Kamis, 22 Mei 2008

Mengapa Kita (Harus) Selalu Kalah?


Rusia bergemuruh. Skor 7-6 mengakhiri pertemuan Manchester United dan Chelsea dalam final Liga Champions tadi malam. Banyak orang sudah menduga bahwa Rooney dan kawan-kawan akan kembali mempermalukan Chelsea. Sekali lagi, dengan langkah gontai pasukan Avram Grant ini harus menundukkan kepala.

Di depan televisi, kita mungkin bisa melihat suasana yang mengharu biru itu. Kita bisa lihat Christiano Ronaldo menangis karena tendangannya tertepis. Tapi kita juga bisa lihat supporter The Blues termehek-mehek setelah babak-babak menegangkan itu. Kita bisa berempati bahkan bersimpati. Namun, apapun namanya, televisi tidak pernah membuat kita tulus dalam merasa.

Kemenangan Manchester United mungkin mampu mengusir sedikit rasa kecewa kita atas peristiwa beberapa jam lalu. Yah, beberapa jam lalu, kita melihat bagaimana supporter Indonesia (harus) menundukkan kepalanya sekali lagi di stadion Gelora Bung Karno. Kita telah berlaku sebagai tuan rumah yang sangat baik, dengan membiarkan para pemain muda Bayern Muenchen melesatkan bola bundar ke gawang Markus Horison. Senioritas para pemain (pilihan) kita diterjang badai blietzkrig. Tanpa ampun, kesebelasan kita dicukur. Skor 5-1 hanya menjadi sebuah panggung sandiwara pembantaian yang memilukan

Kekalahan Indonesia seakan menambah sesak problem masyarakat kita hari ini. BBM akan naik sedianya akhir Juni. Tapi, sudah beberapa hari ini, harga di pasar tradisional, toh sudah merayap naik. Tadi pagi, Kompas (http://www.kompas.com/) bahkan melaporkan harga susu bayi mulai mencuat sekitar Rp.15.000-Rp.20.000! Kita khawatir, setelah BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok semakin tidak terkendali. Anarkisme mulai mengendap-endap!

Padahal baru saja, publik, melalui kotak ajaib itu, disuguhi sebuah perhelatan yang sangat megah. Tiga Diva, Agnes Monica, tarian nusantara, drum band, unjuk kekuatan aparat, pencak silat, dan penyalaan obor mewarnai tekad “Indonesia Bisa!” Dalam sambutannya, Bapak SBY menyatakan bahwa tekad ini dikumandangkan sebagai respon kita atas100 tahun Kebangkitan Nasional. Dalam tekad yang membahana itu, kita sedang berimajinasi bahwa negara ini bisa bangkit dari keterpurukan.

Kita berimajinasi bahwa kita bisa kembali menjadi Macan Asia, penguasa ekonomi dan hasil alam. Akan tetapi, imajinasi kita mungkin terlalu berlebihan. Joko Suprapto, penemu energi air laut pengganti minyak dan bensin, yang kita gadang-gadang sebagai penyelamat bangsa dari krisis BBM, hilang lenyap. Tanpa bekas. Konon kabarnya dia diculik, entah oleh siapa. Dia mesti diculik karena penemuannya itu dianggap membahayakan banyak pihak. Seperti kata seorang teman, “Joko bisa menjadi perusak tatanan kosmologis negara modern!”

Maka tanda seru dalam tekad itu tampaknya memudar dalam beberapa hari ini. Tekad itu hanya menyisakan tanda titik yang panjang bak pertanyaan dalam esai atau pilihan ganda. Banyak orang di jalan-jalan mulai berseloroh bahwa tekad itu bisa tampil seperti soal-soal Ujian Nasional berdasarkan kondisi kini.
“Isilah titik-titik berikut ini. Indonesia bisa ……
a. melarat, b. menangis, c. terluka, d. bersedih.”

Kita tidak tahu apakah Christiano Ronaldo dan kawan-kawan yang kita idolakan itu mampu memahami suasana batin 200 juta masyarakat Indonesia. Apakah 2,5 triliun yang mereka peroleh pun dapat kita hitung dengan air mata kemiskinan bangsa yang sudah mulai mengering ini?

Kita ingin Manchester United mengerti bahwa bangsa ini ingin pula tampil dalam pentas dunia seperti mereka. Namun, apa lacur, kekalahan demi kekalahan terus mendera. Dan kita sudah terlanjur menjadi bangsa yang terlalu mempan pada penderitaan. Menundukkan kepala dan berjalan dengan langkah gontai.

Tidak ada komentar: