Senin, 12 Mei 2008

Merah Putih


Tiga malam ini, tidurku tak nyenyak. Ada suara gaduh di depan rumah yang mengusik. Hal ini tidak seperti biasanya terjadi. Biasanya, setelah lepas pukul sepuluh, hanya penjual mie tektek, hansip, dan kucing sajalah yang punya kuasa untuk mengeluarkan bebunyian. Setelah itu, tidak ada suara lain. Bahkan, suara jangkrik pun tidak terdengar sama sekali. Dari kota metropolitan ini, mereka telah beremigrasi jauh. Entah kemana.
Malam ketiga, akhirnya, kupingku semakin tidak tahan. Emosiku semakin meradang. Rasa ingin tahu pun semakin tidak terbendung. Tanpa perlu bertanya-tanya lagi, aku buka pintu rumah. Aku melongok dari tembok, hendak mengetahui suara gaduh itu berasal dari mana. Dari kejauhan aku melihat sekumpulan pemuda sedang tertawa terbahak-bahak, bahkan berteriak-teriak memanggil temannya. Dari tangan mereka, samar-samar, terlihat kain, plastik, bambu, dan benang. Di depan mereka, berdiri sebuah tangga yang tersandar dekat tiang listrik. Mabukkah mereka? Aku tidak tahu pasti.Yang jelas, setelah itu, aku memaksakan diri agar aku dapat tidur. Aku tetap berusaha mendapatkannya sebab itulah kemerdekaanku. Di dalam mimpi, aku menendang sekumpulan pemuda itu. Tersenyum aku.
Paginya, aku mulai paham apa yang sebenarnya terjadi selama tiga malam itu. Ternyata para pemuda telah menancapkan bambu-bambu panjang di setiap pojok rumah. Kain merah putih besar telah mereka bentangkan di sepanjang jalan. Plastik merah putih telah mereka rangkai pada utasan-utasan benang yang tersambung bak gerbang sirkus di sana-sini. Pagi itu, karnaval merah putih menyapa kampung tercinta kami.
Namun, akal sehatku mulai menggugat. Bukankah karnaval ini selalu kita lakukan setiap tahun? Bukankah kain dan plastik merah putih itu pun pernah kita pergunakan di tahun-tahun sebelumnya? Apa bedanya? Dimanakah letak perbedaannya?
Lama aku tercenung. Aku hanya bisa menatap kibaran kain yang mulai dimainkan oleh angin pagi. Aku ingat sebait lagu yang pernah kita nyanyikan bersama dalam upacara bendera; “Berkibarlah benderaku. Lambang suci gagah perwira ...” Dengan tangan terkepal, kita lantunkan lagu itu. Dengan bernyanyi, kita menjadi lebih dekat dengan makna historis sebuah bangsa. Inilah heroisme mutakhir. Enam puluh satu tahun, kita memiliki bendera kebangsaan itu, tapi tidak pernah kita berniat untuk mengganti warna dan motifnya dengan gambar bajak laut, tulang ikan, polkadot, atau sendok dan garpu. Kita pun tidak pernah ingin mengganti makna warna merah sebagai simbol dari darah para korban dan putih sebagai simbol ketakberdayaan. Mengubah maknanya berarti mengubah fungsinya dan sebaliknya. Pendek kata, tidak pernah ada yang salah dengan bendera, pemerintah, bangsa, dan negara ini. “Right or wrong is my country!” Itulah nasionalisme kita, nasionalisme yang dekat dengan igauan para pemabuk!
Kita harus berkaca bahwa selama enam puluh satu tahun, kibarannya tidak selalu menjadi penanda kemenangan. Di antara kibarannya itu kita pun masih mendengar isak-tangis. Di sela-sela kainnya, masih terasa linangan air yang membasahi setiap jengkal negeri ini. Pekik “Merdeka!” semakin lirih tak terdengar karena kerongkongan kita semakin serak. Napas semakin tersengal. Akibatnya, semakin banyak orang di republik ini yang tidak dapat tidur nyenyak. Pasalnya, waktu tidur terlanjur menjadi waktu meratap yang paling sempurna.
Malam ini, tidurku pun kembali tak nyenyak. Bukan karena suara gaduh. Bukan juga karena lampu di jalan yang semakin redup. Namun, aku benar-benar sedang resah. Aku lupa dimana kain merah putih itu aku simpan. Entah terselip. Entah hilang. Atau mungkin dilahap tikus.

********

Tidak ada komentar: