Jumat, 21 November 2008

Sang Guru dan Pohon Filicium


Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang Jebat dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan bertengkar.[1]

A. Prolegomena
Tidak banyak buku yang didedikasikan oleh seorang murid kepada guru-gurunya di masa lalu.Tidak banyak pula buku yang merekam hubungan tulus antara para guru dan murid-muridnya. Seingat saya, Edward Said, seorang profesor sastra, pernah mendedikasikan buku Orientalisme yang pernah ditulisnya secara serius kepada gurunya, Ibrahim Abu-Lughod. Isi buku itu memang tidak pernah secara eksplisit menyinggung hubungan akrab diantara mereka berdua. Namun, apa yang sebenarnya ia tulis diakui sebagai hasil diskusi yang intens dan bermuara dari semangat yang sama di antara mereka berdua. Pada satu kesempatan, Edward Said mau tidak mau harus bersaksi tentang persahabatan yang telah mereka jalin selama 50 tahun. Ia tampaknya merasa tidak betah untuk tidak membeberkan betapa sang guru memiliki andil yang besar dalam karir akademis dan kehidupan pribadinya sekaligus. Ketika sang guru meninggal, Edward Said menulis sebuah eulogi, My Guru, yang sangat menyentuh.[2] Selain itu, saya juga mencatat bagaimana peran murid-murid Ferdinand de Saussure, bapak Linguistik Modern, dalam menerbitkan catatan-catatan kuliahnya yang belum sempat dibukukan dalam A Course in General Linguistics. Tidak ada satupun di antara mereka yang pernah mengklaim bahwa isi buku itu merupakan hasil penafsiran mereka. Mereka sepakat bahwa segala hal yang tertulis adalah hasil pemikiran orisinil sang guru.


Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata Seman bukanlah buku yang ingin menampilkan refleksi teoretis seperti kedua buku tadi, walaupun di sana-sini ditemukan banyak nomenklatur yang beraroma sains. Laskar Pelangi, bagi saya, adalah sebuah refleksi batin dalam bentuk naratif. Refleksi batin itu berbicara kepada saya tentang kekuatan harapan dan semangat untuk berbagi dalam persahabatan. Untuk menyampaikan hal itu, Andrea memilih pendidikan sebagai jalan masuknya. Namun, pendidikan yang dimaksud dibicarakan dengan cara yang berbeda. Ia tidak dibicarakan sebagai sebuah bentuk politik peradaban massa yang di dalam dirinya sendiri seringkali bertentangan. Ia juga tidak dibicarakan sebagai sebuah masalah nasional yang harus segera dipikirkan karena buku ini memang tidak berpretensi sebagai sebuah buku kritik sosial. Pendidikan lebih dipandang secara awam sebagaimana kita menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Papan nama sekolah, senyum ramah para guru, kelakar dan canda para murid, bangku kelas yang usang dan reot, atau raport yang seringkali berwarna merah menjadi beberapa bentuk yang paling kongkret di dalam refleksi itu. Inilah yang menjadi kekuatan utama dalam Laskar Pelangi. Bukankah beberapa hal itu pula yang seringkali kita kenang setelah kita meninggalkan masa lalu? Selain keluarga, dimanakah lagi kita pertama kali mulai menjadi pribadi yang paling beruntung?

Oleh karenanya, saya berpikir mungkinkah Laskar Pelangi dapat kita sebut sebagai sebuah teks narasi retrospektif dan nostalgia sekaligus bagi kita, para pembacanya, untuk memandang wajah pribadi-pribadi yang berpengaruh dalam hidup kita? Mungkinkah, melalui buku ini, kita dapat menghargai perjumpaan kita dengan masa lalu sebagai salah satu akar pohon kehidupan kita yang tidak tergoyahkan? Dapatkah, melalui buku ini pula, kita membangun sebuah citra perjumpaan antarpribadi yang lebih manusiawi di masa depan?

B. Antara Panggilan Hidup dan Tragedi
Selain berbicara mengenai persahabatan akrab yang pernah terbangun di masa lalu, buku Laskar Pelangi ini didedikasikan oleh pengarangnya kepada kedua gurunya di masa lalu; Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor. Kedua nama itu tidak hanya hadir di halaman persembahan buku ini, tetapi memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam bab-bab pertama. Tampaknya, Andrea memiliki segudang memori tentang mereka. Ia bahkan mampu melukiskan raut wajah serta perangai mereka satu demi satu secara terperinci. Ia mengetahui bedak tepung beras yang terpoles di wajah Ibu Muslimah, silabus pelajaran budi pekerti yang disusunnya, wajah Pak Harfan yang mirip dengan aktor Tom Hanks dalam film Cast Away, atau kaus dalamnya yang berlubang di beberapa bagian.

Kita pun mungkin memiliki memori yang hampir sama dengan Andrea. Ada banyak guru yang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Mereka pernah menjadi figur-figur yang kita idolakan lebih daripada selebritis super manapun. Mereka hangat dan selalu menjadi tempat yang teduh untuk berkeluh kesah bak pohon filicium. Mereka datang bagaikan pelita yang menerangi segala gundah ketika tiada seorang pun yang peduli. Namun, di balik kehangatan itu, mereka dapat berubah menjadi monster yang bengis, yang siap mencabik-cabik kita dalam ketidakberdayaan. Mereka pun dapat menjadi suara yang tidak pernah kita inginkan dalam hidup ini. Kita memuji dan menyanjung mereka. Namun, tidak jarang kita kecewa kepada mereka karena ternyata mereka bukanlah sepenuhnya dewa. Mereka tetaplah manusia biasa.

Dalam kehidupan nyata, kita memahami bahwa Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah beberapa pribadi yang telah menggantungkan hidupnya sebagai guru. Kita memahami bahwa untuk menjadi seorang guru, seseorang tidak hanya harus memenuhi segala syarat akademis, melainkan juga semangat. Ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang guru pertama kali, ibu saya pernah mengatakan bahwa semangat ini terlalu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Secara ideal, semangat itu hanya dapat terlihat pada segala praksis kehidupannya sehari-hari, selain di depan kelas. Akan tetapi, menurut beliau, seorang guru bukanlah gambaran dari manusia sempurna tetapi manusia yang ingin selalu menyempurnakan dirinya. Semangat demikian juga menandakan bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup. Panggilan ini tentu saja dapat semakin tersemai jika keputusan batin yang matang pun mendasarinya. Tanpa keputusan seperti ini, menjadi guru hanyalah sebuah tragedi. Dalam Laskar Pelangi, tragedi seperti itu tampaknya tidak tersurat secara langsung pada kehidupan Ibu Muslimah atau Pak Harfan.

Namun, secara diam-diam, kita dapat melihat bahwa Andrea ingin menunjukkan bentuk tragedi lain yang dialami oleh kedua gurunya itu. Andrea tampaknya mahfum benar dengan kondisi kedua gurunya yang berkarya pada sekolah Muhammadiyah di Belitong. Sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan berbasis agama itu mustahil kita bayangkan sebagai model sekolah yang memiliki basis finansial yang sangat kuat seperti sekolah nasional plus atau sekolah internasional yang menjamur pada masa kini. Sejauh ini saya memahami bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh yayasan berbasis agama seperti Muhammadiyah bagi umat Muslim atau Kanisius bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang tidak mendasarkan dirinya pada orientasi bisnis. Pendidikan yang digerakkan dalam yayasan-yayasan tersebut biasanya bersifat karitatif. Dalam sebuah penelitian etnografisnya mengenai sepak terjang Muhammadiyah di Indonesia, James L. Peacock pernah mencatat bahwa misi utama Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam adalah untuk kembali kepada kebenaran yang pokok dari ajaran agama dan tradisi Islam sesuai dengan Al Qur’an dan Hadith Nabi.[3] Gerakan ini disimbolkan dengan semboyan “Amar Makruf Nahi Mungkar”. Misi ini, salah satunya, diimplementasikan dalam pendidikan bercorak pesantren dan madrasah (terpisah menurut jenis kelamin). Baru setelah kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah mengembangkan pula sekolah campuran dengan gaya sekolah pemerintah yang tingkatannya sejajar dengan SD, SMP, dan SMA[4]. Sekolah-sekolah itu tidak hanya terdapat di pusat kota tetapi justru lebih banyak ditemukan di daerah-daerah marginal yang seringkali tidak dapat tersentuh oleh transportasi dan instrumen peradaban modern. Sebagai sebuah karya karitatif, tampaknya, sekali lagi, sekolah Muhammadiyah tempat Ibu Muslimah dan Pak Harfan berkarya pun tidak dapat berspekulasi untuk menjamin kesejahteraan mereka dengan stabil. Hal demikian dapat dipahami karena yayasan harus menanggung biaya operasional sekolah-sekolah lain yang tersebar. Tidak jarang, sebagaimana terjadi pula pada yayasan Kanisius, banyak sekolah yang terpaksa ditutup.

Kesejahteraan menjadi tragedi lain yang tampaknya harus ditanggung. Bukankah hal ini pula yang sedang ramai-ramai diteriakkan oleh para guru swasta, khususnya yang berkarya dalam yayasan pendidikan berbasis agama? Dari permasalahan ini pula, kita dapat membayangkan bagaimana nasib guru-guru seperti Ibu Muslimah atau Pak Harfan yang berkarya di tempat-tempat marginal, yang minim dari berbagai fasilitas peradaban modern. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru yang mengampu berbagai pelajaran harus diupah hanya dengan 15 kilo beras sebulan. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru di pedalaman yang setiap hari harus berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk bertemu dengan murid-murid yang ia sayangi. Kita pun dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru yang tidak pernah bisa membelikan buku pelajaran untuk anaknya sendiri, dan seterusnya.

Secara sadar atau tidak, pernyataan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa justru semakin menegaskan bahwa guru-guru kita memang tidak pernah sejahtera. Sejak masa kolonialisme, guru-guru kita memang selalu diplot sebagai pribadi-pribadi yang nrimo, pasrah apa adanya. Tidak boleh berteriak. Tidak boleh protes. Tidak boleh menuntut. Tidak boleh berkata “tidak!”. Seolah-olah guru adalah makhluk yang lepas bebas dari segala tuntutan materi dan duniawi. Hal demikian mungkin terjadi karena selama beberapa waktu kita memandang istilah guru dekat dengan dunia rohani yang berkuasa untuk mendidik dan menjaga keimanan umat (sic!). Saya mengamati bahwa di lingkungan pemerintah dan yayasan swasta pada masa kini ada kecenderungan untuk mengganti istilah itu dengan istilah lain, seperti pengajar, penilai, tutor, fasilitator, administrator, atau bahkan manajer kelas. Saya tidak tahu apakah pergantian istilah ini juga merupakan semacam strategi untuk semakin menghargai guru sebagai sebuah profesi yang profesional atau semacam dalih untuk meredam semangat guru sebagai agen perubahan sosial. Bukankah dengan pergantian istilah itu, posisi guru justru bergeser menjadi sekedar karyawan atau pekerja dalam sebuah perusahaan? Istilah-istilah pengganti itu secara diam-diam telah melenyapkan peran guru sebagai pendidik.

Kalau boleh jujur dengan keadaan masa kini, faktor kesejahteraan memang menjadi prioritas pertama bagi guru, terutama bagi mereka yang bekerja di wilayah terpencil dan yang bernaung di bawah yayasan pendidikan berbasis agama. Peran mereka tidak dapat kita nafikan dan kita katakan kecil bagi bangsa ini. Tanpa mereka yang pernah berupah 15 kilo beras sebulan, kita yakin bahwa tidak pernah muncul seorang Andrea yang mampu mengenyam pendidikan S-2 di Inggris, mendengarkan The Doors, atau menikmati hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire. Namun, apakah faktor kesejahteraan itu memang menjadi satu-satunya harapan yang dirindukan oleh para guru?

C. The Politic of Recognition
Selama beberapa tahun ini, saya tidak menyangkal bahwa faktor kesejahteraan adalah penting. Namun, faktor tersebut bukan menjadi hal yang terpenting. Pengakuan terhadap guru secara sosial dan budaya adalah hal yang lebih harus kita perhatikan. Sejauh ini peran guru hanya diakui oleh masyarakat dalam adagium guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau guru sebagai pelita dalam kegelapan. Itu pun dilakukan ketika hari jadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dirayakan dalam upacara bendera. Selebihnya, semboyan itu semakin sumbang dan tenggelam berbarengan dengan maraknya tawuran, aksi contek-menyontek di ujian akhir, seks bebas di kamar mandi sekolah, penyalahgunaan narkoba, dan delikuensi moral yang dilakukan oleh oknum guru.

Saya juga tidak dapat menutup mata bagaimana guru masa kini tidak memiliki bargaining power dalam menentukan kebijakan sekolah. Guru bisa dengan mudah dikomplain, dikooptasi, dan disomasi oleh para orang tua murid melalui kepala sekolah hanya karena mereka merasa telah membayar iuran sekolah dengan jumlah rupiah atau dollar yang tinggi. Sekolah menjadi arena kepentingan di antara para orang tua murid dengan dalih-dalih edukatif. Hal demikian belum ditambah dengan beban kurikulum dan tugas administrasi yang semakin berat. Sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kita laksanakan, misalnya, ternyata membuat guru-guru kita pontang-panting setiap hari dalam menyiapkan instrumen dan bahan pengajaran bagi murid-murid. Ketidakmampuan seorang guru dalam mengikuti sistem kurikulum yang berlaku membuat dirinya pasrah untuk ditinjau kembali atau bahkan diragukan berdasarkan penilaian kompetensi yang seringkali subjektif. Penilaian kompetensi guru seperti ini jugalah yang pada akhirnya dikhawatirkan oleh mereka yang berkarya di wilayah terpencil atau marginal. Bagaimanakah mungkin seorang guru yang berkarya di wilayah Sorong, Papua, memiliki kompetensi teknologi yang sama dengan rekannya yang bekerja pada sebuah sekolah unggulan di Jakarta?

Pengakuan bahwa profesi guru berbeda dengan profesi karyawan atau pekerja mutlak dilakukan. Hal ini bisa diimplementasikan dengan memunculkan kembali tugas utama dan citra guru sebagai pendidik. Citra ini harus diperbaharui dari dalam dan dari luar dirinya sendiri sehingga guru tidak digambarkan sebagai seorang intelektual yang bodoh, pongah, dan lugu, seperti yang tercitrakan dalam sebuah iklan shampoo di televisi swasta. Iklan itu menggambarkan seorang guru sebagai pribadi yang panik, yang tidak berbuat apa-apa, kecuali menyeka keringatnya ketika ia bersama murid-muridnya terjebak dalam sebuah lift. Apakah iklan ini juga merupakan gambaran aktual bahwa guru-guru kita tidak pernah bisa menyelesaikan segala persoalan pendidikan bersama? Apakah permasalahan pendidikan pun harus diselesaikan oleh para selebritis kita? Apakah untuk hal ini , kemampuan guru harus semakin ditingkatkan terus-menerus? Kendati begitu, tampaknya penilaian terhadap kompetensi guru pun harus disesuaikan dengan berbagai kondisi secara kontekstual dan selaras dengan bargaining power yang dimiliki guru secara otonom.

D. Pohon Filicium: Sebuah Memori dan Janji
Buku Laskar Pelangi, bagi saya, adalah bentuk pengakuan Andrea secara sosial terhadap guru-guru yang dicintainya. Berkali-kali dalam beberapa bab berikutnya, ia selalu menyatakan bahwa tanpa kehadiran mereka, ia tidak pernah merasa beruntung. Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah inspirator awal yang memberikan pondasi mendasar dalam kehidupannya. Saya rasa, refleksi ini menjadi bentuk pengakuan yang paling jujur. Dengan kesaksian seperti ini, kita diajak kembali untuk menghargai setiap usaha yang pernah dilakukan oleh para guru kita di masa lalu. Kita tidak hanya diajak untuk mengingat rona wajah mereka ketika mereka marah terhadap kita, melainkan juga senyum yang menyejukkan tatkala kita jatuh. Kita diajak untuk memandang para guru bukan sekedar sebagai peristiwa yang dapat berlalu, melainkan sebuah memori dan momen inspiratif dalam kehidupan kita. Ini adalah pengakuan sederhana yang dapat kita lakukan. Untunglah, Andrea mengerti hal itu. Ia mengerti bahwa Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah pohon filicium tua rindang yang meneduhinya.

******

[1] Andrea Hirata Seman, Laskar Pelangi, PT Bentang Pustaka: Yogyakarta, 2005, hlm. 64.

[2] Edward Said, “My Guru”, dalam LRB letters page (14 Januari 2002).

[3] Vide. James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia, Penerbit Cipta Kreatif: Jakarta, 1975, hlm. 25.

[4] Ibid., hlm. 62

Sejenis Monster yang Tersembunyi dalam Pendidikan


Kegilaan selalu dilarang.
(Michel Foucault)

A.Belajar pada Abdullah
Agaknya pada saat ini, kita memiliki kesulitan untuk membayangkan bagaimanakah situasi pendidikan tradisional di negeri ini lima sampai tujuh abad yang lalu. Kendati begitu, hal ini tidak berarti bahwa kita tidak mampu memeriksa situasi tersebut dengan serius. Untuk mendapatkan perspektif tentang hal yang kita permasalahkan ini, mereka yang ingin memahami masa kini dari sudut pandang masa lalu, dapat berhutang pada Hikayat Abdullah, tanpa menafikan berbagai hasil penelitian mendalam yang telah dilahirkan oleh pakar pada abad ini.
Hikayat yang ditulis oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ini seringkali diklasifikasikan sebagai karya sejarah (Melayu). Tampaknya di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dapat dianggap sebagai data dalam penulisan sejarah. Salah satu bagian yang menjelaskan bagaimana pendidikan tradisional itu dilaksanakan, secara langsung berhubungan dengan pengalaman penulisnya sendiri dalam rangka mempelajari bahasa Arab. Abdullah mencatat bahwa pada masa itu bahasa Arab memiliki nilai prestise yang lebih tinggi daripada bahasa Melayu. Bahasa Arab adalah bahasa surga dan bahasa peradaban, sedangkan bahasa Melayu adalah bahasa pergaulan dan bahasa pasar (lingua franca). Posisi demikian membuat bahasa Arab menduduki tempat terhormat secara sosial dan mengimplikasikan posisi bahasa Melayu yang cukup marginal. Karena label ini, berbondong-bondonglah para pribumi belajar ke pusat-pusat pendidikan bahasa Arab di daerah Melayu agar penghayatan keimanan mereka semakin mendalam dan mereka mendapat pengakuan sosial yang lebih baik di mata masyarakat.
Kendati bertujuan demikian, Abdullah mengakui betapa mempelajari bahasa Arab pada masa itu tak ubahnya seperti memasukkan dirinya dalam teror yang tiada kunjung sirna. Menurutnya, hampir setiap hari ia harus menerima dengan pasrah teguran-teguran yang menyakitkan dan hukuman yang sangat keras dari sang guru. Tidak jarang ia harus mendapatkan bogem mentah, tendangan, dan siksaan fisik lainnya. Lebih daripada itu, Abdullah juga bersaksi bahwa hukuman-hukuman tersebut sepertinya dilaksanakan melalui alat-alat tertentu yang sanggup membuat si pembelajar menjadi lebih cepat dalam menguasai bahasa Arab, seperti penjepit lidah, cambuk berduri, atau tiang gantungan. Beberapa alat penyiksa itu dibuat agar si pembelajar dapat semakin berkonsentrasi dengan studinya itu. Sebagai konsekuensi, setiap kesalahan adalah usaha untuk menghancurkan diri sendiri.
B. Tata Etika dalam Pendidikan
Apa yang dinyatakan oleh Abdullah dapat kita analisis dalam dua artikulasi. Di satu pihak, sebagai sebuah fiksi, informasi yang dibawa oleh Hikayat Abdullah itu bisa jadi hanya merupakan sekumpulan narasi hiperbolis sebagaimana sering ditampilkan dalam cerita-cerita berjenis balada. Di lain pihak, sebagai sebuah fakta sejarah, informasi ini bisa menjadi data yang dapat dipergunakan sebagai inspirasi historiografi dalam memandang pendidikan tradisional. Di sini kita dapat bersikap sesuai dengan cara pandang kita masing-masing dalam menemukan kebenaran dalam teks. Hikayat Abdullah hanya menjadi semacam miniatur atas suasana pendidikan tradisional di daerah Melayu yang sejak awal ternyata telah tercampur dengan praktik kekerasan.
Berbicara mengenai pendidikan tidak pernah terlepas dari institusi yang disebut sebagai sekolah, akademi, atau perguruan tinggi. Tampaknya institusi demikian sebagai bentuk pendidikan modern, jelas berbeda dengan pendidikan tradisional dalam segala hal. Bagi kita, sekolah, akademi, atau perguruan tinggi bukanlah hasil rekacipta yang dirancang oleh nenek moyang kita, melainkan warisan budaya para bangsa penjelajah dan penjajah yang perlu diakui. Akan tetapi, ide mengenai kedisplinan berstudi dan kepatuhan serta rasa hormat kepada pengajar tidak pertama-tama sepenuhnya berasal dari bangs-bangsa itu. Kedisplinan dan kepatuhan adalah tata etika yang sejak semula, secara sadar atau tidak, telah menjadi semacam konvensi dan keutamaan yang diwariskan turun-temurun. Bahkan pada masa Majapahit, tata etika ini menjadi pusat tujuan dan makna dari pendidikan itu sendiri sebagaimana terdapat dalam naskah Wrhaspatitattwa. Meskipun begitu, dari sini pun kita masih dapat melihat ketimpangan struktural yang dibawa oleh pendidikan model itu. Tata etika masih menjadi milik yang eksklusif bagi mereka yang berada di wilayah kuil dan kerajaan.
Tidak dipungkiri bahwa institusi-institusi pendidikan modern yang telah disebutkan di atas merupakan ruang sosialisasi bagi penanaman nilai setelah rumah. Sebagaimana kompetisi dalam pendidikan tradisional yang diarahkan kepada nilai-nilai kebijaksanaan budi, keluhuran hati, dan terkendalinya segala nafsu badaniah, pendidikan modern pun ingin melaksanakan cita-cita tersebut. Namun, sayangnya, sejauh pengamatan saya, usaha itu belum berjalan dengan semestinya. Di negeri ini, institusi pendidikan hanya berfungsi sebagai tempat penampungan dan ruang tunggu bagi para calon tenaga kerja. Situasi ini pun menyebabkan struktur hubungan antara pihak sekolah dengan anak-anak didiknya berada dalam relasi tindakan rasional bertujuan alias hubungan antara pembeli dengan penjual. Pihak sekolah sekali waktu hanya menjadi tempat penitipan anak dari para orang tua yang mendambakan kehidupan ini berputar selama lebih dari 24 jam. Sementara itu, anak-anak didik hanya menjadi sumber investasi modal yang potensial dan aktual dari pihak sekolah atau yayasan.Situasi chaos seperti itu, jika dibiarkan begitu saja, justru akan menghalangi dan bahkan menutupi cita-cita luhur pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

C. Teror : Monster yang Tersembunyi
Di pihak lain, cita-cita ini ternyata mengalami paradoks ketika institusi pendidikan berkembang menjadi ruang yang terselubung bagi terjadinya tindak kekerasan yang sangat laten. Disadari atau tidak, institusi ini berubah menjadi sebuah asilum sosial ketika menerapkan peraturan-peraturan sebagai legitimasi dari kekuasaan, bukan sebagai sarana demi keteraturan itu sendiri. Hukuman sebagai bentuk konsekuensi lebih ditekankan daripada penghargaan sebagai bentuk konsekuensi yang lain. Di sini hukuman menjadi teknik untuk melegalkan kekuasaan (pemerintah) sekolah kepada anak didik.
Semakin banyak peraturan yang diberikan dan ditetapkan, semakin banyak konsekuensi negatif yang disediakan. Tidak jarang bila dari keadaan itu, banyak anak didik yang merasa tidak kerasan, tidak feel at home di sekolahnya sendiri dan berkeputusan untuk menjadi pemberontak yang tergabung dalam kelompok tawuran. Padahal, sebagaimana yang pernah saya alami di Jakarta, banyak di antara mereka yang memiliki harapan untuk menyandarkan diri pada perlindungan sekolah, termasuk kasih sayang dan perhatian dari para guru sebagai orang tua. Mereka berpaling kepada sekolah karena rumah sudah tidak dapat menyediakan hal itu. Rumah hanya menjadi ruang kosong, tempat kesepian dan tangis menjadi satu. Bahkan tidak jarang, bagi beberapa siswa yang menjadi nomaden karena broken home, sekolah, dalam arti fisik dan batin, menjadi satu-satunya rumah yang dapat diandalkannya.
Peraturan-peraturan sekolah yang terlalu ketat biasanya terjebak dalam sebuah permainan mengenai mitos kedisplinan. Disiplin selalu identik dengan keseriusan dan keteraturan dalam menaati dan mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Tubuh selalu menjadi sasaran dari kedisplinan ini. Pada tubuh, kedisplinan berurusan dengan hal-hal eksternal seperti penampilan, warna rambut, warna sepatu, atau ikat pinggang. Tubuh yang disiplin adalah tubuh yang sesuai dengan “aturan permainan” yang telah ditetapkan. Hal ini pun berlaku pada fenomena pergaulan di luar sekolah yang telah dibentuk oleh MTV dan para idola masa kini. Semuanya ditafsirkan dalam satu kerangka yang sama sehingga tidak dimungkinkan terjadinya dialog dan budaya demokrasi. Orang harus segera dipaksa untuk menyetujui keputusan tersebut tanpa diberi kesempatan untuk memilih atau membuka mulutnya untuk berargumentasi.
Pernyataan demikian tidak berarti bahwa segala peraturan sebaiknya ditiadakan. Tidak ada pretensi untuk menolaknya. Peraturan tetap harus dijalankan sejauh peraturan itu sendiri mampu menjadi alat refleksi, bukan sebuah sentensia (keputusan atau hukuman) yang dapat memunculkan tirani kata-kata yang bersifat monolitik. Peraturan dan hukuman hendaknya membuat si pelanggar menjadi orang yang diselamatkan, bukan orang yang dihukum. Itu berarti bahwa peraturan dan hukuman selalu memiliki makna keselamatan yang harus disingkap. Tanpa makna yang ingin dibangun dalam batin, peraturan hanya menjadi sesosok monster yang menakutkan dan teror belaka. Oleh karena itu, dalam peraturan, haruslah terbangun interaksi dan komunikasi yang santun, yang dipahami oleh masing-masing pihak dalam konteks yang sama dan berusaha tidak melakukan objektifikasi terhadap seseorang daripada yang lainnya.
Dalam peraturan yang cenderung diskriminatif dan berat sebelah, yang tidak mengindahkan segi-segi fungsi komunikatif yang santun antara kedua belah pihak, kekerasan dapat terjadi dengan sangat mudah. Kekerasan di sini biasanya dimulai dengan kekerasan yang bersifat verbal. Kekerasan ini bersifat menyakiti hati dan melemahkan mental. Si pelanggar seolah-olah dianggap sebagai seorang pesakitan akut atau pendosa yang tidak terampuni. Ia tidak diberi kesempatan untuk melakukan apologi. Keadaan demikian tidak akan pernah membuat dirinya menjadi murid yang dapat merefleksikan tindakannya, tetapi justru membuatnya menjadi murid yang bebal dan penuh kebencian. Di sini prinsip bahwa kekuasaan akan melahirkan anti kekuasaan harus sungguh-sungguh dipahami.
Tindak kekerasan verbal ini sebenarnya tidak lebih ringan daripada aksi kekerasan fisik. Aksi yang terakhir itu biasanya merupakan salah satu strategi yang cukup taktis untuk menundukkan tubuh. Jika tubuh dapat dikuasai, mental dan pikiran pun dapat dikuasai dengan lebih mudah. Namun, aksi kekerasan fisik ini tetap saja tidak dapat dibenarkan karena dapat melukai fungsi-fungsi alat tubuh dan menimbulkan dendam yang sangat mendalam. Secara sosial, ketertundukan tubuh ini merupakan simbol dari kehilangan harga diri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kerap terjadi perlawanan fisik yang tidak terduga dari si pelanggar kepada pihak yang menyakitinya. Semakin ia direpresi atau ditekan, semakin besar pulka keinginannya untuk melakukan aksi balik. Jadi, sebenarnya, dalam proses hukuman itu sendiri, ada semacam perebutan dominasi yang laten di antara kedua belah pihak untuk menjadi satu-satunya penguasa tunggal. Pernyataan ini saya temukan setelah saya menyaksikan dua sequel film Silence of The Lambs, yaitu Hannibal dan Red Dragon. Di sana, pihak yang terhukum pun sebenarnya berusaha untuk menjadi pihak penghukum ketika ia sedang dihadapkan pada komunikasi yang sebenarnya.
D. Komunikasi-Interaksi dan Proses Demokrasi
Saya menyadari bahwa di masa lalupun saya pernah menjadi korban tindak kekerasan di sekolah, baik dalam tingkat verbal maupun fisik. Yang pasti saya tidak berdiri sendiri. Masih ada banyak orang lain yang mengalami hal serupa. Namun, hal itu seringkali hanya menjadi semacam kenangan dan dimaknai sebagai sebuah suvenir dari masa lalu. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh pihak sekolah itu berada pada jaluryang benar dan semestinya dalam rangka menaklukkan kenakan-kenakalan. Padahal apakah kenakalan itu? Bukankah ini sifat kritis yang mampu menunjukkan bahwa kedisplinan itu sebenarnya adalah nomenclature yang tidak pernah dapat dimengerti oleh anak manusia? Sayangnya, retorik ini tidak pernah ada dalam masyarakat kita. Masyarakat kita mudah terbungkam dan membungkamkan dirinya. Walhasil,tetap dipercaya bahwa kenakalan merupakan tindak pemberontakan dari keteraturan, sikap indispliner, dan bukti dari kurangnya pengetahuan. Kenakalan itu sendiri, secara sosial, sudah disepakati sebagai sifat devian yang harus dilawan dengan segala cara. Hukuman adalah salah satu cara bagaimana meredam perangai itu.
Kita tidak mengetahui secara pasti tata etika apakah yang berlaku pada masa kini. Rasa-rasanya tata etika yang kita imani sepuluh tahun yang lalu sudah usang dan bahkan menghilang. Orang sudah tidak dapat membedakan lagi apakah ia berada di tempat yang gelap atau terang, Semuanya menjadi relatif. Dalam kondisi ini segalanya bisa terbalik dan menghilang begitu saja. Peradaban ini telah digiring menuju suatu tempat asing oleh kekuasaan tertentu. Orang sudah tidak memerlukan ritual cuci tangan sebelum makan karena sudah ada sachet yang mampu membersihkan kotoran hanya dalam waktu sekejap. Anak-anak kecil sudah tidak mempedulikan dan mengiyakan nasihat orang tua sehingga dengan mudah menyiram wajah mereka dengan air kotor.
Justru dalam keadaan ini, kekuasaan bisa bersembunyi di mana saja karena seperti yang dinyatakan oleh Michel Foucault, seorang pemikir dari Perancis, kekuasaan itu menyebar dalam setiap ruang kehidupan manusia, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sekolah adalah lembaga potensial yang memungkinkan terjadinya keadaan demikian. Ia bisa sangat represif dan bahkan menimbulkan teror, tidak hanya bagi anak didik tetapi juga bagi para guru itu sendiri. Jika sudah terjerat dalam sistem kekuasaan yang despotis, maka satu-satunya cara untuk menghadapi keadaan itu adalah saling memperkuat interaksi, saling membuka komunikasi, dan saling percaya. Interaksi dan komunikasi akan mengatasi kesenjangan pengertian dan penafsiran yang berbeda-beda. Dikatakan demikian karena di sini otentisitas pluralitas penafsiran tetap dijaga karena merupakan bentuk keunikan yang dapat saling melengkapi. Dalam hal ini, pihak sekolah mau tidak mau harus membuka sekat-sekat yang menghambat hubungan dengan peserta didik dan antarrekan pengajar, seperti keinginan untuk selalu dihormati, pengagungan senioritas, otoritas,dan kebenaran absolut monotafsir. Hal demikian pun berlaku sebaliknya. Ada waktu-waktu tertentu bagi para peserta didik yang telah dianggap mampu menyuarakan kehendaknya untuk duduk satu meja dalam menentukan keputusan yang berhubungan dengan kegiatan bersama. Di sini prinsip kepercayaan menemukan jalannya. Disadari atau tidak, ini adalah langkah-langkah hidup berdemokrasi yang harus ditapaki dengan kesabaran yang sangat tinggi. Komunikasi-interaksi, keterbukaan, kepercayaan, dan partisipasi yang diusahakan terus-menerus ini, minimal, dapat mencegah timbulnya usaha-usaha destruktif di antara kedua belah pihak.

*******

Kamis, 13 November 2008

Di Balik Kemenangan untuk Semua


Hope" is the thing with feathers – That perches in the soul – And sings the tune without the words –And never stops at all.- Emily Dickinson


Beberapa waktu lalu tim sepak bola IICS menjadi raja lapangan futsal di sekolah Central, Jakarta Barat. Luar biasa, perjuangan murid-muridku itu! Baru tahun ini aku melihat binar kegembiraan nyata yang terpancar dari mata mereka. Rutinitas sekolah yang padat mungkin telah merantai mata mereka sedemikian rupa sehingga mereka lupa bahwa warna cerah mata menampilkan kejujuran hati. Kemenangan 5-3 atas Sekolah Sevilla yang bertarung tak kelah hebat itu, seolah-olah mau mengingatkan kembali hubungan antara kegembiraan dan kejujuran.

Hari ini, perlu diakui bahwa wajah pendidikan kita sudah tidak mampu menampilkan kegembiraan dan kejujuran itu secara bersamaan. Pasalnya, pendidikan yang berlaku sekarang adalah pendidikan topeng. Dalam jenis pendidikan ini, anak tidak diajak untuk menemukan dirinya secara otentik atau original, tetapi didorong semakin dalam untuk menjadi orang lain. Didorong semakin dalam untuk berpikir sebagai konsumen, bukan sebagai kreator atau pencipta. Pelajaran sains, matematika, dan ekonomi hanya menjadi salah satu alat justifikasi yang paling rasional bahwa seolah-olah manusia hidup dalam logika hitung-menghitung. Mengapa sains, matematika, dan ekonomi tidak pernah didaratkan sebagai sebuah paradigma filosofis dalam memandang kehidupan?


Bukankah, pendidikan hari ini secara diam-diam telah memisahkan sekolah dengan kegembiraan? Melalui tugas-tugas yang terlampau banyak (dan mungkin juga tidak perlu karena tidak mengandung nilai pendidikan etis), keceriaan masa muda murid-murid dirampas dan diganti dengan banyaknya les tambahan dan beban kurikulum yang semakin rumit. Sekolah menjadi salah satu penjara kreatif yang diciptakan oleh orang modern sebagai pusat pelatihan para pesuruh, para buruh, dan para pegawai yang dapat ditundukkan oleh sejumlah sistem rasional dalam masyarakat modern. Sekolah bukan lagi menjadi sebuah ruang bermain yang memungkinkan setiap siswa dapat menentukan langkah dan keputusan hidupnya secara lebih mandiri dan terbuka. Celakanya, selama kurang lebih 8 jam, semua orang tua berpikiran untuk menyerahkan jiwa anak-anak mereka ke dalam kungkungan sistem destruktif demikian.

Pertandingan sepak bola seperti yang dilakukan oleh murid-muridku adalah salah satu usaha untuk menemukan kegembiraan yang sejati. Ketika mereka berlari, energi hidup pun diletupkan. Ketika mereka berteriak, energi kemarahan pun tersalurkan. Ketika mereka bekerja sama, energi solidaritas mereka dilontarkan. Ketika mereka dapat memenangkan pertandingan, segala energi persaudaraan terkristal di sana. Inilah yang disebut kegembiraan yang sesungguhnya. Tidak ada topeng. Tidak ada yang perlu ditutupi. Semuanya terbuka seperti keringat yang menetes di tubuh mereka.

Aku begitu kagum dengan kemampuan murid-murid dalam bekerja sama. Jujur, hal ini seringkali tidak dapat aku lihat jika aku berada di dalam kelas bersama mereka. Satu per satu karakter murid tiba-tiba berubah. Bak manusia matang yang sedang berjuang demi mempertahankan dignity-nya, mereka mengemban tanggung jawab yang cukup besar agar tim mereka dapat menang atau setidak-tidaknya tidak kalah secara memalukan.

Sayangnya, dalam pendidikan topeng, olah raga sudah dipandang tidak lebih baik daripada sains, matematika, atau ekonomi. Olah raga seolah-olah hanya menjadi sebuah bidang yang dikhususkan bagi mereka yang gemar okol daripada akal. Stereotipisasi demikian sudah terlanjur popular di tanah pertiwi ini. Akibatnya, memang dapat diduga bahwa olahraga kita tidak pernah maju. Mengapa? Jawabnya, karena tidak pernah ada dukungan yang kondusif dari dunia pendidikan sekaligus. Pendidikan kita telah mendiskriminasikan pelajaran olah raga sebagai pelajaran kelas ketiga, setelah pelajaran bahasa, sastra, dan seni musik. Secara membabi buta, lapangan olahraga sudah terlanjur dimaknai sebagai ruang para idiot yang gagap teknologi. Akibatnya, sampai hari ini pun kita tidak pernah bisa menghargai pertandingan olahraga sebagai ruang komunikasi yang paling tulus antara atlet dan .Olahraga hari ini hanya menjadi satu sumber pendapatan bagi para korporat kapitalis dunia hiburan. Pada akhirnya, kita hampir tidak pernah bisa berlaku elegan sebagai penonton atau pemain.

Kapankah Indonesia dapat menjadi negara seperti Brasil dan Argentina yang menjadikan olahraga sebagai spirit bangsa yang tidak dapat ditolak atau diasingkan? Bukankah melalui olahraga, kita justru diajak untuk menghargainya sebagai sebuah sarana komunikasi kemanusiaan yang paling universal, selain musik dan film?

Bermain bola sebagai satu tim adalah sebuah kenangan yang manis bagi kaum muda. Kita tidak hanya berbicara tentang kegembiraan, melainkan juga kejujuran hati. Aku yakin bahwa murid-muridku telah mengalami hal itu ketika mereka bekerja-letih dan bekerja sama di lapangan itu. Aku gembira karena Ricky, Hezranov, Nicky, Matheus, Natanael, Kevin S, Kevin O, McKinley, Rafael, Toni, Timothy, atau Reinhard telah membuktikan bahwa mereka adalah generasi baru yang mau berani jujur dengan kegembiraan dalam kebersamaan mereka. Aku bangga pada mereka. Proficiat! Salut!Tuhan memberkati.

Jumat, 07 November 2008

Menjelang Eksekusi; Mengapa Harus Diingat?


Awal Agustus 2006 adalah momen berdarah bagi keluarga Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.Setelah mendekam selama 5 tahun di penjara Petobo, Palu, mereka bertiga divonis mati oleh pemerintah Indonesia.Konon, mereka adalah dalang kerusuhan sosial di Poso. Konon, mereka juga adalah otak di belakang tragedi kemanusiaan di daerah itu. Gereja Kristen dan Katolik, sejak awal telah menyuarakan bahwa pemerintah seharusnya tidak bersikap tebang pilih pada kasus ini. Menurut data dan fakta yang mereka kumpulkan, dalam kerusuhan itu, ketiga orang Flores ini ditemukan tidak bersalah. Bahkan mereka sesungguhnya sama sekali tidak terlibat dengan kasus tersebut. Mereka berada di Poso secara kebetulan sebagai para pedagang.Namun, pemerintah sudah terlanjur diam. Pemerintah tidak mau mendengar seruan lagi. Pantang bagi pemerintah untuk menjilat ludahnya sendiri.


Beberapa tahun setelah itu, sungguh terbukti bahwa langkah pemerintah dalam menghukum mati Tibo dan teman-temannya adalah sebuah kekeliruan besar yang cukup memalukan. Meskipun dilakukan secara diam-diam, pelaku-pelaku sesungguhnya mulai dimunculkan. Pelaku-pelaku sesungguhnya mulai diperiksa. Pelaku-pelaku sesungguhnya mulai disidangkan. Namun, Tibo dan kawan-kawan telah menjadi korban yang sungguh sia-sia. Nasib mereka naas, tanpa grasi dan dukungan kemanusiaan. Mereka hanya menjadi kambing hitam yang sungguh tidak berdaya.


Hari ini,dua tahun setelah eksekusi Tibo dan kawan-kawan, kita semua sedang was-was menantikan kapan para pelaku Bom Bali I itu dihukum mati. Meski ada sejumlah reaksi pro dan kontra dalam masyarakat, hukuman mati, konon memang menjadi keniscayaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah jauh-jauh hari. Namun, sampai hari ini pun, tidak ada tanda bahwa hukuman kepada para pelaku akan dilakukan. Selama beberapa hari, media televisi yang secara gencar meliput hal ini telah membentuk sejumlah opini publik. Beberapa opini secara tajam menunjuk ketidaktegasan dan kegentaran pemerintah dalam melakukan eksekusi. Secara gamblang polisi dianggap takut karena eksekusi itu akan menimbulkan dampak sosial yang tidak kondusif bagi umat Islam di Indonesia. Beberapa opini mempertanyakan kembali kebenaran penyidikan polisi bahwa Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron adalah dalang dari tragedi di Bali. Ketiga orang ini pun dipandang sebagai bagian dari skenario pemerintah untuk memberikan kesan yang baik di depan mata Amerika, Australia, dan PBB.

Mungkinkah nasib ketiga orang ini-yang tampaknya justru telah menjadi "folk heroes" bagi sebagian orang-serupa dengan nasib ketiga orang yang dieksekusi dua tahun lalu? Lepas dari sejumlah atribut atau simbol agama yang terlihat sangat memusingkan dalam peristiwa itu,kita tampaknya perlu mengkaji kembali seberapa akuratkah eksekusi mati dapat dipergunakan sebagai simbol dari tegaknya hukum?Seberapa dalamkah makna eksekusi mati yang diterapkan oleh pemerintah dapat menggerakkan hati kita untuk membenci kejahatan dan menegakkan keadilan?

Berabad-abad yang lalu, ketika monotheisme ditegakkan di padang tandus Yehuda, ada Sabda yang mensyaratkan hukum balas dendam atau Vendetta sebagai bentuk keadilan. Mata ganti mata. Hidung ganti hidung. Telinga ganti telinga. Bukan berarti, Sabda itu mau merayakan sebuah ritus kekerasan dalam tubuh umatnya. Namun, di balik syarat itu, ada sebuah pengajaran bahwa orang diajak untuk tidak bersikap brutal dan membabi buta. Seperti kondisi sekarang, karena mencuri seekor anak ayam, si maling tewas mengenaskan dengan tubuh terbakar karena siraman bensin dan api massa. Jelas, ini gaya para kanibalis yang pongah!

Hari ini, kita semua sebagai satu bangsa sangat bersimpati dengan keluarga Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron. Di layar televisi, beberapa wajah yang haru mengingatkan kita bahwa kehilangan adalah sebuah petaka yang tidak dapat dilupakan dengan mudah. Entah mereka sungguh bersalah atau tidak dalam tragedi Bali I itu, kita memang tidak pernah mengetahui. Mereka bertiga sudah terlanjur basah masuk ke dalam hukum kausalitas manusia yang angkuh. Hari ini, memahami eksekusi mati tampak lebih rumit daripada memahami kehendak Tuhan. Sebab, bagaimanapun, eksekusi mati adalah sebuah produk masyarakat modern yang paling rasional untuk memaknai keadilan di tengah-tengah rasa benci dan rasa iba.Namun, seberapa jauhkah hal ini mampu menampilkan wajah keadilan sebagai cermin dari karya Tuhan?

Kamis, 06 November 2008

Mr.Obama, Selamat!


Setelah menjalani rally kampanye yang cukup melelahkan, Obama kini telah terdaftar sebagai penumpang pertama Air Force One. Entah apakah ia akan duduk di tempat favorit Bush Senior, Bush Yunior, atau Reagen, kita tidak pernah tahu. Namun, bagi masyarakat dunia, kemenangan yang diperolehnya secara mutlak itu menjadi simbol yang baik bahwa demokrasi yang patah akan berdiri lagi. Kemenangan Obama adalah kemenangan multikulturalisme, bukan hanya di Amerika Serikat, tetapi negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Pertama kali, Amerika cukup terhenyak ketika seorang pria yang identitas rasnya terlalu berwarna-warni- Afrika, Amerika,Jawa, dan juga Menteng- sesumbar menantang Bush, yang pada saat itu sedang terluka oleh sejumlah kritik pedas di dalam rumahnya sendiri. Orang ini memang sudah tidak muda lagi. Namun, bagi Amerika, sesumbar pria berkulit hitam ini mengingatkan mereka pada semangat para pendiri bangsa yang tertulis dalam pita "E Pluribus Unum." Dalam bahasa kita, “Bhinneka Tunggal Ika”, sebagaimana tercengkram dalam burung Garuda Pancasila. Pria ini, dengan sangat lugas, meneriakkan asas dasar kehidupan masyarakat Amerika yang telah tergerus dan menghilang karena ultra-patriotisme dan ultra-nasionalisme yang palsu, a la keluarga Bush.

Obama mewakili generasi yang resah dengan sejumlah image tentang American Dream yang menyesatkan. Ia resah dengan image Amerika sebagai polisi dan tentara dunia. Ia resah dengan kebijakan pemerintah yang terlalu boros, hanya demi peperangan yang bodoh. Meskipun ia terlahir dan besar dalam kultur yang berbeda, ia dapat menjangkau inti kehidupan Amerika yang melting pot. Dan ia tahu bahwa ia adalah salah satu unsur atau partikel penting dalam bejana itu. Ia memberi warna. Ia menghidupi. Ia bahkan kini menciptakan "ruang interpretasi" yang baru bagi masyarakat dunia tentang Amerika, tentang demokrasi, tentang multikulturalisme, dan tentang kebebasan yang sama di antara penghuni bumi.

Perjuangan Obama dalam menampilkan kembali sosok Amerika yang muda, yang bergairah, yang damai, yang terbuka, dan yang peduli sangat relevan dengan kondisi bangsa kita. Bukan hanya karena Obama pernah diikat oleh sejumlah temannya di sebuah pohon asem yang kini telah tumbang di Menteng. Bukan persoalan sentimen bahwa ia pernah "mampir" untuk minum air dan makan hasil bumi tanah pertiwi ini. Namun, Obama telah memberikan sebuah pengajaran yang cukup penting bahwa harapan akan kondisi dan suasana yang baru harus terus digemakan, disuarakan, diteriakan, dan kalau perlu dipertahankan dengan mati-matian. Dalam sebuah biografi yang ditulisnya jauh-jauh hari sebelum pemilihan Presiden, Audacity of Hope, Obama memberikan pesan ini secara jelas.

Saya salut. Mr Obama, you are right! Bangsa kita memang juga sedang berharap. Meskipun dibalut dengan rasa cemas dan was-was, bangsa ini pun sedang menanti perubahan. Perubahan menuju kesejahteraan. Perubahan menuju keteraturan. Perubahan menuju Harmonisasi. Begitulah, antara harapan dan perubahan selalu ada korelasi yang sedemikan lekat.

Rakyat Amerika boleh berbangga hati. Para pendukung setia Obama mungkin sedang giat meletupkan tutup botol bir mereka. Sorak-sorai pasti terdengar di mana-mana. Semoga, ini bukan sekadar "dagelan" atau "soap opera", sebagai obat penawar rasa sakit setelah krisis ekonomi yang mulai memuncak akhir-akhir ini. Sekali lagi, Mr Obama, selamat. May God bless you and America!