Jumat, 16 Mei 2008

Menguber Kebangkitan


Tadi malam Tim Uber kita menang! Satu hadiah yang cukup mengharukan setelah 10 tahun terpuruk dalam cercaan publik. Kita patut acung jempol untuk Pia dan teman-teman. Mereka berlelah bukan hanya untuk sebuah piala melainkan juga sebuah pengakuan. Inilah yang akan dibuktikan. Bahwa negara ini tidak sekadar dipenuhi oleh para supporter anarkis. Bahwa negara ini juga punya bukti. Bahwa negara ini adalah negara sehat, punya tradisi untuk berprestasi.

Konon kabarnya, negara sehat pun punya tradisi untuk mengangkat nasib rakyatnya dari keterpurukan. Keluar dari keterpurukan itu adalah nama lain dari kebangkitan. Nah, sebentar lagi, hari Kebangkitan Nasional kita peringati. Bagi sebuah negara yang baru merdeka, usia 100 tahun kebangkitan tampak luar biasa gagah. Namun, kini banyak orang mulai mencibir. Seratus tahun tidak berarti apa-apa. Tidak pernah ada kebangkitan, sesungguhnya. Negara ini sudah terlalu lama mati. Ia hanya didera oleh ilusi kebangkitan yang semu.

Pada saat yang sama, banyak warga mulai khawatir dengan kehidupannya. Harga BBM yang konon segera melonjak telah menyergap impian mereka tentang kebangkitan yang sesungguhnya. Mereka mengharapkan kebangkitan seperti mereka mengharapkan turunnya harga-harga susu, tempe, atau kretek. Apa lacur, krisis ekonomi tahun 1993 telah meradang, menerjang jauh sendi-sendi kehidupan mereka. Kini, mereka hanya hidup bagai zombie. Otak mereka telah hancur. Tetapi tubuh terus bergentayangan. Minta dipenuhi rasa lapar dan rasa hausnya.

Seratus bukan sekadar angka, tentunya. Meski tampak sebagai angka sempurna, seratus, bagi kita tetap simpan enigma yang membingungkan. Sesungguhnya, pada tanggal 20 Mei itu, kebangkitan macam apakah yang sedang kita peringati? Sekadar memperingati kelahiran sebuah organisasi yang jelas-jelas mendukung ekspansi Ratu Belanda? Doktrin sejarah mungkin lebih ampuh dalam menjawab. Konteks masyarakat yang didera oleh kolonialisme yang berkepanjangan, membuat mereka terjebak dalam ilusi untuk bangkit, untuk berdiri dari penindasan. Mereka memang butuh momen. Mereka butuh ruang untuk mengkolektifkan impian itu. Namun, momen pun bukan sekadar ruang. Meski aroma kolektif tercium di sana, ruang ini punya efek jangka panjang yang tidak terduga. Bukankah kita mulai menggugat?

Seratus adalah angka romantisme. Angka ideal. Angka yang memang diharapkan. Namun, sejauh sebagai angka, seratus tetap menyimpan harapan yang tidak pernah terkatakan. Ia hanya tercekat di antara kerongkongan para pahlawan tanpa nama yang tidak terkuburkan secara layak. Seratus adalah angka impian. Di sana kita mulai menyimpan rencana-rencana, entah untuk seratus tahun ke depan. Sementara itu, orang sudah tidak dapat berbuat apapun. Akhir bulan ini, mereka harus bangkit. Entah untuk menolak harga BBM. Atau, entah, untuk bersemadi dan bermimpi kembali tentang kesejahteraan yang akan datang seratus tahun ke depan. Sanggupkah kita meng-“uber”-nya? (Bangkit tidak bangkit, maju terus Tim Uber!)

Jakarta, 16 Mei 2008

Tidak ada komentar: