Ibu ini adalah seorang wanita sederhana. Ia tampak tidak terlalu tua untuk wanita berumur 46 tahun. Cara bertuturnya masih lugu. Logat Purwokerto-nya masih terdengar kental. Tingkah lakunya pun seringkali kikuk. Di hadapan kami, sebisa mungkin, ia berusaha mengucapkan bahasa yang tepat berdasarkan tata krama orang Jawa. Bahkan jika kami berpapasan, ia masih menunduk-nunduk seolah-olah kami adalah para priyayi tempo dulu. Hal ini sungguh menggelikan sebenarnya karena kami sudah jauh dengan tradisi demikian. Kami sudah terlalu lama menghisap hawa egaliter kota Metropolitan ini. Namun, di balik itu tindak-tanduknya yang lugu, ibu ini ternyata sangat menyayangi anak kami semata wayang. Ia tidak pernah canggung untuk menggendongnya. Ia tidak pernah canggung untuk memandikannya. Tampaknya, anak kami pun merasa nyaman. Setiap kali ia berada di gendongan ibu ini, ia bisa tertidur pulas dan bahkan dapat tertawa seriang-riangnya.
Ibu ini, boleh dikatakan, menjadi figur lain yang sangat akrab bagi anak kami. Pernah, anak kami menangis tersedu-sedu, ketika ibu ini pulang menemui suaminya di daerah Bekasi. Meski hanya beberapa jam ia pergi, anak kami tampak merasa kehilangan. Kami tahu bahwa perlahan-lahan, hubungan kasih diantara mereka berdua telah terjalin. Mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Keadaan demikian tidak membuat kami berdua merasa iri. Kami justru merasa sebaliknya. Kami merasa senang bukan karena tugas kami untuk merawatnya berkurang. Kami merasa senang bukan karena tanggung jawab kami untuk mencintainya tidak diperlukan lagi. Tapi, kami merasa senang karena sejak dini anak kami dapat membuka dirinya terhadap kehadiran orang lain dalam hidupnya. Kami merasa senang karena bersama ibu ini, anak kami dapat mengalami kebaikan dari orang lain.
Setulus apakah kasih ibu ini kepada anak kami? Jujur, kami tidak pernah bertanya tentang hal itu. Kami hanya percaya bahwa ibu ini memiliki hati yang mulia untuk ikut serta membentuk watak anak kami. Ia pun ikut menanamkan sikap disiplin sebagaimana kami berikan sejak dini. Jam 12 siang, misalnya, ibu ini selalu memberikan makan siang kepada anak kami. Ia selalu tepat waktu. Atau ketika kami bertiga hendak pergi ke gereja, ia sudah terlebih dulu menyiapkan beberapa pakaian ganti, bedak, tissue, dan minyak telon di dalam tas. Sementara kami menunaikan ibadah, ibu ini justru sibuk merapikan pakaian dan mainannya.
Melihat apa yang dilakukannya terhadap anak kami, aku dan istriku mencoba berpikir positif. Kami dapat memaklumi bahwa apa yang dilakukannya bukanlah dorongan naluri semata-mata, melainkan juga sebuah tanggung jawab walaupun ibu ini memang belum dikarunia satu anak pun dari perkawinannya. Kami hanya percaya bahwa kehadirannya itu mampu membuat anak kami kaya dengan kebaikan hati.
Kendati begitu, kami juga percaya bahwa anak kami adalah tanggung jawab kami sepenuhnya. Pendidikan, kenyamanan, dan kasih sayang mutlak kami usahakan baginya. Namun, dalam proses itu, orang lain di luar kami tidak kami lupakan. Ibu ini menjadi sarana baginya untuk memahami bahwa cinta Tuhan ada di dalam diri setiap orang yang berkehendak baik. Kami berharap agar anak kami kelak dapat berempati kepada siapa saja. Semoga ia dapat menyebut orang-orang di luar dirinya dalam doa-doanya sebagaimana ibu ini selalu menyebut nama anak kami dalam doa-doanya yang khusyuk menjelang fajar.

Tidak ada komentar: