Senin, 12 Mei 2008

Mencari Kembali Kriteria Independen Seni

“Art is not genuine art until it has thus liberated itself ”
-Hegel



1. Prolegomena
Dalam setiap zaman, tidak dapat dipungkiri bahwa seni seringkali menampakkan kecenderungannya untuk menjadi sosok yang otonom, mandiri, unik, dan eksklusif dari bidang-bidang yang lain. Sebagai buah dari proses imajinasi dan semangat creatio, kecenderungan itu seringkali menyebabkan keberadaan seni dibedakan dari aktivitas kehidupan sehari-hari yang wajar kita sebut sebagai aktivitas ekonomi, misalnya. Hal demikian dapat kita tengok dalam kerangka Marxisme klasik bahwa seni hanya menduduki sisi superstruktur yang menjadi bagian dari ide-ide abstrak dan tidak berguna bagi pengembangan mode of production. Produksi seni dan produksi ekonomi menjadi dua kutub yang saling berbeda. Akan tetapi, secara historis, kemandirian ini ternyata memberikan implikasi yang cukup paradoks.

Tidak jarang, kemandirian ini ternyata mampu membuat seni menjadi monumen prestise yang cukup arogan. Karena sifatnya yang seringkali dibahasakan sebagai “kehalusan budi”, “imajinasi luhur”, dan “pembentuk peradaban”, keberadaan seni pada masa lalu (misal: Renaissance) pernah sangat dihormati dan bahkan seringkali menjadi syarat mutlak bagi kurikula kepriyayian para noble men. Tanpa seni, orang dianggap tidak beradab (barbar). Tanpa seni, tidak pernah ada peradaban. Semangat seni untuk seni yang pernah berlaku pada abad pertengahan menjadi pertanda yang lain bagaimana kemandirian yang dimaksud itu dipuja dalam kerangka Narcicis. Kemandirian seni, tidak dapat dipungkiri, pun turut merayakan kejayaan kaum borjuis dan aristokrat secara tidak langsung. Karena bagaimanapun juga, secara genealogis seni muncul dan berkembang dari pusat-pusat peradaban seperti istana dan biara. Sebuah daya cipta imajinasi justru dapat disebut sebagai seni setelah ia secara khusus diakui, dinilai, dan diadopsi oleh pihak-pihak yang tentunya tidak berada di luar kedua wilayah tersebut. Seni menjadi kekayaan budaya urban yang sangat mahal. Keadaan ini dengan sendirinya malah membuat seni terlibat dalam beberapa hal yang berada di luar seni. Ia menjadi tidak mandiri. Ia berada dalam heteronomi yang timbal balik. Seni melahirkan kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat melahirkan seni. Hal ini sesuai sebagaimana pernah dinyatakan oleh Madame de Stael dan Hippolyte Taine, kedua-duanya penulis dari Perancis, bahwa karya sastra, misalnya, dinyatakan sebagai sebuah hasil seni yang tergantung pada institusi sosial, ras, zaman, dan lingkungannya.

Meskipun demikian, dalam perkembangannya, tidak dapat disangkal bahwa pencarian atas kemandirian dan otonomi dalam seni masih tetap berlangsung. Dari beberapa panorama di atas, tampaknya, kecil sekali kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita kemandirian ini. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba untuk memeriksa kembali kecenderungan seni sebagai sosok yang otonom, mandiri, alias independen. Bahkan, perlu juga diperhatikan bagaimana perkembangan kata kemandirian atau independen itu menemukan tempatnya dalam seni. Dalam hal demikian, tulisan ini mencoba untuk memeriksa ulang pemikiran mengenai kecenderungan kemandirian dalam perkembangan seni yang ada sampai hari ini.


2.Kemandirian sebagai Agony
Sejak awal, kemandirian seni itu tidak selalu datang dari dirinya sendiri. Kemandirian yang dimaksud seringkali merupakan buah dari pengasingan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang menganggap seni sebagai musuh masyarakat. Seni dianggap sebagai sebuah anomali dan bahkan entropi dari peradaban yang meletakkan kehalusan budi dan ekspresi di luar prioritasnya, yaitu menaklukkan dan memerintah sebagaimana terlihat pada dominasi yang dilakukan oleh Sparta atas Athena. Bahkan filsuf besar seperti Plato yang sangat menjunjung ide sebagai sesuatu yang asli dalam kehidupan manusia, tidak pernah menyesal untuk mengatakan bahwa penyair adalah musuh masyarakat. Menurutnya, posisi penyair tidak berbeda dengan candu yang dapat membius masyarakat.Kemandirian seperti ini tentu saja merupakan kemandirian semu atau kemandirian yang ditentukan. Ia tidak dapat bebas untuk mencari kemandirian itu sendiri karena kemandirian yang dialami hanya merupakan sebuah conditioning. Dengan cara seperti ini, kemandirian menjadi kata lain dari pengasingan dan pengucilan seni dalam masyarakat. Seni tidak diletakkan dalam terang estetika melainkan etika. Bagi seni, hal ini adalah sebuah agony. Ia diberi status (esensi), tetapi eksistensinya tidak diakui.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk menentukan conditioning demikian. Cara pertama adalah sensor. Secara historis, keberadaan sensor semakin penting tatkala etika menjadi perangkat tegas untuk mewujudkan keteraturan dalam masyarakat. Ini berlaku setelah gerak monoteisme menemukan jalannya. Seni seringkali menjadi pihak tersangka utama yang ditengarai membawa kekacauan bagi masyarakat sebelum teknologi teradopsi dengan luas. Pandangan etika awal yang biasanya bersumber dari kitab-kitab suci itu berusaha untuk menahan laju gerak ekspresi dalam seni yang seringkali muncul dalam rupa yang sangat kontradiktif bagi traktat dogmatis itu. Padahal sebelumnya, segi-segi religiositas seringkali diekspresikan dalam seni. Kita tahu bagaimana patung berhala yang tentunya dibuat dan dipersiapkan secara estetis itu dihujat oleh para nabi sebagaimana terlihat pada perikop yang agak panjang (Kebijaksanaan Salomo, 13:10-16) tentang berhala-berhala dan pemujaannnya sebagai berikut.

10. Tetapi celakalah orang yang menaruh harapannya pada benda mati yang mendewakan buatan tangan manusia, yaitu emas dan perak, karya seni, dan gambaran macam-macam binatang, ataupun batu yang tidak berfaedah, buatan tangan zaman kuno.
11. Misalkan seorang tukang kayu menggergaji pohon kayu yang mudah dikerjakan, kemudian membuang dengan cermat seluruh kulitnya, mengerjakannya sebagai mestinya, akhirnya membuatnya jadi perkakas yang berguna bagi keperluan hidup.
12. Lalu bagian-bagian yang terbuang dari buatannya itu dipakainya untuk menyediakan makanan dan ia pun menjadi kenyang.
13. Tetapi apa yang tak berguna dari bagian-bagian terbuang itu, yang tidak ada gunanya sama sekali, yaitu sepotong kayu bengkok yang banyak bonggolnya, diambilnya dan diukirnya pada waktu terluang, dan dengan tangkas dibentuknya di waktu istirahat serta dibuatnya jadi rupa manusia
14. atau diserupakannya dengan seekor binatang yang hina. Lalu disapunya dengan sedelinggam, dimerahinya kulitnya dengan cat dan dilumasnya setiap noda yang ada padanya.
15. Lalu dibuatkannya baginya rumah-rumahan yang serasi dan ditempatkannya pada dinding serta dilekatkannya dengan paku.
16. Dijaganya pula agar jangan jatuh, sebab ia insaf bahwa patung itu tidak mampu menolong dirinya karena hanya patung sajalah itu dan memerlukan pertolongan.

Dari perikop tersebut, terlihat bahwa segala kreasi seni yang diusahakan oleh manusia dapat dinyatakan sebagai berhala. Ini dapat dipahami karena dalam pandangan monoteisme awal, kedaulatan Tuhan sebagai satu-satunya pencipta isi bumi memang sangat diagungkan. Ini juga berarti bahwa tidak ada penciptaan di luar Tuhan , dan tidak ada tuhan-tuhan lain yang diciptakan oleh manusia selain diri-Nya yang menjadi causa prima. Mungkin perikop di atas dapat dianggap sebagai teori sensor pertama yang terjadi di dunia. Akan tetapi, dalam perkembangannya kategori sebagaimana ditampakkan oleh kitab suci itu pun mengalami pelunakan. Pelunakan atas sensor ini terjadi seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai etika yang tidak hanya dipahami dalam kerangka teologi saja melainkan campur tangan filsafat yang sudah berani menolak statusnya sebagai ancillary of theology. Walaupun dalam gereja Katolik, misalnya tetap diberlakukan nihil obstat pada beberapa karya tulis sebagai penanda bahwa karya tersebut telah lolos sensor, tetapi ini pun diatur secara diplomatis agar tidak terjadi kekacauan yang dapat ditimbulkan oleh karya itu di kemudian hari.

Dalam panorama Indonesia pada masa kolonial sampai Orde Baru berakhir, kecenderungan yang sama pun dapat terlihat. Kemandirian sebuah seni dapat terelaborasi ketika ia menjadi seni yang mampu menyesuaikan dirinya dengan etika sosial dan etika penguasa. Dalam etika sosial, kemandiriannya dapat berfungsi sejauh ia tidak menampilkan gagasan-gagasan yang memancing keresahan masyarakat seperti pornografi dan permasalahan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan)[1]. Sementara itu, dalam etika penguasa, kemandiriannya terukur jika ia mau tunduk dan patuh pada asas-asas dan rambu-rambu peraturan yang telah ditetapkan oleh penguasa. Kepatuhannya secara kongkret dapat diamati jika ia tidak secara terang-terangan atau laten memberikan kritik, menghasut, atau bahkan menghujat. Dalam keadaan ini, seni diletakkan hanya sebagai penghibur masyarakat, amusement, dalam pola ranah estetika, yang tidak jarang ditetapkan pula oleh penguasa. Ini misalnya terlihat pada peri kehidupan seni yang dikembangkan oleh LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Setiap bentuk seni yang ditampilkan harus mencerminkan pandangan realisme sosialis. Akan tetapi, realisme sosialis yang dimaksud di sini pun harus sesuai dengan garis kebijaksanaan partai. Kemandirian pada akhirnya tidak diatur oleh dirinya sendiri, melainkan di luar dirinya. Untuk mencapai kemandirian seperti ini, sensor, sekali lagi, mutlak diperlukan dengan dalih etika yang telah dirasionalisasi.

Cara kedua adalah dengan didirikannya gedung-gedung kesenian dan galeri-galeri. Disadari atau tidak, kedua dimensi ruang demikian secara tidak langsung telah membawa seni pada kemandirian yang ditentukan. Kedua-duanya menjadi bagian dari strategi politik penguasa untuk mengalokasikan seni agar ia jauh dari masyarakat banyak dan hanya menjadi milik dari komunitas tertentu yang tentu saja telah terpilih dan terseleksi dengan sendirinya. Baik gedung kesenian maupun galeri secara sosiologis telah memberikan efek seleksi yang cukup kuat. Dalam peradaban borjuis, hanya mereka yang memiliki kelebihan finansial dan leisure time sajalah yang mampu menikmati karya seni seperti concerto, opera, dan mencicipi keindahan lukisan atau pahatan dari para maestro di pusat-pusat peradaban Eropa seperti di Venice, London, atau Versailles. Selain itu, dengan conditioning dalam ruang, suara-suara yang tidak enak terdengar bagi penguasa, seperti kritik atau protes sosial, hanya berakhir pada dinding-dinding bangunan tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Mozart dalam operanya yang berjudul The Marriage of Figaro [2]. Meskipun opera ini dinilai cukup berani pada masa itu (1786) untuk mengkritik kaum bangsawan, tetapi ia pun hanya berakhir di dalam panggung dan tidak dapat menghujam sanubari masyarakat di luar gedung pertunjukan satu per satu. Ia telah diredam dengan sendirinya.

Dalam gedung kesenian memang tidak ada sensor seperti yang tercantum dalam nihil obstat, tetapi gedung kesenian itu sendiri sudah merupakan bagian dari panoptikon dan mekanisasi sistem sensor yang dilakukan oleh penguasa. Tidak semua karya seni dan bentuk ekspresi seni mampu tampil di dalam gedung-gedung kesenian dan galeri-galeri. Hal seperti ini biasanya dengan mudah kita temukan pada peradaban Eropa abad ke-17. Pada saat itu pertunjukan seni yang mampu hadir dalam gedung-gedung pertunjukan adalah pertunjukan yang disewa secara khusus oleh penguasa. Tentu saja ia disewa untuk mewartakan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Inggris dalam The Siege of Rhodes. Opera yang pertama kali ditampilkan pada tahun 1656 ini merupakan perayaan besar untuk menghormati Oliver Cromwell dan sekaligus menjadi simbol kebanggaan Inggris pada saat itu.Namun, pertunjukan seni itu pun tidak selalu dimaksudkan secara politis. Ada kalanya karena kegemarannya terhadap repertoire seni tertentu, seorang penguasa sanggup menampilkan pertunjukan seni yang spektakuler sebagaimana sering dilakukan oleh Raja Louis XIII dan putranya Louis XIV. Dari sini kita dapat melihat bahwa gedung-gedung kesenian itu pada awalnya hanya diperuntukkan bagi seni-seni dan sekaligus seniman-seniwati yang mau mengikuti alur politik dan kesukaan penguasa. Seniman seperti Ludwig van Beethoven telah merasakan kegetiran, agony yang tiada terperi ketika selama beberapa tahun lamanya ia tidak dapat menampilkan komposisinya di dalam gedung-gedung pertunjukan karena telah menentang selera penguasa.

3. Kemandirian sebagai Self-Reliance
Berbeda dari yang pertama, kemandirian di sini berasal dari kepercayaan diri bahwa seni pada dasarnya merupakan sosok yang otonom, yang terlepas dari berbagai matra kehidupan yang lain. Seni mendahului eksistensi yang dimiliki oleh segala yang ada di bumi. Dalam pandangan beberapa agama arkhais, pra monoteisme, yang terdapat di Assyria dan India, misalnya, penciptaan alam semesta bahkan dilakukan ketika Sang Pengada Alam itu menari. Seni di sini pada akhirnya bukan sekedar menunjukkan ekspresi, tetapi juga mewakili sesuatu yang sublime. Seni menjadi bentuk sakral yang dengan serta merta harus selalu direpresentasikan dalam setiap pribadi. Ini berarti bahwa segala ekspresi seni adalah sah, tidak seperti yang terdapat pada kemandirian semu. Kemandiriannya seolah-olah merupakan sesuatu yang sekonyong-konyong jatuh dari langit. Pandangan demikian ternyata menghasilkan hubungan seni dengan karisma. Seorang seniman, entah ia seorang penyair atau pelukis, seringkali dianggap sebagai manusia setengah dewa. Ia memiliki karisma dan pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat.Dalam masyarakat Melayu, misalnya, keadaan demikian dapat terlihat pada penyebutan ‘pujangga’ kepada para penyair. Kata ini memiliki arti yang sama dengan ‘Kawi’ dalam khazanah sastra Jawa Kuno[3].

Kemandirian ini pun tidak terlepas dari kecenderungan pemujaan atas keindahan. Walaupun keindahan itu mengalami revolusi yang sangat cepat, tetapi tetap saja ada benang merah yang dapat ditarik bahwa keindahan itu berasal dari pandangan antropomorfis. Pandangan demikian melihat manusia sebagai proyek ideal alam yang tidak berbeda dengan dewa-dewa sebagaimana dikisahkan dalam mitologi Yunani. Antropomorfisme ini memuncak pada masa Renaissance yang menjadi tonggak dasar perkembangan sejarah dunia.

Kemandirian ini seringkali tercipta pula melalui daya kreasi yang bersifat unik. Dalam seni, selalu saja ada inovasi dan kreasi yang jauh lebih variatif. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal bahwa ada kalanya semangat zaman tertentu membuat perkembangan seni menjadi sangat seragam sebagaimana misalnya terlihat pada masa Romantik dalam musik yang berlangsung selama 90 tahun (1810-1900). Dalam rentang waktu yang tidak pendek itu, public concert, misalnya, menjadi sangat populer dalam masyarakat Eropa. Seolah-olah masa Romantik ini menjadi momen awal bagi munculnya kebudayaan populer di Eropa yang serba seragam.

Ada kalanya pula dalam suatu masa yang sama bentuk seni yang satu mendukung bentuk seni yang lain sehingga menuju kemandirian bersama. Sekilas kemandirian ini hanya menjadi kemandirian yang bersifat kompromistis di antara kedua bentuk seni itu. Namun, bagaimanapun juga. Koesksistensi dalam seni pasti dapat terjadi sebagaimana terjadi di Perancis sekitar tahun 1850-1920. Pada masa itu, perkembangan seni musik berjalan beriringan dengan gerakan Impressionis dalam seni lukis. Hal demikian, misalnya, dapat dilihat pada lembar desain program yang menampilkan lukisan Impressionistik untuk repertoire ballet L’Après-Midi D’Un Faune karya Debussy.

4. Kemandirian sebagai Counter Action
Kemandirian dapat pula merupakan efek dari perlawanan atas seni yang bersifat kanon, grand, atau mayor, baik dalam teknik maupun penampilannya. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat melihat perkembangan yang dimaksud dalam kerangka dialektika Hegel. Efek perlawanan sebagai sebuah antitesis sebenarnya mencerminkan bahwa perkembangan seni tidak lahir dari kekosongan budaya. Kemandirian seni itu tidak dapat terlepas an sich dari kerangka mimetik. Bahkan perlawanan yang dilakukan oleh seni itu pun jelas memuat aspek-aspek ideologis dari sistem simbol yang dipergunakan untuk membenarkan kepentingan sempit kelompok-kelompok tertentu. Ini berarti bahwa seni pun tidak pernah sepenuhnya selalu beraksi dalam atmosfer dirinya. Seni justru seringkali merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan di luar seni, entah politis maupun ekonomis, sebagaimana terjadi pula pada agama dan ilmu pengetahuan. Di sinilah, kemandirian seni itu pada hakikatnya tidak terlepaskan pula dari medan pertarungan dan war of position.

Saya akan memberikan contoh singkat yang cukup menarik bagaimana kemandirian seni itu seringkali harus mengalami krisis dan agony yang selalu bersifat dialektis di medan kepentingan. Contoh ini saya ambil dari dua tulisan mengenai khazanah perkembangan seni film dan seni sastra di Indonesia beberapa dekade terakhir sebagai jejak-jejak yang perlu diperiksa kembali. Tulisan pertama saya ambil dari Salim Said yang berjudul “Dari Dua Pola ke Wajah Indonesia”[4]. Dalam tulisan itu, Said menyatakan bahwa seni film di Indonesia tidak bisa secara mandiri melukiskan wajah masyarakat Indonesia karena selalu terjadi krisis interest di dalamnya. Sejak awal kemunculannya di tahun 1926, tatkala Hueveldop dan Krueger membentuk Java Film Company di Bandung, seni film di Indonesia hanya menjadi komoditi dagang. Ini semakin terlihat ketika modal pembuatan film di Indonesia ditangani oleh orang Tionghoa seperti Tan’s Film Coy. Dikatakan bahwa sebagai orang Timur Asing pada masa itu, tidak banyak yang diharapkan oleh orang Tionghoa untuk membuat film yang memiliki keterlibatan sosial apalagi politik, kendati pada masa itu iklim pergerakan nasional sedang berada di atas angin. Oleh karena itu, segi komersial akhirnya menjadi alasan dan tujuan yang tidak dapat terelekkan. Namun, setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail sebagai putra pribumi memulai suatu tradisi yang sama sekali baru dalam dunia seni perfilman di Indonesia. Ia memberikan bentuk kemandirian seni film Indonesia sebagai manifestasi dari perlawanannya terhadap komersialisasi, industrialisasi, dan kapitalisasi sebagaimana dilakukan oleh perusahaan film Tionghoa pada saat itu. Melalui Perusahaan Film Nasional yang didirikannya, film yang dibuat berdasarkan cerita-cerita yang mencerminkan kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat Indonesia. Dari sudut ini, Said menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail memiliki homology dengan gerakan Neo Realisme Italia yang lahir sebagai reaksi atas pola Hollywood yang mementingkan segi komersialisasi dan yang hampir tidak memberikan kesempatan berekspresi pada si pembuat film. Meskipun begitu, kemandirian yang dicanangkan oleh Usmar Ismail itu harus runtuh karena kekurangan modal, sikap masyarakat yang belum siap menerima kenyataan tentang dirinya sendiri, dan sensor yang terlalu ketat. Setelah itu, seni film di Indonesia kembali lagi kepada kebiasaan lama, yaitu sebagai alat komersial.

Tulisan yang lain berasal dari Emha Ainun Nadjib tentang “Sastra Independen”[5]. Dalam tulisan itu, Nadjib melihat kemandirian berasal dari pembebasan terhadap hal-hal yang bersifat mengekang sebagaimana pernah dilakukan oleh Chairil Anwar[6]. Namun, untuk menggariskan kembali makna kemandirian yang dimaksudnya itu, Nadjib pun mempertanyakan apakah sejarah seni sastra Indonesia memiliki kaitan yang erat dan koeksisten dengan sejarah masyarakat dan negara Indonesia. Pertanyaan demikian semakin dipertajam dengan kenyataan yang terjadi bahwa konvensi seni sastra Indonesia makin menuju kepada suatu tata nilai yang cenderung membisu. Seni sastra Indonesia diproteksi dari kaitannya dengan disiplin-disiplin lainnya sehingga melahirkan suatu paradigma yang menyatakan bahwa eksistensi seorang sastrawan adalah puisi atau prosanya. Dengan demikian, keberadaan karya sastra sebagai bagian dari proses dan protes sosial ditolak seperti yang ditegaskan oleh Sapardi Djoko Damono[7], Sutardji Calzoum Bachri, dan Abdul Hadi WM dalam Forum Penyair Muda Jakarta tahun 1982. Dalam proses demikian, seni sastra, mau tidak mau, harus tunduk pada struktur-struktur kekuasaan yang melakukan conditioning yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam ruang ekspresi. Oleh karena itu, Nadjib menawarkan sebuah paradigma sastra independen yang memunculkan kemampuan untuk tetap mandiri di tengah berbagai praktik sosial dalam masyarakat dan negara. Kemandirian itu harus direpresentasikan walaupun mungkin harus bertabrakan dengan kekuatan-kekuatan yang mengitarinya.

5. Burung Tanpa Sayap
Jika dalam beberapa tahun terakhir ini, publik seni Indonesia mendengar kembali istilah seni independen dalam beberapa bentuk seni seperti film atau musik, maka itu tidak berarti bahwa segi independen yang ditampilkannya memiliki kemiripan persoalan dengan krisis dan agony dari kemandirian yang dimaksud sebelumnya. Adagium bahwa “setiap perkembangan adalah unik” harus tetap dipegang. Hal demikian dapat kita baca bahwa konsep atas kemandirian itu pada dasarnya berhubungan erat dengan diskontinyuitas. Ia tidak dapat dialurkan begitu saja dalam sebuah tata kronologis yang seragam dan bersamaan. Bahkan keberadaannya sendiri bisa jadi bukanlah sebuah evolusi atau revolusi melainkan involusi yang berputar.

Kendati demikian, kemandirian tidak harus ditinggalkan. Ia harus mengalami proses probasi, trial, percobaan dalam proses komutasinya untuk menemukan kematangannya. Sebagaimana sebuah organisme, kemandirian dalam seni pun harus mengalami pergantian musim yang seringkali tidak dapat diramalkan secara pasti. Oleh karena itu, sangat naiflah bila kita menggunakan proses generalisasi yang deduktif. Dalam hal ini, basis ilmu sosial kemanusiaan yang bersifat induktif mencoba untuk terus-menerus membaca transformasi sosial dari berbagai sudut pandang, termasuk membaca konsep kemandirian seni yang selalu berubah-ubah baik secara estetis, sosiologis dan historis. Tentu saja, sebagai sebuah konsep, kemandirian ini akan berkembang, tetapi sebagai sebuah proses probasi yang potensial, kemandirian seni ini harus selalu diaktualkan, entah sebagai perlawanan, pembebasan, partikularisasi, populisasi, atau bahkan pluralisasi. Dari panorama ini, kemandirian seni bukanlah sebuah donnè (ada begitu saja sebagai sesuatu yang sudah diberikan) atau sikap mauvaisse foi (bad faith) yang dipaksakan. Tanpa kemandirian, seni hanyalah burung tanpa sayap.

Catatan Akhir


[1] Kecenderungan ini menyeruak ketika Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai Komisi Bacaan Rakyat menetapkan beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh setiap karya sastra dan sekaligus pengarang yang berkeinginan terjun di dalamnya. Pornografi dan SARA menjadi beberapa hal yang harus dihindari, selain opini terhadap pemerintah Hindia Belanda. Belenggu karya Armijn Pane, misalnya, pernah menjadi buku yang termasuk dalam black list Balai Pustaka karena menampilkan segi sensualitas antara tokoh Tono dan Rohayah. Padahal dari kaca mata masa kini, apa yang dianggap sebagai sensualitas sebagaimana dipahami oleh Balai Pustaka dapat diperiksa kembali.
[2] Pada awalnya The Marriage of Figaro merupakan novel yang dikarang oleh Beaumarchais. Novel ini sebenarnya menyuarakan protes dan sindiran yang berasal dari kaum proletar sebagaimana diwakili oleh Figaro kepada para bangsawan dan pemerintah yang semena-mena yang diwakili oleh Count Almaviva. Dalam novel atau opera, kalimat seperti “ Count, qu’avez-vous fait pour tant de biens? Vous vous êtes donnè la peine de naitre!” (Count, apa yang telah kamu perbuat untuk kebaikan-kebaikan yang demikian banyak itu? Kamu telah mempersukar diri lahir ke dunia!”) menjadi kalimat sakti yang ditunggu-tunggu oleh pembaca atau penonton sebagai bentuk sindiran yang paling keras. Vide. Crane Brinton, Anatomi Revolusi (Jakarta: Bhratara, 1962) hlm. 85-6
[3] Pembicaraan mengenai ‘Kawi’ ini dapat dilihat pada pembahasan mendetil yang dilakukan oleh Pater Zoetmulder dalam Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta : Djambatan, 1983) hlm. 179-218
[4] Pernah dimuat dalam Prisma, 6Juni 1977, hlm. 65-75
[5] Pernah dimuat dalam Basis, Juli 1982, hlm. 259-265
[6] Ibid. Menurut Nadjib, Chairil Anwar telah menancapkan tiga tonggak penting . Pertama, pembebasan dari konvensi puisi lama. Kedua, pembebasan dari tekanan kepentingan propaganda politik. Ketiga, perjuangan menegakkan kemerdekaan kreativitas yang termanifestasikan dalam pemasyarakatan puisi dan pembebasan kata dari makna (cetak tebal dari saya).
[7] Konsensus demikian tampaknya tidak mencerminkan diri Sapardi Djoko Damono sebagai seorang penyair dan kritikus sastra sebagaimana pernah tercermin dalam tulisannya yang berjudul “ Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia; Lebah Tanpa Sengat” (Prisma 10 Oktober 1977, hlm. 51-61). Saya kutipkan beberapa pernyataannya dalam tulisan tersebut, yang sangat kontradiktif dan inkonsisten dengan pandangannya dalam Forum Penyair yang disebut Nadjib.
“Satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih sungguh-sungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya. Hanya kesungguhan itulah yang bisa menghasilkan karya yang baik. Ia harus berusaha terus untuk menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial, untuk kemudian menyusun kritiknya. Hanya dengan begitu, sastra bisa dipergunakan untuk mengukur sikap manusia terhadap persoalan masyarakat di sekitarnya” Ibid., hlm. 61

Tidak ada komentar: