Senin, 12 Mei 2008

Ketika Keluarga Menjadi Jawaban


Kepada seorang teman, sebuah pesan singkat aku kirim. Isinya benar-benar singkat. “Maaf, aku tidak hadir. Anakku sakit. Terima kasih.” Ini pesan kedua yang aku kirim kepadanya selama seminggu ini. Meski begitu, toh, teman ini pun masih membalas pesan itu dengan isi yang sama. “Urus dulu anakmu. Sisanya akan kami tangani. Terima kasih telah memberitahu.” Meski lega, masih ada yang mengganjal.
Anakku masih bayi 2 bulan. Matanya sudah terbuka. Jernih dan terang. Meski hidungnya pesek seperti punyaku, ada lesung pipit di kedua pipinya. Baru-baru ini, ia semakin sering berceloteh dan tersenyum pada siapa pun yang menyapanya. Anakku adalah anugerah Tuhan yang ajaib!
Namun, sudah beberapa hari ini, ia sering rewel. Badannya panas. Ia pun tidak dapat tidur seperti biasanya. Istriku sedih karena hal itu. Ia sempat merasa bersalah. Ia takut air susu yang diberikannya menjadi penyebab. Maka kami memutuskan pergi ke dokter spesialis. Meski sebagian uang sudah kami setorkan pada induk semang kontrakan, demi kesehatan anak, kami tetap membawanya. Demi anak, kami berikan segalanya, meski kami harus kehilangan segalanya.
Konon, setiap orang tua akan khawatir dan panik ketika anak mereka sakit. Mereka pun akan bertindak seperti kami. Tanpa harus berpikir panjang, demi anak, segalanya dilakukan. Namun, bagi sebagian orang, hal ini adalah tindakan bodoh. Berkorban demi anak adalah hal yang sia-sia. “Ketika masih kecil, mereka memang menggemaskan. Apapun kita lakukan agar rasa gemas itu tidak hilang. Namun, setelah mereka besar dan dewasa, mereka membuat kami cemas!” begitu kata orang-orang itu. Wajarlah jika mereka berkata demikian. Wajarlah jika mereka bersikap demikian. Orang-orang itu merasa dikecewakan oleh anak-anak mereka.
Aku dan istriku paham bahwa kami harus siap dengan berbagai konsekuensi, ketika anak kami lahir. Bahkan, sejak ia berada dalam kandungan, kami sudah membahas hal itu. Kami berdua harus memperhatikan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, rasa aman, dan segalanya. Kata ‘segalanya’ sengaja aku pergunakan untuk mengganti segala tuntutan modernisasi yang kian lama kian kompleks. Pasalnya, kata segalanya bisa saja berarti beberapa barang seperti mainannya, pakaiannya, makanannya, jamnya, mobilnya, dan sebagainya. Celakanya, dari hari ke hari, barang-barang itu semakin mengurung kita, seiring dengan perkembangan teknologi media.
Untuk saat ini, kami berdua tidak berpikir sejauh itu. Sampai hari ini kami hanya dapat memberikan kenyamanan dan keamanan. Kami hanya dapat memberi peluk dan cium. Kami tidak ingin ia sakit. Kami tidak ingin ia sedih. Kami ingin ia terus berceloteh. Kami ingin ia dapat segera merangkak, berdiri, dan berlari!
Harapan yang kami bangun mungkin sangat sederhana pada masa kini. Aku dan istriku paham bahwa suatu hari kami harus memiliki rumah dan pekarangan sendiri. Aku dan istriku juga paham bahwa demi pendidikannya kelak, kami harus menyisakan uang kami untuk tabungan, meskipun hal ini masih sebatas impian. Namun, kami pun tidak dapat menutup mata. Di sekitar kami, semakin jelas terlihat bahwa manusia masa kini semakin sering untuk melawan hukum alam. Orang tua meninggalkan anaknya. Anak berlaku semena-mena pada orang tua. Situasi ini bukanlah sekadar milik jagad infotainment. Situasi ini bahkan telah merambah doa umat. Usia pernikahan kami yang masih muda seringkali membuat kami tersentak dengan doa demikian. Setiap doa itu terdengar, kami hanya bisa saling berpegangan tangan. Aku dan istriku yakin, dalam nama Allah, segalanya akan menjadi lebih baik. Kami ingin, tidak ada satupun yang ditinggalkan hanya demi bujuk rayu modernitas. Keluarga adalah kerajaan Allah yang paling dekat dan nyata dalam hidup ini.
Kini bayiku mulai tersenyum lagi. Lesung pipitnya mulai terlihat lagi. Ia sudah tidak rewel. Diagnosis dokter telah menenangkan kepanikan kami. Maka, sebuah pesan singkat, aku kirim kepada temanku. “Maaf, telah banyak meninggalkan pekerjaan.Besok aku datang. Terima kasih.”Ini pesan pertamaku setelah anakku kembali sehat. Meski begitu, toh, teman ini pun tetap membalas dengan sebuah pesan baru. “Urus dulu keluargamu. Sisa honormu akan kami tambahkan. Terima kasih telah kembali lagi.”

Tidak ada komentar: