Senin, 12 Mei 2008

Seminggu yang Lalu


Seminggu yang lalu seorang ibu berdiri termangu di depanku. Matanya menerawang jauh. Warnanya pucat dan terlalu pedih untuk disentuh. Seolah ada hal yang sedang dipikirkannya. Seolah ada hal berat yang mengganjal pelupuk matanya. Aku mulai menjadi hantu. Kehadiranku sama sekali tidak diusiknya. Ia terlalu asyik dengan bebannya.
Seingatku, seminggu yang lalu, ia mulai mengantarkan anak ketiganya ke sekolah. Yah, hari itu hari pertama sekolah dimulai kembali. Hari pertama ketika lonceng sekolah dibunyikan setelah liburan berlalu. Anak pertama dan keduanya sudah terlalu besar untuk digandeng olehnya. Mereka malu, katanya. Maka, sejak pagi-pagi, mereka telah pergi bersama teman-teman sebaya ke sekolah.
Ibu ini adalah orang biasa, sama seperti aku dan kamu. Subuh ia sudah terbangun. Bersihkan piring sisa makan malam. Seduhkan teh panas agar suami bisa segera menyeruputnya. Menumis, menggoreng telur, dan sebagainya. Setelah beres, ia bangunkan anak-anaknya satu per satu. Mereka dibariskan menuju ke kamar mandi.
Ibu ini adalah orang biasa, sama seperti aku dan kamu. Ia bisa mengeluh ketika melihat sang suami masih terlelap dalam mimpinya. Ia bisa mengeluh ketika tidak ada satupun telur di lemari makan. Ia pun bisa mengeluh ketika air bersih hari ini habis sama sekali. Namun, ia juga bisa tersenyum bahkan terkekeh ketika buah hatinya itu berkejar-kejaran di seputar meja makan yang kosong.
Di pagi itu, seminggu yang lalu, aku masih mendengar harapan yang merdu. Ia senang karena anaknya yang ketiga akan memulai hari pertamanya sebagai seorang murid SD. Ia gembira karena anaknya akan segera mulai belajar membaca dengan lancar. Ia bahagia karena pemerintah telah menggratiskan sekolah untuk anaknya. Maka, dipersiapkanlah segala alat tulis. Beberapa buku tulis yang dibeli sang suami disusunnya ke dalam tas berwarna merah muda. Bukan tas baru, tapi warisan sang kakak! Namun, ibu dan anak tetap bersemangat. Seminggu yang lalu, di pagi itu, aku mendengar derap gagah anak bangsa dan ibunya!
Namun, gema derap itu ternyata hanya sebentar. Ibu ini hanyalah orang biasa, sama seperti aku dan kamu. Ia hanya dapat mengantarkan anaknya di depan pintu gerbang SD itu. Ia tidak masuk ke dalam. Tetapi, ia tidak sendiri pagi itu. Aku melihat, ada banyak ibu lain di sana. Mereka hanya berdiri. Sama seperti aku dan kamu. Termangu. Menerawang. Kamus bahasa pun tidak dapat menjelaskan apa yang sedang mereka lakukan. Bahasa yang kita gunakan terlalu sederhana untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Seminggu yang lalu, merdunya harapan telah dimatikan oleh sebuah pengumuman besar. Di depan pintu berkarat itu tertulis, “Sekolah ini gratis. Tapi, buku pelajaran harus segera dibeli di toko sebelah, (gitu lho)!” Tangan sang ibu gemetar. Tidak terbersit, kenyataan demikian harus dihadapi ketika hati sedang bermekaran. Di dalam genggaman, terselip tujuh lembar uang ribuan. Tapi, bukan untuk buku pelajaran. Pagi itu ia berencana untuk pergi ke pasar. Ia akan memasakkan ketiga anaknya sup ceker ayam. Ia berharap setelah pulang sekolah sup itu dapat segera mereka santap. Dapatkah tujuh lembar uang ribuan ini membeli buku-buku itu?
Ibu ini sama seperti aku dan kamu. Ia hanyalah orang biasa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah ia sobek pengumuman itu? Haruskah ia dobrak pintu pagar yang semakin berkarat itu? Atau haruskah ia melarang anaknya untuk bersekolah? Sebab harga buku-buku pelajaran telah melambung. Sekolah tanpa buku adalah mustahil. Begitu kata pemerintah dan penerbit buku. Ibu ini hanya termangu. Sup ceker ayam menjadi mimpi yang mahal. Warnanya pucat dan pedih untuk disentuh.

Tidak ada komentar: