Senin, 12 Mei 2008

Dari Dangdut sampai Siap Miskin


Sudah hampir 17 tahun, Pantai Utara Jawa (Pantura) tidak saya pilih sebagai jalur perjalanan menuju Jogyakarta. Sudah lama saya tidak menggunakan mobil pribadi atau bus malam untuk bepergiaan jauh. Selama ini, kereta malam saya anggap lebih nyaman. Dengan kereta, waktu tempuh Jakarta-Jogyakarta tampak menjadi lebih singkat daripada menggunakan mobil atau bus. Biaya yang dikeluarkannya pun jauh lebih hemat. Namun, yang jelas, dengan kereta, saya dapat tidur dengan nyenyak selama perjalanan.
Namun, sejak tersiar berita tentang berbagai kecelakaan kereta, saya mulai berpikir ulang. Perlu diakui, memang, rel kereta kita telah usang. Sejak masa kolonial, rel yang dipergunakan itu tidak pernah terawat, meskipun dalam rencana kerja pemerintah, dana tersebut dianggarkan. Wajar, jika baut yang menghubungkan antarrel keropos atau raib dikantongi para pemulung. Sangat disayangkan.
Dan beberapa minggu lalu, dengan sangat terpaksa, saya memilih Pantura dalam rute perjalanan saya. Tentu saja, dengan rute ini, waktu tempuh akan lebih lama ketimbang bila menggunakan kereta. Memilih jalur ini berarti pasrah untuk berpapasan dengan kontainer-kontainer besar dan bus-bus patas yang seringkali dijalankan ugal-ugalan. Emosi harus sering dikendalikan. Kesabaran menjadi kata kuncinya. Tidak mengeluh ketika menemui lubang-lubang besar di jalanan. Siap untuk meminggirkan mobil sewaktu-waktu untuk melemaskan kaki dan pinggul sejenak. Melelahkan.
Namun, di balik itu, saya ternyata dapat banyak mengambil inspirasi dari perjalanan ini. Dari balik kaca, tiba-tiba saja, saya berlaku seperti seorang antropolog yang masuk ke dalam suatu wilayah asing. Agenda kecil saya buka dan pensil di tangan siap menangkap kilatan peristiwa. Saya mulai dapat menghirup udara pantai dan menikmati aroma trasi udang yang khas. Semua ruang dan orang yang saya temui tampak unik dan menarik. Dari sana ada pelbagai temuan yang layak direnungkan kembali dalam era globalisasi.
Di daerah Indramayu, saya cukup terperanjat. Hampir kebanyakan radio niaga di jalur FM menyiarkan lagu-lagu dangdut! Frustasilah kita bila berusaha mencari lagu-lagu barat versi MTV di sini. Mungkin satu atau dua lagu bisa ditemukan. Tetapi, di sini “Goyang Dombret” dan “Bang Toyib” punya kuasa lebih. Selain itu, di sepanjang jalan, selalu saya temukan beberapa baliho besar iklan layanan masyarakat yang isinya cukup provokatif, “No Drugs, No Prostitusi, dan No Sex Bebas.” Baliho-baliho itu tampak lebih dominan ketimbang rambu-rambu jalan. Tanda apa ini? Untuk siapa baliho-baliho itu ditujukan? Saya tiba-tiba merasa, Jatibarang tidak ubahnya seperti Tanah Abang atau Mangga Besar. Problem-problem sosial kota besar ternyata dapat ditemukan pula di daerah-daerah petilasan ini.
Di depan Pasar Induk Sandang, Tegal Gubuk, Pamanukan, saya melihat sesaknya orang berbelanja pakaian. Tidak ubahnya seperti Pasar Senen atau Pasar Baru. Mereka berburu baju-baju “lungsuran” Korea atau Taiwan. Saya bingung, siapa meniru siapa. Di beberapa ruas jalan Arjawinangun, tidak jauh dari situ, bendera partai Hanura bentukan Wiranto mulai berkibar. Aura Pemilu mulai berdenyut, meski masih sangat jauh!
Melewati jalan tol Kanci, saya pun bertanya-tanya kembali. Inikah efek pembangunan? Sekian hektar tanah persawahan harus dibabat habis demi obsesi orang modern pada kecepatan, pada shortcut? Meski memang dapat mempercepat waktu tempuh, jalan tol ini sebenarnya masih bersifat sangat darurat. Hampir tidak ditemukan berbagai kelengkapan rambu dan petunjuk di sana-sini. Justru, sering terlihat beberapa orang aneh yang berjalan di tengah jalur cepat! Mereka kita sebut sebagai orang gila. Namun, siapa yang sebenarnya gila? Apakah para pengguna jalan tol yang seringkali tampak berlomba dengan waktu dan kematian? Mungkin, ada benarnya bila pembangunan itu menjadi penyebab potensial timbulnya kegilaan di abad ini.
Di ujung jalan tol, orang disodori oleh berbagai papan iklan besar dari kedai-kedai makan. Di sana tertulis berbagai menu makanan. Tapi semua menu itu sama sekali tidak istimewa. Sekilas, semuanya dapat pula ditemukan di Jakarta. Hal ini menjadi cermin betapa sulit menemukan orisinalitas pada masa kini. Bukan hanya pada makanan, tapi pada pribadi pula. Orang cenderung mengikuti arus. Sentralisasi masih begitu kuat. Otonomi hanyalah retorika kosong. Pasalnya, bagi orang modern, menjadi berbeda seringkali dianggap sebagai sebuah keganjilan dan juga kegilaan.
Namun, syukurlah, orisinalitas itu, pada akhirnya dapat ditemukan. Sebuah gubug tambal ban di pinggiran jalan menuju Losari punya nama unik. Saya terkekeh. Mana ada di era globalisasi, slogan “Siap Miskin” tercetus sebagai brand? Kita boleh melihatnya secara naif. Namun, dengan nama itu, seolah-olah si pemilik tambal ban adalah orang yang siap menghadapi konsekuensi modernitas! Luar biasa! Globalisasi yang diagung-agungkan runtuh dalam sekejap di hadapan sebuah gubug tambal ban, di jalur Pantura!
********

Tidak ada komentar: