Senin, 12 Mei 2008

Guru, Orang Samaria, dan Taman Eden


“Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
(Matius 6:24)

Tidak mudah untuk memilih profesi guru sebagai sebuah panggilan hidup. Kondisi pendidikan yang sangat memprihatinkan dan percaturan ekonomi yang semakin sengit membuat profesi ini semakin tidak diminati di negara kita. Paling tidak, jika profesi ini dipilih, perlu diakui bahwa profesi guru pada masa ini seringkali dianggap sebagai “jalan tengah” untuk mengatasi minimnya lowongan pekerjaan. Dari masa ke masa, memang, profesi guru tidak pernah dianggap sebagai sebuah lahan yang basah. Profesi ini cenderung digambarkan sebagai hamparan padang gurun yang tandus. Dengan kata lain, profesi ini dianggap tidak akan pernah memberikan keuntungan finansial yang besar kepada para pelakunya sebagaimana terjadi pada dunia bisnis. Intinya, kehidupan guru di Republik ini dekat dengan lubang hitam keprihatinan dan kemiskinan. Karena hal itu pula, ada sebuah pertanyaan yang meluncur ke hadapan kita. Bagaimanakah mungkin seorang guru yang lapar akan makanan dan kebutuhan primer yang lain mampu mengenyangkan murid yang lapar akan pengetahuan? Sebagai akibatnya, wajarlah jika masyarakat kita, secara sadar atau tidak, menyetujui lagu Umar Bakrie yang dinyanyikan oleh Iwan Fals sebagai gambaran nyata dari nasib guru di Indonesia. Mereka memberikan pengabdian di ruang-ruang yang pengab.Bahkan, secara naif, masyarakat dan pemerintah pun tampaknya sepakat untuk membahasakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam bahasa itu tersirat bahwa nasib guru memang harus menanggung penderitaan. Lantas, bagaimana saya merefleksikan dan memandang fenomena itu?

Mencoba untuk Menjadi Orang Samaria yang Baik Hati
Ketika saya memutuskan untuk berkarya sebagai seorang guru secara profesional, beberapa konsekuensi di atas memang belum dapat saya pahami sepenuhnya. Yang ada pada saat itu hanyalah sebuah keinginan untuk memberikan pelayanan dan pengetahuan kepada anak didik. Kendati begitu, keinginan tersebut tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Ada beberapa momen yang tampaknya mempengaruhi saya untuk lebih memperhatikan keinginan itu. Pertama, saya sangat terinspirasi oleh kedua orang tua saya. Ibu saya adalah seorang guru. Hampir lebih dari empat puluh tahun, beliau mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Sebelum ia menjalani masa pensiunnya, ia adalah seorang guru Taman Kanak-Kanak di sebuah yayasan pendidikan Katolik. Sementara itu, ayah saya adalah seorang penyuluh pertanian. Sampai akhir hayatnya, ia pun telah mendedikasikan dirinya bagi pertanian dan nasib petani. Obsesinya adalah bagaimana petani dapat sejahtera tanpa harus merusak tanah pertaniannya sendiri. Saya sangat terinspirasi oleh aktivisme yang mereka lakukan. Mereka bekerja agar orang lain dapat lebih bahagia, lebih berguna, lebih sejahtera, dan lebih bermartabat. Kedua, kondisi desa tempat kami tinggal yang jauh dari centre of exellence memanggil saya untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat. Fasilitas penerangan dan transportasi yang masih minim membuat desa kami yang terletak di sebelah barat candi Prambanan itu jauh dari sumber informasi. Hal ini seringkali membuat beberapa sekolah yang didirikan oleh pemerintah tidak berfungsi. Sekolah-sekolah itu teronggok kosong, tidak terurus. Bahkan seringkali dipergunakan sebagai tempat untuk mepe (menjemur) gabah. Sementara itu, banyak anak usia sekolah lebih memilih untuk menggembalakan ternaknya atau mengusir burung dan tikus di pematang sawah ketimbang belajar membaca.

Kedua hal itulah yang setidak-tidaknya menjadi alasan mengapa saya memilih untuk terus bertekun dalam profesi ini. Ayah dan ibu saya telah memberikan pengaruh yang mendalam kepada saya selama bertahun-tahun. Rumah menjadi tempat belajar pertama. Masih terekam jelas dalam ingatan saya bagaimana mereka berdua selalu berpesan kepada kami,anak-anaknya, agar menjadi sesama bagi orang lain. Ayah gemar menuturkan kisah Orang Samaria yang Baik Hati ketika kami sedang berkumpul di ruang tengah. Anehnya, kami pun tidak pernah bosan untuk mendengarkannya. Bagi ayah, orang Samaria yang diceritakan itu menjadi cermin dari orang-orang yang bekerja tanpa pamrih demi keselamatan orang lain.

Meskipun begitu, perlu diakui bahwa menjadi orang Samaria yang baik hati bukanlah hal yang mudah pada situasi yang tidak menentu. Keikhlasan hati untuk membantu sesama seringkali disalahtafsirkan sebagai ancaman bagi kelompok tertentu. Isu mengenai SARA yang dihembuskan oleh Orde Baru dan trauma pasca gerakan 30 September 1965 masih tertanam dalam-dalam pada beberapa keluarga di desa kami. Seringkali hal ini tampak seperti fenomena gunung es yang tiba-tiba saja dapat meledak dalam berbagai peristiwa politik seperti pemilihan Kepala Dusun atau Lurah dan pemilihan umum. Meskipun sehari-hari kami semua dapat saling ramah menyapa ketika bertemu di jalan setapak, pada peristiwa-peristiwa itu, secara tiba-tiba kami pun dapat segera saling mencederai. Celakanya, kecurigaan-kecurigaan yang tidak berdasar ini selalu diturunkan dari generasi ke generasi. Hal ini jugalah yang membuat desa kami terkungkung pada egoisme masa lalu sehingga tidak pernah berpikir untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan mungkin boleh dikatakan sangat rendah. Namun, hal demikian tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk hidup lebih bermartabat. Masih ada celah di jalan yang sempit itu. Bahkan masih ada harapan yang terbentang luas di sana. Anak-anak adalah harapan yang saya maksud itu. Dari sinilah saya mulai terlibat dengan dunia pendidikan. Pada awalnya, saya mengumpulkan beberapa anak yang biasanya hanya bermain setelah selesai menggembalakan ternak-ternaknya. Dalam kelompok kecil ini, saya tidak berusaha untuk mengasingkan mereka dari lingkungan dan kebiasaan mereka. Kami tetap bermain. Kami tetap bergembira. Ayah saya menyediakan beranda depan sebagai ruang kelas. Ibu pun menyumbangkan beberapa alat peraga dan permainan yang sudah tidak terpakai. Meskipun fasilitas yang dipergunakan sangat terbatas dan usang, kelas selalu dimulai dari pukul 16.00 sampai 17.30. Meskipun hanya satu setengah jam kami bertemu, setiap hari kami dapat bernyanyi, menari, menggambar, dan belajar mengeja. Setiap hari kelas pun semakin diminati oleh anak-anak lain dan bahkan remaja.

Selama 4 bulan, kelas berjalan sebagai sebuah sekolah alternatif. Karena perkembangannya semakin kondusif, saya meminta bantuan beberapa teman dari Mudika setempat untuk ikut menemani anak-anak dan remaja itu. Sayangnya, hal ini tidak berlangsung semulus yang diharapkan. Ada rumor yang sempat terdengar bahwa saya dan teman-teman melakukan kristenisasi terhadap anak-anak itu. Anak-anak lebih memilih untuk datang ke kelas alternatif ketimbang belajar mengaji bersama seorang ustadz dari desa tetangga. Ada keluhan pula bahwa kelas alternatif kami ternyata membuat anak-anak itu mulai malas menggembalakan ternaknya. Pada awalnya, saya dan teman-teman mencoba untuk mengganggap rumor itu sebagai angin lalu. Namun, astaga, kami tidak pernah menyangka bahwa efek rumor itu sangat serius. Memasuki bulan ke-5, satu per satu anak-anak didik kami mengundurkan diri tanpa sebab yang jelas. Mereka bahkan tidak pernah mau mengatakan alasan pengunduran diri. Mereka hanya terdiam dan berlari setelah itu. Saya mengira, mereka bungkam karena mereka dipaksa untuk bungkam. Pertengahan bulan ke-6, kelas benar-benar sepi.Tiada seorang anak pun yang datang. Tiada tepuk tangan. Tiada nyanyian ceria. Tiada suara keras mengeja-eja kata-kata di sudut kebun itu. Saya sungguh sedih.

Namun, kesedihan itu tidak berlangsung lama. Seorang aktivis gereja dari desa tetangga meminta bantuan saya untuk menyelenggarakan kursus bahasa Inggris bagi para mudika. Kebetulan kursus bahasa Inggris bagi mudika merupakan program kerjanya yang belum terlaksana. Ajakan itu saya sambut dengan gembira. Kursus tersebut direncanakan berlangsung seminggu dua kali, hari Minggu sore dan Kamis sore. Kursus dilaksanakan di dalam gereja stasi yang berjarak sekitar 8 km dari rumah. Gereja itu terletak di tengah sawah. Meskipun belum selesai dibangun, gereja ini sudah memiliki sebuah papan tulis hitam, sebuah meja tulis, dan beberapa bangku. Tampaknya selain berfungsi sebagai tempat ibadah, gereja ini juga dipergunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat. Sebagian besar peserta kursus adalah anak-anak SD yang duduk di bangku kelas 6 dan beberapa remaja SMP dan SMU. Saya ingat, peserta yang datang pada hari pertama berjumlah 6 orang. Setelah dua kali pertemuan, jumlah mereka terus bertambah. Hebatnya, para peserta kursus tidak hanya berasal dari umat gereja, melainkan juga penduduk setempat yang beragama lain.

Hampir sekitar 5 bulan kami berproses bersama. Saya mulai menjalin persahabatan dengan mereka. Mereka lebih terbuka untuk mengkomunikasikan segala kesulitan dalam mempelajari bahasa Inggris. Bahkan tidak jarang mereka pun bercerita tentang hal-hal yang bersifat pribadi. Mereka tidak sungkan untuk mengatakan bahwa hari ini ayah dan ibu mereka bertengkar sengit atau beberapa minggu lalu panen tembakau mereka gagal. Namun, hal yang lebih menyenangkan adalah bahwa di dalam ruang tersebut kami membangun dialog yang kondusif. Kebersamaan kami telah melampaui batas-batas dogma agama yang cenderung kaku dan status sosial yang mengkotak-kotakkan orang secara irasional. Oleh karena itu, setiap kali saya mencoba untuk tidak absen dan terlambat dalam kursus itu. Setelah kuliah selesai, saya selalu mempersiapkan diri untuk sesegera mungkin berada di sana. Jarak antara Bulaksumur dan Prambanan menjadi sangat dekat. Saya sungguh gembira berada bersama mereka. Karena kursus ini bersifat karitatif, tidak pernah terbersit dalam hati saya untuk meminta balas jasa dari mereka. Namun, sebagai gantinya, mereka secara diam-diam selalu menyediakan sepiring pisang goreng, segelas teh manis panas, dan 2 batang Djie Sam Soe di atas meja tulis. Rejeki yang luar biasa untuk melepaskan lelah!

Kursus yang sangat menyenangkan itu pun harus berhenti. Gereja stasi itu akan dibangun kembali. Pada saat itu kami mulai kesulitan untuk mencari tempat pengganti. Rasa-rasanya tidak ada tempat yang dapat menggantikan gereja itu. Selain ruangnya yang sangat nyaman, letak gereja stasi itu sangat strategis. Posisinya terletak di tengah-tengah jalur yang dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak. Karena hal itu, dewan stasi menganjurkan agar kursus dihentikan sementara waktu sambil menunggu pembangunan gereja selesai. Dengan hati yang sungguh berat, saya harus menerima keputusan itu. Namun, tidak lama setelah itu, tawaran lain datang kepada saya. Kali ini saya diminta untuk mengajar di sebuah sekolah formal!

Berproses dalam Ketulusan Bersama
Sekolah itu adalah sekolah menengah kejuruan yang dirancang untuk mendidik tenaga-tenaga muda dalam bidang industri pariwisata. Usianya belum genap 4 tahun, tetapi peminatnya cukup banyak. Sekolah yang terletak dekat Candi Prambanan itu baru meluluskan satu angkatan. Hampir sebagian besar muridnya berasal dari daerah sekitar candi. Dengan fasilitas seadanya, para pengajar menjalankan sekolah itu. Saya kebetulan ditunjuk untuk menggantikan guru bidang studi bahasa Inggris yang sedang menjalani masa cuti hamil. Pada saat itu, saya mengajar 5 kelas dengan jumlah murid yang cukup banyak. Seingat saya, satu kelas diisi oleh 55 orang anak. Menurut saya, jumlah ini terlalu besar bagi ruang kelas yang hanya menyediakan 40 tempat duduk.

Berjumpa dengan murid-murid yang sedang mempersiapkan diri untuk terjun ke dalam dunia kerja sangatlah menarik. Mereka paham benar bahwa bahasa Inggris sungguh mereka perlukan dalam industri pariwisata. Bahasa Inggris menjadi bagian dari kesuksesan mereka kelak. Oleh karena itu, mereka berjuang mati-matian agar dalam pelajaran ini, mereka harus dapat mendapatkan nilai sebaik-baiknya. Mereka tahu bahwa dengan nilai bahasa Inggris yang baik, kesempatan bekerja di hotel atau biro perjalanan yang lebih baik semakin terbentang luas. Mereka juga mengerti bahwa masa studi yang sedang mereka laksanakan harus dituntaskan dengan sebaik-baiknya. Mereka paham bahwa bersekolah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Semakin dekat saya berhubungan dengan mereka, semakin dalam pula saya mengenal berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Selain kendala biaya yang seringkali merintangi keinginan mereka untuk mengubah nasib, mereka juga harus menghadapi tegangan antara budaya tradisional yang berlaku di rumah dan masyarakat dengan budaya modern yang seringkali timbul sebagai ekses dunia pariwisata. Saya sempat tercenung bahwa di daerah itu pernikahan di usia muda seringkali terjadi. Beberapa siswi berprestasi yang saya kenal baik pun menjadi “korban” dari tradisi itu. Pada umumnya mereka tidak dapat menolak karena mereka dipaksa untuk mematuhi keputusan keluarga. Entah dengan alasan penguasaan tanah atau pekerjaan, pernikahan itu tidak pernah didasarkan rasa cinta. Namun, hal yang paling mengejutkan saya adalah bahwa tidak sedikit dari murid-murid saya bekerja sebagai wanita dan pria penghibur para turis domestik pada malam hari! Pagi hari mereka bersekolah, tetapi sore hari mereka sudah berdandan dan berkumpul di beberapa losmen atau hotel melati yang terdapat di sekitar candi. Celakanya, apa yang mereka lakukan itu diketahui dan bahkan disetujui oleh keluarga mereka!

Kondisi seperti itu ternyata telah berlangsung lama di daerah sekitar candi. Hal demikian sudah menjadi rahasia umum. Saya benar-benar prihatin dengan hal itu. Saya tidak tahu apakah hal ini memang merupakan konsekuensi yang harus serta merta ditanggung oleh daerah-daerah yang dipergunakan sebagai lokasi pariwisata. Apakah hal ini merupakan ekses dari kebutuhan ekonomis yang kian hari kian mencekik kehidupan masyarakat sehingga jalan apapun dihalalkan? Ataukah hal ini memang sengaja dikonstruksi oleh pemerintah dan lembaga-lembaga sosial agar mereka dapat berfungsi sebagai pemegang otoritas moral? Saya hanya dapat menggelengkan kepala. Yang saya tahu, bagaimanapun juga, mereka adalah sekadar korban. Oleh karena itu, saya tidak memiliki hak untuk menghakimi mereka sebagai penjahat moral. Apabila hal demikian saya lakukan, itu menandakan bahwa saya tidak memberikan alternatif bagi mereka untuk mencari jalan lain yang lebih baik. Saya memang tidak dapat berbuat banyak selain menerima mereka apa adanya sebagai murid-murid yang masih memiliki harapan yang lebih baik. Ya, saya masih melihat harapan itu bersinar di antara mereka. Bola-bola mata itu tidak dapat menipu. Hampir sebagian besar murid menunjukkan semangat belajar yang luar biasa. Mereka mulai banyak bertanya. Bahkan mereka tidak sungkan untuk datang ke rumah saya. Seringkali mereka datang berbondong-bondong dengan menggunakan sepeda onthel. Tidak jarang pula mereka datang sambil menjinjing beberapa hasil kebun seperti pisang, pepaya, mangga, atau jagung. Selain ketulusan dalam persahabatan, saya tahu, kedatangan mereka menyiratkan keinginan mereka untuk maju. Mereka ingin masa depan yang lebih baik.

Mencari Originalitas Batin
Setelah saya berkecimpung secara formal dalam dunia pendidikan, lambat laun saya mulai menyadari bahwa menjadi guru bukanlah sekadar mengajar atau mendidik. Menjadi guru adalah sebuah panggilan untuk memberikan kabar dan harapan akan masa depan yang lebih baik kepada peserta didik. Meskipun istilah masa depan tampak abstrak, tetapi harapan tidak pernah bersifat ilusif. Harapan adalah mata rantai dari semua impian dan imajinasi. Harapan menjadi sangat potensial dalam mewujudkan kesejahteraan sebagai sebuah kondisi yang tak terbatas bagi rasa nyaman dan rasa aman.

Setelah berkarya di desa, saya dipanggil oleh sebuah yayasan untuk mengajar di Jakarta. Tentu saja, hal ini sangat menantang jiwa muda saya pada saat itu. Karena panggilan itu pula, saya menampik tawaran kerja lain yang lebih menjanjikan secara finansial. Jakarta, kota metropolitan, tempat jutaan orang terdampar di sana, mulai menyapa saya. Di kota ini, saya diminta untuk mengajar bahasa Indonesia, bidang studi yang memang saya lebih kuasai daripada bahasa Inggris. Dengan barang bawaan dan uang seadanya, saya datang ke sekolah. Meskipun sempat tersesat, saya disambut dengan hangat. Mereka menyediakan tempat berteduh sementara bagi saya. Bahkan, hal yang tidak pernah saya lupakan, suster pemimpin yayasan memberikan uang sebesar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sebagai modal. Jumlah itu sangat besar bila dibandingkan dengan honor yang saya terima di sekolah menengah kejuruan. Dengan uang itu, saya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari selama beberapa waktu.

Hampir sebagian besar murid yang saya ampu adalah warga keturunan Cina yang hidupnya di sekitar pemukiman yang padat dan kumuh. Di dalam pemukiman itu, mereka harus bertetangga dengan para PSK dan kuli pasar yang bekerja di sekitar Mangga Besar. Kehidupan ekonomi mereka yang pas-pasan membuat mereka tampil apa adanya. Mereka seringkali tidak dapat mengontrol perangai mereka. Tidak heran bahwa mereka lebih senang berkelahi atau mengumpat dalam menyikapi berbagai masalah. Kebanyakan dari murid-murid itu pun tidak memiliki akte kelahiran. Pada umumnya, mereka berasal dari keluarga single parent. Boleh dikatakan, mereka menjadi kelompok sosial yang tidak beruntung. Identitas mereka terjepit di antara kehidupan sosial yang cenderung marginal dan kepentingan ekonomi yang terus menuntut.

Banyak orang mengatakan bahwa dahulu kala sekolah ini cukup elit karena mendidik anak-anak saudagar Cina. Namun, seiring dengan jalannya waktu, sekolah elit itu kini tinggal kenangan. Dari waktu ke waktu, grafik pencapaian prestasi pun semakin menurun karena mereka yang diterima di sekolah itu seringkali tidak diterima di sekolah lain. Selain itu, persaingan penerimaan murid antarsekolah pun semakin ketat. Untuk menjaga stabilitas, petugas yayasan seringkali tidak mau ambil pusing. Mereka akhirnya menerima siapa pun agar kuota dapat terpenuhi. Sayangnya, keputusan itu tidak pernah diimbangi oleh keinginan untuk memperbaiki atau menambah fasilitas studi.

Meskipun begitu, saya sangat senang dapat berjumpa dengan para murid di sana. Saya beruntung dapat bertemu dengan kebengalan dan kenakalan yang mereka tampilkan.Saya dapat belajar lebih banyak untuk menjadi seorang guru yang sabar, yang mau mendengarkan, dan yang mau berproses bersama. Meskipun pada awalnya, saya jengkel pada tingkah dan perangai mereka, saya masih dapat melihat celah dan harapan yang indah di sana. Toh bersama mereka pun, saya dapat menjumpai persahabatan yang indah sebagaimana pernah saya jalani bersama murid-murid saya di desa. Bersama mereka saya menjalani sebuah proses komunikasi yang tulus. Tidak ada pamrih. Tidak ada kepentingan di balik itu. Saya sungguh dapat memahami kerinduan hati mereka untuk disapa dan diperhatikan. Mereka merindukan figur orang tua yang mampu membimbing dan melindungi mereka dari badai dan taufan kota metropolitan yang bertubi-tubi.

Pengalaman bersama mereka membimbing saya pada proses refleksi bahwa tiada satu pun anak yang ingin masa depannya buram dan gelap. Tiada satupun anak yang ingin dibuang dan diasingkan jauh dari keluarga dan masyarakatnya. Tiada satupun anak yang ingin disakiti atau dibenci. Sebaliknya, setiap anak ingin agar masa depannya cemerlang. Setiap anak ingin agar keluarga dan masyarakat menerimanya. Setiap anak ingin dicintai dan dimiliki. Intinya, batin setiap anak ingin disejahterakan! Saya percaya jika refleksi demikian dipahami, pedagogi yang kita tawarkan bukanlah pedagogi yang semu dan artifisial. Dalam jenis pedagogi ini, originalitas batin anak didik dipasung dan bahkan ditiadakan. Pedagogi yang semu dan artifisial hanya menghasilkan robot, peniru, penjiplak, dan penjilat, bukan manusia sejati! Namun, jika originalitas batin kita rayakan, pedagogi yang kita tawarkan adalah pedagogi pembebasan dan pengharapan.

Menengok Kembali Taman Eden
Berdasarkan pengalaman saya di berbagai jenis sekolah, saya dapat mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang mampu menyelenggarakan pedagogi pembebasan dan pengharapan ini hanyalah sekolah-sekolah yang mampu menafikan kepentingan kapitalisme sebagai prioritas pertama. Namun, siapakah yang saat ini berani menafikan kepentingan itu?Siapakah yang berani melawan arus deras industri pendidikan yang telah menjamur di berbagai tempat? Adakah para guru yang bernaung di yayasan penyelenggara pendidikan seperti itu peduli terhadap pedagogi pembebasan dan pengharapan? Saya tidak tahu persis apa jawabnya.

Sekolah internasional dan nasional plus yang menjamur di berbagai daerah seringkali menawarkan metode pembelajaran yang lebih modern, temporer, dan berorientasi pada siswa. Metode-metode tersebut diadopsi dari berbagai negara yang telah berhasil menerapkankannya. Tentu saja, mengadopsi metode pembelajaran dari luar negeri bukanlah perkara yang murah. Sistem franchising membuat beberapa sekolah yang mengadopsi metode pembelajaran dari luar negeri itu harus seringkali menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Mereka harus terus memantau apakah mereka harus me-up grade kompetensi dan performance mereka atau tidak. Hal ini pun tidaklah murah. Akibatnya, sekolah-sekolah itu hanya dapat diakses oleh mereka yang beruang. Di kota besar seperti Jakarta, sekolah-sekolah demikian memiliki prestige-nya tersendiri. Keberadaan anak di sekolah tertentu menjadi cermin dari status sosial yang disandang oleh orang tuanya. Karena pola pikir seperti ini, anak seringkali dianggap sebagai sebuah investasi sebagaimana berlaku pada deposito atau asuransi! Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi originalitas batin anak. Mereka sama sekali tidak dapat belajar apapun, kecuali percaya bahwa uang dapat menyelesaikan segala hal.

Oleh sekolah-sekolah internasional dan nasional plus ini, kesejahteraan anak didik dilambangkan dengan berbagai fasilitas modern seperti kolam renang, sauna, studio musik, laptop, atau penyejuk udara. Tidak jarang pula, berbagai fasilitas yang ditawarkan menyentuh pula pada hak istimewa seperti impunitas. Murid tidak boleh dihukum, bukan karena hal itu bertentangan dengan prinsip pedagogi, tetapi karena murid adalah pelanggan yang harus diperlakukan bak raja. Tentu saja, sebagai seorang pelanggan, ia harus dijaga, diperhatikan, dan dirawat lebih daripada apa pun. Hal tadi jelas bermuara pada kepentingan industri dan bisnis pendidikan. Nah, ketika seorang guru telah menjadi abdi dari kepentingan itu, bagi saya, di sinilah krisis posisi guru bermula. Otoritasnya sebagai guru dan pendidik telah hilang.

Saya mungkin terlalu naif dalam memandang hal itu. Tapi, tidak ada masalah. Menjadi guru adalah sebuah profesi, saya percaya. Namun, saya lebih percaya bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup. Pernyataan ini tidak berarti bahwa keringat dan kerja keras guru dapat dihargai seenak perutnya. Pernyataan ini juga tidak berarti bahwa pengabdian guru dapat diperlakukan semena-mena. Dalam panggilan hidup ini, guru berusaha memberikan kabar dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Tugasnya seringkali dekat dengan tindak kenabian. Berbicara, berteriak, dan bahkan meratap agar murid-muridnya selamat. Kesejahteraan yang ditawarkannya bersifat abadi bagai sinar matahari. Bukan dalam materi yang berlimpah. Bukan dalam berbagai prestasi dan selembar ijazah. Akan tetapi, ia menunjukkan originalitas batin yang sesungguhnya dimiliki oleh manusia. Guru membuka manusia pada keindahan taman Eden yang dahulu pernah dimilikinya.Setidak-tidaknya hal inilah yang pernah saya jalani bersama para sahabat muda saya. Semoga mereka pun dapat memperlihatkan taman Eden itu kepada orang-orang sekitar mereka, seperti orang Samaria yang baik hati.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tiga serangkai Bom Bali akan segera dieksekusi menyusul Sumiarsih, Sugeng, Rio Martil. Mohon pendapat anda di http://hapushukumanmati.blogspot.com/