Tampilkan postingan dengan label Aku dan Sekolah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aku dan Sekolah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 November 2008

Di Balik Kemenangan untuk Semua


Hope" is the thing with feathers – That perches in the soul – And sings the tune without the words –And never stops at all.- Emily Dickinson


Beberapa waktu lalu tim sepak bola IICS menjadi raja lapangan futsal di sekolah Central, Jakarta Barat. Luar biasa, perjuangan murid-muridku itu! Baru tahun ini aku melihat binar kegembiraan nyata yang terpancar dari mata mereka. Rutinitas sekolah yang padat mungkin telah merantai mata mereka sedemikian rupa sehingga mereka lupa bahwa warna cerah mata menampilkan kejujuran hati. Kemenangan 5-3 atas Sekolah Sevilla yang bertarung tak kelah hebat itu, seolah-olah mau mengingatkan kembali hubungan antara kegembiraan dan kejujuran.

Hari ini, perlu diakui bahwa wajah pendidikan kita sudah tidak mampu menampilkan kegembiraan dan kejujuran itu secara bersamaan. Pasalnya, pendidikan yang berlaku sekarang adalah pendidikan topeng. Dalam jenis pendidikan ini, anak tidak diajak untuk menemukan dirinya secara otentik atau original, tetapi didorong semakin dalam untuk menjadi orang lain. Didorong semakin dalam untuk berpikir sebagai konsumen, bukan sebagai kreator atau pencipta. Pelajaran sains, matematika, dan ekonomi hanya menjadi salah satu alat justifikasi yang paling rasional bahwa seolah-olah manusia hidup dalam logika hitung-menghitung. Mengapa sains, matematika, dan ekonomi tidak pernah didaratkan sebagai sebuah paradigma filosofis dalam memandang kehidupan?


Bukankah, pendidikan hari ini secara diam-diam telah memisahkan sekolah dengan kegembiraan? Melalui tugas-tugas yang terlampau banyak (dan mungkin juga tidak perlu karena tidak mengandung nilai pendidikan etis), keceriaan masa muda murid-murid dirampas dan diganti dengan banyaknya les tambahan dan beban kurikulum yang semakin rumit. Sekolah menjadi salah satu penjara kreatif yang diciptakan oleh orang modern sebagai pusat pelatihan para pesuruh, para buruh, dan para pegawai yang dapat ditundukkan oleh sejumlah sistem rasional dalam masyarakat modern. Sekolah bukan lagi menjadi sebuah ruang bermain yang memungkinkan setiap siswa dapat menentukan langkah dan keputusan hidupnya secara lebih mandiri dan terbuka. Celakanya, selama kurang lebih 8 jam, semua orang tua berpikiran untuk menyerahkan jiwa anak-anak mereka ke dalam kungkungan sistem destruktif demikian.

Pertandingan sepak bola seperti yang dilakukan oleh murid-muridku adalah salah satu usaha untuk menemukan kegembiraan yang sejati. Ketika mereka berlari, energi hidup pun diletupkan. Ketika mereka berteriak, energi kemarahan pun tersalurkan. Ketika mereka bekerja sama, energi solidaritas mereka dilontarkan. Ketika mereka dapat memenangkan pertandingan, segala energi persaudaraan terkristal di sana. Inilah yang disebut kegembiraan yang sesungguhnya. Tidak ada topeng. Tidak ada yang perlu ditutupi. Semuanya terbuka seperti keringat yang menetes di tubuh mereka.

Aku begitu kagum dengan kemampuan murid-murid dalam bekerja sama. Jujur, hal ini seringkali tidak dapat aku lihat jika aku berada di dalam kelas bersama mereka. Satu per satu karakter murid tiba-tiba berubah. Bak manusia matang yang sedang berjuang demi mempertahankan dignity-nya, mereka mengemban tanggung jawab yang cukup besar agar tim mereka dapat menang atau setidak-tidaknya tidak kalah secara memalukan.

Sayangnya, dalam pendidikan topeng, olah raga sudah dipandang tidak lebih baik daripada sains, matematika, atau ekonomi. Olah raga seolah-olah hanya menjadi sebuah bidang yang dikhususkan bagi mereka yang gemar okol daripada akal. Stereotipisasi demikian sudah terlanjur popular di tanah pertiwi ini. Akibatnya, memang dapat diduga bahwa olahraga kita tidak pernah maju. Mengapa? Jawabnya, karena tidak pernah ada dukungan yang kondusif dari dunia pendidikan sekaligus. Pendidikan kita telah mendiskriminasikan pelajaran olah raga sebagai pelajaran kelas ketiga, setelah pelajaran bahasa, sastra, dan seni musik. Secara membabi buta, lapangan olahraga sudah terlanjur dimaknai sebagai ruang para idiot yang gagap teknologi. Akibatnya, sampai hari ini pun kita tidak pernah bisa menghargai pertandingan olahraga sebagai ruang komunikasi yang paling tulus antara atlet dan .Olahraga hari ini hanya menjadi satu sumber pendapatan bagi para korporat kapitalis dunia hiburan. Pada akhirnya, kita hampir tidak pernah bisa berlaku elegan sebagai penonton atau pemain.

Kapankah Indonesia dapat menjadi negara seperti Brasil dan Argentina yang menjadikan olahraga sebagai spirit bangsa yang tidak dapat ditolak atau diasingkan? Bukankah melalui olahraga, kita justru diajak untuk menghargainya sebagai sebuah sarana komunikasi kemanusiaan yang paling universal, selain musik dan film?

Bermain bola sebagai satu tim adalah sebuah kenangan yang manis bagi kaum muda. Kita tidak hanya berbicara tentang kegembiraan, melainkan juga kejujuran hati. Aku yakin bahwa murid-muridku telah mengalami hal itu ketika mereka bekerja-letih dan bekerja sama di lapangan itu. Aku gembira karena Ricky, Hezranov, Nicky, Matheus, Natanael, Kevin S, Kevin O, McKinley, Rafael, Toni, Timothy, atau Reinhard telah membuktikan bahwa mereka adalah generasi baru yang mau berani jujur dengan kegembiraan dalam kebersamaan mereka. Aku bangga pada mereka. Proficiat! Salut!Tuhan memberkati.

Kamis, 22 Mei 2008

Bukan Angkatan Setengah Hati! Sebuah Ode untuk "Barudak 12 UN".



Satu hari setelah Ujian Nasional Bahasa Indonesia diadakan, saya dikejutkan oleh berita yang tidak enak. Sebuah sekolah di Jawa Timur dikepung oleh sejumlah pasukan antiteroris Detasemen 88! Konon kabarnya, para aparat telah mencium sebuah konspirasi besar dalam menyukseskan Ujian Nasional. Baru kali ini, saya membaca, senjata-senjata mesin otomatis milik aparat diacungkan kepada sejumlah guru yang ingin anak didiknya lulus walafiat!

Jarak antara kita dengan berita yang tidak menyenangkan itu mungkin beratus-ratus kilometer. Namun, jarak kepanikan kita terhadap Ujian Nasional ini hanya sejengkal jari. Begitu dekat. Saya, yang ditunjuk oleh sekolah sebagai wali kelas 12 UN, sejak awal sudah merasakan detak itu. Ujian Nasional seolah-olah menjadi lonceng kematian bagi kita semua.

Pada awalnya di dalam kelas ini terdapat enam belas siswa dan satu penggembira. Jujur, hanya tiga orang siswa yang saya kenal, Rendy, Senna, dan Denica. Saya kenal Rendy sejak sekolah masih berada di Puri Indah. Hampir setiap hari kami selalu berpapasan, terutama ketika hendak ke kamar kecil. Sementara Senna, saya kenali hanya dari poster-poster yang dipasang oleh sekolah sebagai sarana promosi dan propaganda. Sedangkan Denica sudah sungguh sangat terkenal di antara guru sebagai siswa “ngeyel” dan langganan SAM.

Namun, setelah dua-tiga bulan, di dalam kelas ini sudah terbentuk sebuah konspirasi canggih antara murid dengan guru! Tentu saja, bukan untuk melakukan makar terhadap negara, tetapi sukses bersama dalam Ujian Nasional. Ini kehendak yang sangat mulia, meski perlu diakui, punya risiko yang cukup besar. Konspirasi ini membuat murid dan guru saling mengenal. Tidak sulit untuk mulai menghapal nama atau kebiasaan masing-masing. Pertemuan yang intens dan super instant ini menciptakan sebuah gaya komunikasi yang bersifat simbiosis mutualisma. Pasalnya, waktu selalu mengejar dan detak kepanikan semakin hari semakin terasa dalam dada kami!

Seturut jalannya waktu, jumlah young gunners yang bertahan tinggal empat belas. Dua orang teman telah memilih jalan lain. Namun, bukan berarti tanpa masalah. Beberapa orang IPS mau tidak mau harus bergabung dengan teman-teman IPA. Ini jelas kasus yang pelik dan berisiko. Namun, the show must go on! Saya dibuat trenyuh oleh persaudaraan kalian. Aura kebersamaan telah menyelamatkan harapan yang mulai kandas. Salut!

Kini, tinggal menunggu sejumput waktu! Kerja keras kalian telah diaktualkan. Doa-doa pun telah dipanjatkan dengan sepenuh hati. Angkatan ini sudah mau ber-peregrinasi bersama Tuhan Yesus menuju Golgota. Tidak ada teologi sukses dalam kebangkitan, tentunya! Semoga kabar gembira akan terekam dalam hape kalian, tanggal 14 Juni 2008, nanti. Sukses selalu, saya doakan. Tuhan memberkati.