Jumat, 23 Mei 2008

Satu Nama Saja!


Influence, like those other categories, is subjective. Inilah kalimat kedua yang ditulis oleh Richard Stengel, Managing Editor majalah TIME untuk edisi 100, The Most Influental People in the World (http://www.time.com/). Memang menarik untuk menyimak mengapa majalah ini punya tradisi untuk menghadirkan 100 orang yang paling berpengaruh di dunia. Ternyata, seperti kata Stengel, TIME lebih meyakini bahwa pengaruh lebih kuat daripada kekuasaan. Kekuasaan, entah tampil dalam bentuk kepandaian atau kekayaan, mungkin dapat menindas. Namun, pengaruh lebih menjadi jembatan emas yang natural bagi potensialitas manusia.

Ternyata, hampir semua profil tokoh yang dikupas TIME ditulis pula oleh tokoh-tokoh yang mumpuni di bidang lain. Misalnya, Madeleine Albright, mantan Sekneg Amerika Serikat, menulis profil Vladimir Putin. Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia, bertutur tentang profil sahabatnya, George W. Bush. Secara menarik, profil pasangan Brad Pitt dan Angeline Jolie dibicarakan oleh George Clooney. Sedangkan Michelle Obama, istri Barack Obama, mengupas profil Oprah Winfrey Meski tampak seperti testimoni, profil-profil tokoh itu jadi terlihat manis bak surat cinta kekasih di pagi hari.Membaca profil 100 tokoh adalah juga membaca kisah persahabatan dan komunikasi yang unik.

Namun, apakah hanya atas nama persahabatan, semua profil yang ditulis harus tampak positif ? Adakah di dalamnya terpetik pula sedikit kekhawatiran bahwa suatu saat persahabatan itu menjadi sebuah tirani yang tidak dapat mereka kendalikan? Dan pada akhirnya mereka tidak dapat mengenali lagi apa artinya menjadi sahabat?

TIME memang tidak ingin menampilkan paradoks ini. Pasalnya, membicarakan orang dengan kacamata positif ternyata jauh lebih berharga. Jauh lebih bermartabat. Meski ada semacam kepanikan kecil di sana, paradoks itu adalah sebuah risiko yang wajar. Meski perlu diakui bahwa pengaruh cenderung membimbing orang pada satu garis yang sama dan lurus. Secara diam-diam, karena pengaruh, akhirnya orang pun dapat pula tidak kritis. Dapat tidak mawas diri. Dapat melupakan dirinya dan tidak dapat memandang dengan jernih bahwa dalam pengaruh, tetap ada persilangan berbagai prinsip yang berbeda.

Akan tetapi, dalam tataran ideal, pengaruh seharusnya menghasilkan aksi nyata. Pengaruh baik menghasilkan kebaikan. Pengaruh juga harus selalu menginspirasi potensialitas. Homerus menginspirasi Shakespeare muda untuk menulis tragedi. Karena itu, sesungguhnya, pengaruh tidak dapat menyesatkan, apalagi membunuh, dan menghancurkan. Pengaruh adalah mesin penggerak peradaban. Konon, tanpanya, kita ini bergerak seperti burung tanpa sayap.

Dua tahun sudah, masyarakat Lapindo tidak bergerak dalam detak peradaban. Sayap-sayapnya patah. Eksistensinya tidak dibingkai lagi dalam sepucuk surat cinta. Mereka terkatung-katung tanpa pengharapan.Harga diri mereka mulai terkikis dan kandas. Karena penderitaan, masa depan anak-anak mereka mulai menjadi ilusi dan omong kosong yang terus dirayakan dalam media massa.

Sampai hari ini, pemerintah belum juga tergerak untuk segera menyelesaikan derita mereka dengan cara yang lebih bermartabat. Seolah-olah Lapindo menjadi sebuah gugusan lain di luar peta bumi nusantara. Bukankah alamnya telah diperkosa habis-habisan oleh mesin-mesin industri? Bukankah peluh mereka tertetes untuk menyejahterakan segelintir orang di Jakarta? Maka tak heran bila kepedihan mereka hanya di jatuh di bawah kaki mereka sendiri. Dua tahun Lapindo seakan-akan tidak punya pengaruh yang signifikan dalam agenda nurani pemerintah.

Selama itu pula, kita semua bisa mencatat bahwa Lapindo adalah sebuah testimoni kegagalan sebuah negara dalam menjamin kesejahteraan dan keselamatan penduduknya. Tidak ada aksi nyata, selain ratusan himbauan agar mereka bersabar. Tidak ada aksi nyata, selain hukuman bagi para demonstran. Rasanya, sudah habis kata untuk mengatakan ini. Enough is enough! Pemerintah sudah keterlaluan!

Dari 200 juta orang di negara ini, ada ratusan dan bahkan ribuan orang di gedung parlemen. Saya ingin bertanya apakah Stengel dan TIME mampu menambahkan satu nama saja anggota parlemen sebagai tokoh ke-101. Ya, satu nama saja yang mampu beri harapan untuk bersyukur bahwa kita bukan bangsa pengecut dan biadab! Bahwa kita bangsa yang peduli. Bahwa kita bangsa yang tidak tuli. Tuli budi dan nurani! Ya Tuhan, satu nama saja!

Kamis, 22 Mei 2008

Mengapa Kita (Harus) Selalu Kalah?


Rusia bergemuruh. Skor 7-6 mengakhiri pertemuan Manchester United dan Chelsea dalam final Liga Champions tadi malam. Banyak orang sudah menduga bahwa Rooney dan kawan-kawan akan kembali mempermalukan Chelsea. Sekali lagi, dengan langkah gontai pasukan Avram Grant ini harus menundukkan kepala.

Di depan televisi, kita mungkin bisa melihat suasana yang mengharu biru itu. Kita bisa lihat Christiano Ronaldo menangis karena tendangannya tertepis. Tapi kita juga bisa lihat supporter The Blues termehek-mehek setelah babak-babak menegangkan itu. Kita bisa berempati bahkan bersimpati. Namun, apapun namanya, televisi tidak pernah membuat kita tulus dalam merasa.

Kemenangan Manchester United mungkin mampu mengusir sedikit rasa kecewa kita atas peristiwa beberapa jam lalu. Yah, beberapa jam lalu, kita melihat bagaimana supporter Indonesia (harus) menundukkan kepalanya sekali lagi di stadion Gelora Bung Karno. Kita telah berlaku sebagai tuan rumah yang sangat baik, dengan membiarkan para pemain muda Bayern Muenchen melesatkan bola bundar ke gawang Markus Horison. Senioritas para pemain (pilihan) kita diterjang badai blietzkrig. Tanpa ampun, kesebelasan kita dicukur. Skor 5-1 hanya menjadi sebuah panggung sandiwara pembantaian yang memilukan

Kekalahan Indonesia seakan menambah sesak problem masyarakat kita hari ini. BBM akan naik sedianya akhir Juni. Tapi, sudah beberapa hari ini, harga di pasar tradisional, toh sudah merayap naik. Tadi pagi, Kompas (http://www.kompas.com/) bahkan melaporkan harga susu bayi mulai mencuat sekitar Rp.15.000-Rp.20.000! Kita khawatir, setelah BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok semakin tidak terkendali. Anarkisme mulai mengendap-endap!

Padahal baru saja, publik, melalui kotak ajaib itu, disuguhi sebuah perhelatan yang sangat megah. Tiga Diva, Agnes Monica, tarian nusantara, drum band, unjuk kekuatan aparat, pencak silat, dan penyalaan obor mewarnai tekad “Indonesia Bisa!” Dalam sambutannya, Bapak SBY menyatakan bahwa tekad ini dikumandangkan sebagai respon kita atas100 tahun Kebangkitan Nasional. Dalam tekad yang membahana itu, kita sedang berimajinasi bahwa negara ini bisa bangkit dari keterpurukan.

Kita berimajinasi bahwa kita bisa kembali menjadi Macan Asia, penguasa ekonomi dan hasil alam. Akan tetapi, imajinasi kita mungkin terlalu berlebihan. Joko Suprapto, penemu energi air laut pengganti minyak dan bensin, yang kita gadang-gadang sebagai penyelamat bangsa dari krisis BBM, hilang lenyap. Tanpa bekas. Konon kabarnya dia diculik, entah oleh siapa. Dia mesti diculik karena penemuannya itu dianggap membahayakan banyak pihak. Seperti kata seorang teman, “Joko bisa menjadi perusak tatanan kosmologis negara modern!”

Maka tanda seru dalam tekad itu tampaknya memudar dalam beberapa hari ini. Tekad itu hanya menyisakan tanda titik yang panjang bak pertanyaan dalam esai atau pilihan ganda. Banyak orang di jalan-jalan mulai berseloroh bahwa tekad itu bisa tampil seperti soal-soal Ujian Nasional berdasarkan kondisi kini.
“Isilah titik-titik berikut ini. Indonesia bisa ……
a. melarat, b. menangis, c. terluka, d. bersedih.”

Kita tidak tahu apakah Christiano Ronaldo dan kawan-kawan yang kita idolakan itu mampu memahami suasana batin 200 juta masyarakat Indonesia. Apakah 2,5 triliun yang mereka peroleh pun dapat kita hitung dengan air mata kemiskinan bangsa yang sudah mulai mengering ini?

Kita ingin Manchester United mengerti bahwa bangsa ini ingin pula tampil dalam pentas dunia seperti mereka. Namun, apa lacur, kekalahan demi kekalahan terus mendera. Dan kita sudah terlanjur menjadi bangsa yang terlalu mempan pada penderitaan. Menundukkan kepala dan berjalan dengan langkah gontai.

Bukan Angkatan Setengah Hati! Sebuah Ode untuk "Barudak 12 UN".



Satu hari setelah Ujian Nasional Bahasa Indonesia diadakan, saya dikejutkan oleh berita yang tidak enak. Sebuah sekolah di Jawa Timur dikepung oleh sejumlah pasukan antiteroris Detasemen 88! Konon kabarnya, para aparat telah mencium sebuah konspirasi besar dalam menyukseskan Ujian Nasional. Baru kali ini, saya membaca, senjata-senjata mesin otomatis milik aparat diacungkan kepada sejumlah guru yang ingin anak didiknya lulus walafiat!

Jarak antara kita dengan berita yang tidak menyenangkan itu mungkin beratus-ratus kilometer. Namun, jarak kepanikan kita terhadap Ujian Nasional ini hanya sejengkal jari. Begitu dekat. Saya, yang ditunjuk oleh sekolah sebagai wali kelas 12 UN, sejak awal sudah merasakan detak itu. Ujian Nasional seolah-olah menjadi lonceng kematian bagi kita semua.

Pada awalnya di dalam kelas ini terdapat enam belas siswa dan satu penggembira. Jujur, hanya tiga orang siswa yang saya kenal, Rendy, Senna, dan Denica. Saya kenal Rendy sejak sekolah masih berada di Puri Indah. Hampir setiap hari kami selalu berpapasan, terutama ketika hendak ke kamar kecil. Sementara Senna, saya kenali hanya dari poster-poster yang dipasang oleh sekolah sebagai sarana promosi dan propaganda. Sedangkan Denica sudah sungguh sangat terkenal di antara guru sebagai siswa “ngeyel” dan langganan SAM.

Namun, setelah dua-tiga bulan, di dalam kelas ini sudah terbentuk sebuah konspirasi canggih antara murid dengan guru! Tentu saja, bukan untuk melakukan makar terhadap negara, tetapi sukses bersama dalam Ujian Nasional. Ini kehendak yang sangat mulia, meski perlu diakui, punya risiko yang cukup besar. Konspirasi ini membuat murid dan guru saling mengenal. Tidak sulit untuk mulai menghapal nama atau kebiasaan masing-masing. Pertemuan yang intens dan super instant ini menciptakan sebuah gaya komunikasi yang bersifat simbiosis mutualisma. Pasalnya, waktu selalu mengejar dan detak kepanikan semakin hari semakin terasa dalam dada kami!

Seturut jalannya waktu, jumlah young gunners yang bertahan tinggal empat belas. Dua orang teman telah memilih jalan lain. Namun, bukan berarti tanpa masalah. Beberapa orang IPS mau tidak mau harus bergabung dengan teman-teman IPA. Ini jelas kasus yang pelik dan berisiko. Namun, the show must go on! Saya dibuat trenyuh oleh persaudaraan kalian. Aura kebersamaan telah menyelamatkan harapan yang mulai kandas. Salut!

Kini, tinggal menunggu sejumput waktu! Kerja keras kalian telah diaktualkan. Doa-doa pun telah dipanjatkan dengan sepenuh hati. Angkatan ini sudah mau ber-peregrinasi bersama Tuhan Yesus menuju Golgota. Tidak ada teologi sukses dalam kebangkitan, tentunya! Semoga kabar gembira akan terekam dalam hape kalian, tanggal 14 Juni 2008, nanti. Sukses selalu, saya doakan. Tuhan memberkati.

Jumat, 16 Mei 2008

Menguber Kebangkitan


Tadi malam Tim Uber kita menang! Satu hadiah yang cukup mengharukan setelah 10 tahun terpuruk dalam cercaan publik. Kita patut acung jempol untuk Pia dan teman-teman. Mereka berlelah bukan hanya untuk sebuah piala melainkan juga sebuah pengakuan. Inilah yang akan dibuktikan. Bahwa negara ini tidak sekadar dipenuhi oleh para supporter anarkis. Bahwa negara ini juga punya bukti. Bahwa negara ini adalah negara sehat, punya tradisi untuk berprestasi.

Konon kabarnya, negara sehat pun punya tradisi untuk mengangkat nasib rakyatnya dari keterpurukan. Keluar dari keterpurukan itu adalah nama lain dari kebangkitan. Nah, sebentar lagi, hari Kebangkitan Nasional kita peringati. Bagi sebuah negara yang baru merdeka, usia 100 tahun kebangkitan tampak luar biasa gagah. Namun, kini banyak orang mulai mencibir. Seratus tahun tidak berarti apa-apa. Tidak pernah ada kebangkitan, sesungguhnya. Negara ini sudah terlalu lama mati. Ia hanya didera oleh ilusi kebangkitan yang semu.

Pada saat yang sama, banyak warga mulai khawatir dengan kehidupannya. Harga BBM yang konon segera melonjak telah menyergap impian mereka tentang kebangkitan yang sesungguhnya. Mereka mengharapkan kebangkitan seperti mereka mengharapkan turunnya harga-harga susu, tempe, atau kretek. Apa lacur, krisis ekonomi tahun 1993 telah meradang, menerjang jauh sendi-sendi kehidupan mereka. Kini, mereka hanya hidup bagai zombie. Otak mereka telah hancur. Tetapi tubuh terus bergentayangan. Minta dipenuhi rasa lapar dan rasa hausnya.

Seratus bukan sekadar angka, tentunya. Meski tampak sebagai angka sempurna, seratus, bagi kita tetap simpan enigma yang membingungkan. Sesungguhnya, pada tanggal 20 Mei itu, kebangkitan macam apakah yang sedang kita peringati? Sekadar memperingati kelahiran sebuah organisasi yang jelas-jelas mendukung ekspansi Ratu Belanda? Doktrin sejarah mungkin lebih ampuh dalam menjawab. Konteks masyarakat yang didera oleh kolonialisme yang berkepanjangan, membuat mereka terjebak dalam ilusi untuk bangkit, untuk berdiri dari penindasan. Mereka memang butuh momen. Mereka butuh ruang untuk mengkolektifkan impian itu. Namun, momen pun bukan sekadar ruang. Meski aroma kolektif tercium di sana, ruang ini punya efek jangka panjang yang tidak terduga. Bukankah kita mulai menggugat?

Seratus adalah angka romantisme. Angka ideal. Angka yang memang diharapkan. Namun, sejauh sebagai angka, seratus tetap menyimpan harapan yang tidak pernah terkatakan. Ia hanya tercekat di antara kerongkongan para pahlawan tanpa nama yang tidak terkuburkan secara layak. Seratus adalah angka impian. Di sana kita mulai menyimpan rencana-rencana, entah untuk seratus tahun ke depan. Sementara itu, orang sudah tidak dapat berbuat apapun. Akhir bulan ini, mereka harus bangkit. Entah untuk menolak harga BBM. Atau, entah, untuk bersemadi dan bermimpi kembali tentang kesejahteraan yang akan datang seratus tahun ke depan. Sanggupkah kita meng-“uber”-nya? (Bangkit tidak bangkit, maju terus Tim Uber!)

Jakarta, 16 Mei 2008

Rabu, 14 Mei 2008

Di depan Fatmawati


Dalam periuk waktu
tanganku tersungkur
patah,
pecah!

Sebilah kebohongan
hujam derai cemara
yang tergantung
pada patung
masa lalu

Andai ribuan nadar
telah tembusi kabut
langkahmu tak akan sepi.
Aku terima kau
seperti butir-butir narwastu
telungkup pasrah
telanjang
di kaki kuil

Kita telah lelah.
Senyum palsu
memasung,
merobek fantasi
yang datang
bersama rintik hujan.

Jalanmu terlalu
pekat
hingga aku
tak bisa
lekat

Dalam periuk waktu
tanganku tersungkur
patah,
pecah!

Jakarta, 14 Mei 2008

Senin, 12 Mei 2008

Mencari Kembali Kriteria Independen Seni

“Art is not genuine art until it has thus liberated itself ”
-Hegel



1. Prolegomena
Dalam setiap zaman, tidak dapat dipungkiri bahwa seni seringkali menampakkan kecenderungannya untuk menjadi sosok yang otonom, mandiri, unik, dan eksklusif dari bidang-bidang yang lain. Sebagai buah dari proses imajinasi dan semangat creatio, kecenderungan itu seringkali menyebabkan keberadaan seni dibedakan dari aktivitas kehidupan sehari-hari yang wajar kita sebut sebagai aktivitas ekonomi, misalnya. Hal demikian dapat kita tengok dalam kerangka Marxisme klasik bahwa seni hanya menduduki sisi superstruktur yang menjadi bagian dari ide-ide abstrak dan tidak berguna bagi pengembangan mode of production. Produksi seni dan produksi ekonomi menjadi dua kutub yang saling berbeda. Akan tetapi, secara historis, kemandirian ini ternyata memberikan implikasi yang cukup paradoks.

Tidak jarang, kemandirian ini ternyata mampu membuat seni menjadi monumen prestise yang cukup arogan. Karena sifatnya yang seringkali dibahasakan sebagai “kehalusan budi”, “imajinasi luhur”, dan “pembentuk peradaban”, keberadaan seni pada masa lalu (misal: Renaissance) pernah sangat dihormati dan bahkan seringkali menjadi syarat mutlak bagi kurikula kepriyayian para noble men. Tanpa seni, orang dianggap tidak beradab (barbar). Tanpa seni, tidak pernah ada peradaban. Semangat seni untuk seni yang pernah berlaku pada abad pertengahan menjadi pertanda yang lain bagaimana kemandirian yang dimaksud itu dipuja dalam kerangka Narcicis. Kemandirian seni, tidak dapat dipungkiri, pun turut merayakan kejayaan kaum borjuis dan aristokrat secara tidak langsung. Karena bagaimanapun juga, secara genealogis seni muncul dan berkembang dari pusat-pusat peradaban seperti istana dan biara. Sebuah daya cipta imajinasi justru dapat disebut sebagai seni setelah ia secara khusus diakui, dinilai, dan diadopsi oleh pihak-pihak yang tentunya tidak berada di luar kedua wilayah tersebut. Seni menjadi kekayaan budaya urban yang sangat mahal. Keadaan ini dengan sendirinya malah membuat seni terlibat dalam beberapa hal yang berada di luar seni. Ia menjadi tidak mandiri. Ia berada dalam heteronomi yang timbal balik. Seni melahirkan kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat melahirkan seni. Hal ini sesuai sebagaimana pernah dinyatakan oleh Madame de Stael dan Hippolyte Taine, kedua-duanya penulis dari Perancis, bahwa karya sastra, misalnya, dinyatakan sebagai sebuah hasil seni yang tergantung pada institusi sosial, ras, zaman, dan lingkungannya.

Meskipun demikian, dalam perkembangannya, tidak dapat disangkal bahwa pencarian atas kemandirian dan otonomi dalam seni masih tetap berlangsung. Dari beberapa panorama di atas, tampaknya, kecil sekali kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita kemandirian ini. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba untuk memeriksa kembali kecenderungan seni sebagai sosok yang otonom, mandiri, alias independen. Bahkan, perlu juga diperhatikan bagaimana perkembangan kata kemandirian atau independen itu menemukan tempatnya dalam seni. Dalam hal demikian, tulisan ini mencoba untuk memeriksa ulang pemikiran mengenai kecenderungan kemandirian dalam perkembangan seni yang ada sampai hari ini.


2.Kemandirian sebagai Agony
Sejak awal, kemandirian seni itu tidak selalu datang dari dirinya sendiri. Kemandirian yang dimaksud seringkali merupakan buah dari pengasingan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang menganggap seni sebagai musuh masyarakat. Seni dianggap sebagai sebuah anomali dan bahkan entropi dari peradaban yang meletakkan kehalusan budi dan ekspresi di luar prioritasnya, yaitu menaklukkan dan memerintah sebagaimana terlihat pada dominasi yang dilakukan oleh Sparta atas Athena. Bahkan filsuf besar seperti Plato yang sangat menjunjung ide sebagai sesuatu yang asli dalam kehidupan manusia, tidak pernah menyesal untuk mengatakan bahwa penyair adalah musuh masyarakat. Menurutnya, posisi penyair tidak berbeda dengan candu yang dapat membius masyarakat.Kemandirian seperti ini tentu saja merupakan kemandirian semu atau kemandirian yang ditentukan. Ia tidak dapat bebas untuk mencari kemandirian itu sendiri karena kemandirian yang dialami hanya merupakan sebuah conditioning. Dengan cara seperti ini, kemandirian menjadi kata lain dari pengasingan dan pengucilan seni dalam masyarakat. Seni tidak diletakkan dalam terang estetika melainkan etika. Bagi seni, hal ini adalah sebuah agony. Ia diberi status (esensi), tetapi eksistensinya tidak diakui.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk menentukan conditioning demikian. Cara pertama adalah sensor. Secara historis, keberadaan sensor semakin penting tatkala etika menjadi perangkat tegas untuk mewujudkan keteraturan dalam masyarakat. Ini berlaku setelah gerak monoteisme menemukan jalannya. Seni seringkali menjadi pihak tersangka utama yang ditengarai membawa kekacauan bagi masyarakat sebelum teknologi teradopsi dengan luas. Pandangan etika awal yang biasanya bersumber dari kitab-kitab suci itu berusaha untuk menahan laju gerak ekspresi dalam seni yang seringkali muncul dalam rupa yang sangat kontradiktif bagi traktat dogmatis itu. Padahal sebelumnya, segi-segi religiositas seringkali diekspresikan dalam seni. Kita tahu bagaimana patung berhala yang tentunya dibuat dan dipersiapkan secara estetis itu dihujat oleh para nabi sebagaimana terlihat pada perikop yang agak panjang (Kebijaksanaan Salomo, 13:10-16) tentang berhala-berhala dan pemujaannnya sebagai berikut.

10. Tetapi celakalah orang yang menaruh harapannya pada benda mati yang mendewakan buatan tangan manusia, yaitu emas dan perak, karya seni, dan gambaran macam-macam binatang, ataupun batu yang tidak berfaedah, buatan tangan zaman kuno.
11. Misalkan seorang tukang kayu menggergaji pohon kayu yang mudah dikerjakan, kemudian membuang dengan cermat seluruh kulitnya, mengerjakannya sebagai mestinya, akhirnya membuatnya jadi perkakas yang berguna bagi keperluan hidup.
12. Lalu bagian-bagian yang terbuang dari buatannya itu dipakainya untuk menyediakan makanan dan ia pun menjadi kenyang.
13. Tetapi apa yang tak berguna dari bagian-bagian terbuang itu, yang tidak ada gunanya sama sekali, yaitu sepotong kayu bengkok yang banyak bonggolnya, diambilnya dan diukirnya pada waktu terluang, dan dengan tangkas dibentuknya di waktu istirahat serta dibuatnya jadi rupa manusia
14. atau diserupakannya dengan seekor binatang yang hina. Lalu disapunya dengan sedelinggam, dimerahinya kulitnya dengan cat dan dilumasnya setiap noda yang ada padanya.
15. Lalu dibuatkannya baginya rumah-rumahan yang serasi dan ditempatkannya pada dinding serta dilekatkannya dengan paku.
16. Dijaganya pula agar jangan jatuh, sebab ia insaf bahwa patung itu tidak mampu menolong dirinya karena hanya patung sajalah itu dan memerlukan pertolongan.

Dari perikop tersebut, terlihat bahwa segala kreasi seni yang diusahakan oleh manusia dapat dinyatakan sebagai berhala. Ini dapat dipahami karena dalam pandangan monoteisme awal, kedaulatan Tuhan sebagai satu-satunya pencipta isi bumi memang sangat diagungkan. Ini juga berarti bahwa tidak ada penciptaan di luar Tuhan , dan tidak ada tuhan-tuhan lain yang diciptakan oleh manusia selain diri-Nya yang menjadi causa prima. Mungkin perikop di atas dapat dianggap sebagai teori sensor pertama yang terjadi di dunia. Akan tetapi, dalam perkembangannya kategori sebagaimana ditampakkan oleh kitab suci itu pun mengalami pelunakan. Pelunakan atas sensor ini terjadi seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai etika yang tidak hanya dipahami dalam kerangka teologi saja melainkan campur tangan filsafat yang sudah berani menolak statusnya sebagai ancillary of theology. Walaupun dalam gereja Katolik, misalnya tetap diberlakukan nihil obstat pada beberapa karya tulis sebagai penanda bahwa karya tersebut telah lolos sensor, tetapi ini pun diatur secara diplomatis agar tidak terjadi kekacauan yang dapat ditimbulkan oleh karya itu di kemudian hari.

Dalam panorama Indonesia pada masa kolonial sampai Orde Baru berakhir, kecenderungan yang sama pun dapat terlihat. Kemandirian sebuah seni dapat terelaborasi ketika ia menjadi seni yang mampu menyesuaikan dirinya dengan etika sosial dan etika penguasa. Dalam etika sosial, kemandiriannya dapat berfungsi sejauh ia tidak menampilkan gagasan-gagasan yang memancing keresahan masyarakat seperti pornografi dan permasalahan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan)[1]. Sementara itu, dalam etika penguasa, kemandiriannya terukur jika ia mau tunduk dan patuh pada asas-asas dan rambu-rambu peraturan yang telah ditetapkan oleh penguasa. Kepatuhannya secara kongkret dapat diamati jika ia tidak secara terang-terangan atau laten memberikan kritik, menghasut, atau bahkan menghujat. Dalam keadaan ini, seni diletakkan hanya sebagai penghibur masyarakat, amusement, dalam pola ranah estetika, yang tidak jarang ditetapkan pula oleh penguasa. Ini misalnya terlihat pada peri kehidupan seni yang dikembangkan oleh LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Setiap bentuk seni yang ditampilkan harus mencerminkan pandangan realisme sosialis. Akan tetapi, realisme sosialis yang dimaksud di sini pun harus sesuai dengan garis kebijaksanaan partai. Kemandirian pada akhirnya tidak diatur oleh dirinya sendiri, melainkan di luar dirinya. Untuk mencapai kemandirian seperti ini, sensor, sekali lagi, mutlak diperlukan dengan dalih etika yang telah dirasionalisasi.

Cara kedua adalah dengan didirikannya gedung-gedung kesenian dan galeri-galeri. Disadari atau tidak, kedua dimensi ruang demikian secara tidak langsung telah membawa seni pada kemandirian yang ditentukan. Kedua-duanya menjadi bagian dari strategi politik penguasa untuk mengalokasikan seni agar ia jauh dari masyarakat banyak dan hanya menjadi milik dari komunitas tertentu yang tentu saja telah terpilih dan terseleksi dengan sendirinya. Baik gedung kesenian maupun galeri secara sosiologis telah memberikan efek seleksi yang cukup kuat. Dalam peradaban borjuis, hanya mereka yang memiliki kelebihan finansial dan leisure time sajalah yang mampu menikmati karya seni seperti concerto, opera, dan mencicipi keindahan lukisan atau pahatan dari para maestro di pusat-pusat peradaban Eropa seperti di Venice, London, atau Versailles. Selain itu, dengan conditioning dalam ruang, suara-suara yang tidak enak terdengar bagi penguasa, seperti kritik atau protes sosial, hanya berakhir pada dinding-dinding bangunan tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Mozart dalam operanya yang berjudul The Marriage of Figaro [2]. Meskipun opera ini dinilai cukup berani pada masa itu (1786) untuk mengkritik kaum bangsawan, tetapi ia pun hanya berakhir di dalam panggung dan tidak dapat menghujam sanubari masyarakat di luar gedung pertunjukan satu per satu. Ia telah diredam dengan sendirinya.

Dalam gedung kesenian memang tidak ada sensor seperti yang tercantum dalam nihil obstat, tetapi gedung kesenian itu sendiri sudah merupakan bagian dari panoptikon dan mekanisasi sistem sensor yang dilakukan oleh penguasa. Tidak semua karya seni dan bentuk ekspresi seni mampu tampil di dalam gedung-gedung kesenian dan galeri-galeri. Hal seperti ini biasanya dengan mudah kita temukan pada peradaban Eropa abad ke-17. Pada saat itu pertunjukan seni yang mampu hadir dalam gedung-gedung pertunjukan adalah pertunjukan yang disewa secara khusus oleh penguasa. Tentu saja ia disewa untuk mewartakan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Inggris dalam The Siege of Rhodes. Opera yang pertama kali ditampilkan pada tahun 1656 ini merupakan perayaan besar untuk menghormati Oliver Cromwell dan sekaligus menjadi simbol kebanggaan Inggris pada saat itu.Namun, pertunjukan seni itu pun tidak selalu dimaksudkan secara politis. Ada kalanya karena kegemarannya terhadap repertoire seni tertentu, seorang penguasa sanggup menampilkan pertunjukan seni yang spektakuler sebagaimana sering dilakukan oleh Raja Louis XIII dan putranya Louis XIV. Dari sini kita dapat melihat bahwa gedung-gedung kesenian itu pada awalnya hanya diperuntukkan bagi seni-seni dan sekaligus seniman-seniwati yang mau mengikuti alur politik dan kesukaan penguasa. Seniman seperti Ludwig van Beethoven telah merasakan kegetiran, agony yang tiada terperi ketika selama beberapa tahun lamanya ia tidak dapat menampilkan komposisinya di dalam gedung-gedung pertunjukan karena telah menentang selera penguasa.

3. Kemandirian sebagai Self-Reliance
Berbeda dari yang pertama, kemandirian di sini berasal dari kepercayaan diri bahwa seni pada dasarnya merupakan sosok yang otonom, yang terlepas dari berbagai matra kehidupan yang lain. Seni mendahului eksistensi yang dimiliki oleh segala yang ada di bumi. Dalam pandangan beberapa agama arkhais, pra monoteisme, yang terdapat di Assyria dan India, misalnya, penciptaan alam semesta bahkan dilakukan ketika Sang Pengada Alam itu menari. Seni di sini pada akhirnya bukan sekedar menunjukkan ekspresi, tetapi juga mewakili sesuatu yang sublime. Seni menjadi bentuk sakral yang dengan serta merta harus selalu direpresentasikan dalam setiap pribadi. Ini berarti bahwa segala ekspresi seni adalah sah, tidak seperti yang terdapat pada kemandirian semu. Kemandiriannya seolah-olah merupakan sesuatu yang sekonyong-konyong jatuh dari langit. Pandangan demikian ternyata menghasilkan hubungan seni dengan karisma. Seorang seniman, entah ia seorang penyair atau pelukis, seringkali dianggap sebagai manusia setengah dewa. Ia memiliki karisma dan pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat.Dalam masyarakat Melayu, misalnya, keadaan demikian dapat terlihat pada penyebutan ‘pujangga’ kepada para penyair. Kata ini memiliki arti yang sama dengan ‘Kawi’ dalam khazanah sastra Jawa Kuno[3].

Kemandirian ini pun tidak terlepas dari kecenderungan pemujaan atas keindahan. Walaupun keindahan itu mengalami revolusi yang sangat cepat, tetapi tetap saja ada benang merah yang dapat ditarik bahwa keindahan itu berasal dari pandangan antropomorfis. Pandangan demikian melihat manusia sebagai proyek ideal alam yang tidak berbeda dengan dewa-dewa sebagaimana dikisahkan dalam mitologi Yunani. Antropomorfisme ini memuncak pada masa Renaissance yang menjadi tonggak dasar perkembangan sejarah dunia.

Kemandirian ini seringkali tercipta pula melalui daya kreasi yang bersifat unik. Dalam seni, selalu saja ada inovasi dan kreasi yang jauh lebih variatif. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal bahwa ada kalanya semangat zaman tertentu membuat perkembangan seni menjadi sangat seragam sebagaimana misalnya terlihat pada masa Romantik dalam musik yang berlangsung selama 90 tahun (1810-1900). Dalam rentang waktu yang tidak pendek itu, public concert, misalnya, menjadi sangat populer dalam masyarakat Eropa. Seolah-olah masa Romantik ini menjadi momen awal bagi munculnya kebudayaan populer di Eropa yang serba seragam.

Ada kalanya pula dalam suatu masa yang sama bentuk seni yang satu mendukung bentuk seni yang lain sehingga menuju kemandirian bersama. Sekilas kemandirian ini hanya menjadi kemandirian yang bersifat kompromistis di antara kedua bentuk seni itu. Namun, bagaimanapun juga. Koesksistensi dalam seni pasti dapat terjadi sebagaimana terjadi di Perancis sekitar tahun 1850-1920. Pada masa itu, perkembangan seni musik berjalan beriringan dengan gerakan Impressionis dalam seni lukis. Hal demikian, misalnya, dapat dilihat pada lembar desain program yang menampilkan lukisan Impressionistik untuk repertoire ballet L’Après-Midi D’Un Faune karya Debussy.

4. Kemandirian sebagai Counter Action
Kemandirian dapat pula merupakan efek dari perlawanan atas seni yang bersifat kanon, grand, atau mayor, baik dalam teknik maupun penampilannya. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat melihat perkembangan yang dimaksud dalam kerangka dialektika Hegel. Efek perlawanan sebagai sebuah antitesis sebenarnya mencerminkan bahwa perkembangan seni tidak lahir dari kekosongan budaya. Kemandirian seni itu tidak dapat terlepas an sich dari kerangka mimetik. Bahkan perlawanan yang dilakukan oleh seni itu pun jelas memuat aspek-aspek ideologis dari sistem simbol yang dipergunakan untuk membenarkan kepentingan sempit kelompok-kelompok tertentu. Ini berarti bahwa seni pun tidak pernah sepenuhnya selalu beraksi dalam atmosfer dirinya. Seni justru seringkali merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan di luar seni, entah politis maupun ekonomis, sebagaimana terjadi pula pada agama dan ilmu pengetahuan. Di sinilah, kemandirian seni itu pada hakikatnya tidak terlepaskan pula dari medan pertarungan dan war of position.

Saya akan memberikan contoh singkat yang cukup menarik bagaimana kemandirian seni itu seringkali harus mengalami krisis dan agony yang selalu bersifat dialektis di medan kepentingan. Contoh ini saya ambil dari dua tulisan mengenai khazanah perkembangan seni film dan seni sastra di Indonesia beberapa dekade terakhir sebagai jejak-jejak yang perlu diperiksa kembali. Tulisan pertama saya ambil dari Salim Said yang berjudul “Dari Dua Pola ke Wajah Indonesia”[4]. Dalam tulisan itu, Said menyatakan bahwa seni film di Indonesia tidak bisa secara mandiri melukiskan wajah masyarakat Indonesia karena selalu terjadi krisis interest di dalamnya. Sejak awal kemunculannya di tahun 1926, tatkala Hueveldop dan Krueger membentuk Java Film Company di Bandung, seni film di Indonesia hanya menjadi komoditi dagang. Ini semakin terlihat ketika modal pembuatan film di Indonesia ditangani oleh orang Tionghoa seperti Tan’s Film Coy. Dikatakan bahwa sebagai orang Timur Asing pada masa itu, tidak banyak yang diharapkan oleh orang Tionghoa untuk membuat film yang memiliki keterlibatan sosial apalagi politik, kendati pada masa itu iklim pergerakan nasional sedang berada di atas angin. Oleh karena itu, segi komersial akhirnya menjadi alasan dan tujuan yang tidak dapat terelekkan. Namun, setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail sebagai putra pribumi memulai suatu tradisi yang sama sekali baru dalam dunia seni perfilman di Indonesia. Ia memberikan bentuk kemandirian seni film Indonesia sebagai manifestasi dari perlawanannya terhadap komersialisasi, industrialisasi, dan kapitalisasi sebagaimana dilakukan oleh perusahaan film Tionghoa pada saat itu. Melalui Perusahaan Film Nasional yang didirikannya, film yang dibuat berdasarkan cerita-cerita yang mencerminkan kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat Indonesia. Dari sudut ini, Said menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail memiliki homology dengan gerakan Neo Realisme Italia yang lahir sebagai reaksi atas pola Hollywood yang mementingkan segi komersialisasi dan yang hampir tidak memberikan kesempatan berekspresi pada si pembuat film. Meskipun begitu, kemandirian yang dicanangkan oleh Usmar Ismail itu harus runtuh karena kekurangan modal, sikap masyarakat yang belum siap menerima kenyataan tentang dirinya sendiri, dan sensor yang terlalu ketat. Setelah itu, seni film di Indonesia kembali lagi kepada kebiasaan lama, yaitu sebagai alat komersial.

Tulisan yang lain berasal dari Emha Ainun Nadjib tentang “Sastra Independen”[5]. Dalam tulisan itu, Nadjib melihat kemandirian berasal dari pembebasan terhadap hal-hal yang bersifat mengekang sebagaimana pernah dilakukan oleh Chairil Anwar[6]. Namun, untuk menggariskan kembali makna kemandirian yang dimaksudnya itu, Nadjib pun mempertanyakan apakah sejarah seni sastra Indonesia memiliki kaitan yang erat dan koeksisten dengan sejarah masyarakat dan negara Indonesia. Pertanyaan demikian semakin dipertajam dengan kenyataan yang terjadi bahwa konvensi seni sastra Indonesia makin menuju kepada suatu tata nilai yang cenderung membisu. Seni sastra Indonesia diproteksi dari kaitannya dengan disiplin-disiplin lainnya sehingga melahirkan suatu paradigma yang menyatakan bahwa eksistensi seorang sastrawan adalah puisi atau prosanya. Dengan demikian, keberadaan karya sastra sebagai bagian dari proses dan protes sosial ditolak seperti yang ditegaskan oleh Sapardi Djoko Damono[7], Sutardji Calzoum Bachri, dan Abdul Hadi WM dalam Forum Penyair Muda Jakarta tahun 1982. Dalam proses demikian, seni sastra, mau tidak mau, harus tunduk pada struktur-struktur kekuasaan yang melakukan conditioning yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam ruang ekspresi. Oleh karena itu, Nadjib menawarkan sebuah paradigma sastra independen yang memunculkan kemampuan untuk tetap mandiri di tengah berbagai praktik sosial dalam masyarakat dan negara. Kemandirian itu harus direpresentasikan walaupun mungkin harus bertabrakan dengan kekuatan-kekuatan yang mengitarinya.

5. Burung Tanpa Sayap
Jika dalam beberapa tahun terakhir ini, publik seni Indonesia mendengar kembali istilah seni independen dalam beberapa bentuk seni seperti film atau musik, maka itu tidak berarti bahwa segi independen yang ditampilkannya memiliki kemiripan persoalan dengan krisis dan agony dari kemandirian yang dimaksud sebelumnya. Adagium bahwa “setiap perkembangan adalah unik” harus tetap dipegang. Hal demikian dapat kita baca bahwa konsep atas kemandirian itu pada dasarnya berhubungan erat dengan diskontinyuitas. Ia tidak dapat dialurkan begitu saja dalam sebuah tata kronologis yang seragam dan bersamaan. Bahkan keberadaannya sendiri bisa jadi bukanlah sebuah evolusi atau revolusi melainkan involusi yang berputar.

Kendati demikian, kemandirian tidak harus ditinggalkan. Ia harus mengalami proses probasi, trial, percobaan dalam proses komutasinya untuk menemukan kematangannya. Sebagaimana sebuah organisme, kemandirian dalam seni pun harus mengalami pergantian musim yang seringkali tidak dapat diramalkan secara pasti. Oleh karena itu, sangat naiflah bila kita menggunakan proses generalisasi yang deduktif. Dalam hal ini, basis ilmu sosial kemanusiaan yang bersifat induktif mencoba untuk terus-menerus membaca transformasi sosial dari berbagai sudut pandang, termasuk membaca konsep kemandirian seni yang selalu berubah-ubah baik secara estetis, sosiologis dan historis. Tentu saja, sebagai sebuah konsep, kemandirian ini akan berkembang, tetapi sebagai sebuah proses probasi yang potensial, kemandirian seni ini harus selalu diaktualkan, entah sebagai perlawanan, pembebasan, partikularisasi, populisasi, atau bahkan pluralisasi. Dari panorama ini, kemandirian seni bukanlah sebuah donnè (ada begitu saja sebagai sesuatu yang sudah diberikan) atau sikap mauvaisse foi (bad faith) yang dipaksakan. Tanpa kemandirian, seni hanyalah burung tanpa sayap.

Catatan Akhir


[1] Kecenderungan ini menyeruak ketika Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai Komisi Bacaan Rakyat menetapkan beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh setiap karya sastra dan sekaligus pengarang yang berkeinginan terjun di dalamnya. Pornografi dan SARA menjadi beberapa hal yang harus dihindari, selain opini terhadap pemerintah Hindia Belanda. Belenggu karya Armijn Pane, misalnya, pernah menjadi buku yang termasuk dalam black list Balai Pustaka karena menampilkan segi sensualitas antara tokoh Tono dan Rohayah. Padahal dari kaca mata masa kini, apa yang dianggap sebagai sensualitas sebagaimana dipahami oleh Balai Pustaka dapat diperiksa kembali.
[2] Pada awalnya The Marriage of Figaro merupakan novel yang dikarang oleh Beaumarchais. Novel ini sebenarnya menyuarakan protes dan sindiran yang berasal dari kaum proletar sebagaimana diwakili oleh Figaro kepada para bangsawan dan pemerintah yang semena-mena yang diwakili oleh Count Almaviva. Dalam novel atau opera, kalimat seperti “ Count, qu’avez-vous fait pour tant de biens? Vous vous êtes donnè la peine de naitre!” (Count, apa yang telah kamu perbuat untuk kebaikan-kebaikan yang demikian banyak itu? Kamu telah mempersukar diri lahir ke dunia!”) menjadi kalimat sakti yang ditunggu-tunggu oleh pembaca atau penonton sebagai bentuk sindiran yang paling keras. Vide. Crane Brinton, Anatomi Revolusi (Jakarta: Bhratara, 1962) hlm. 85-6
[3] Pembicaraan mengenai ‘Kawi’ ini dapat dilihat pada pembahasan mendetil yang dilakukan oleh Pater Zoetmulder dalam Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta : Djambatan, 1983) hlm. 179-218
[4] Pernah dimuat dalam Prisma, 6Juni 1977, hlm. 65-75
[5] Pernah dimuat dalam Basis, Juli 1982, hlm. 259-265
[6] Ibid. Menurut Nadjib, Chairil Anwar telah menancapkan tiga tonggak penting . Pertama, pembebasan dari konvensi puisi lama. Kedua, pembebasan dari tekanan kepentingan propaganda politik. Ketiga, perjuangan menegakkan kemerdekaan kreativitas yang termanifestasikan dalam pemasyarakatan puisi dan pembebasan kata dari makna (cetak tebal dari saya).
[7] Konsensus demikian tampaknya tidak mencerminkan diri Sapardi Djoko Damono sebagai seorang penyair dan kritikus sastra sebagaimana pernah tercermin dalam tulisannya yang berjudul “ Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia; Lebah Tanpa Sengat” (Prisma 10 Oktober 1977, hlm. 51-61). Saya kutipkan beberapa pernyataannya dalam tulisan tersebut, yang sangat kontradiktif dan inkonsisten dengan pandangannya dalam Forum Penyair yang disebut Nadjib.
“Satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih sungguh-sungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya. Hanya kesungguhan itulah yang bisa menghasilkan karya yang baik. Ia harus berusaha terus untuk menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial, untuk kemudian menyusun kritiknya. Hanya dengan begitu, sastra bisa dipergunakan untuk mengukur sikap manusia terhadap persoalan masyarakat di sekitarnya” Ibid., hlm. 61

Keluarga Kristiani Pasca Reformasi dan Budaya Kasih


Keluarga Indonesia pasca reformasi tahun 1998 adalah potret keluarga muram yang sedang menderita dan berbeban sikap pesimisme. Potret demikian tidak hanya diwarnai oleh beban ekonomi yang dari hari ke hari semakin berat. Namun, juga dipertegas oleh berbagai tindak ketidakadilan dan kekerasan yang semakin marak di berbagai sektor kehidupan. Setiap hari, media massa menjelaskan situasi tersebut dengan berbagai tayangan yang membuat kita bertanya-tanya apakah manusia memang dilahirkan sebagai makhluk yang keji. Kita bertanya-tanya apakah kekerasan menjadi kodrat yang melekat dalam hidup manusia. Apakah sungguh sulit bagi manusia untuk memperoleh keadilan. Rasanya, ruang bagi kemanusiaan semakin sempit, sedangkan ruang bagi kegilaan semakin terbuka lebar. Dari sektor domestik sampai publik, manusia Indonesia seringkali tampil sebagai makhluk yang mengerikan.

Reformasi 1998 sebagai titik pijak yang disepakati secara konvensional ternyata tidak ubahnya seperti sebuah peristiwa revolusi. Tidak dapat disangkal bahwa dalam momen tersebut terhitung ratusan orang yang menjadi keganasan aparat negara dan amuk massa, termasuk mereka yang dihilangkan secara sengaja dan mereka yang menjadi korban perkosaan massal. Sayangnya, peristiwa reformasi hanya selalu dilihat sebagai sebuah proses politik menuju kehidupan berbangsa yang lebih demokratis. Kita lupa bahwa reformasi juga adalah sebuah tragedi kemanusiaan sebagaimana terjadi pula pada tahun 1965. Di sanalah kita mendengar ratap sedih beratus-ratus ibu dan istri yang menghiba kehadiran orang-orang tercinta. Di sanalah juga kita melihat tatap pedih anak-anak yang mencari belai sayang ayah mereka yang hilang. Entah apa lagi yang terjadi di sana, kemanusiaan kita benar-benar sedang digugat. Kita tidak pernah lupa bahwa kesedihan itu sungguh nyata.

Ketika luka itu masih mengangga dan belum sembuh benar, kita harus menangis sekali lagi. Teror bom merengut orang-orang tercinta dari sisi kita.Dengan dalih keselamatan akhirat, orang rela menghabisi nyawa orang. Bom yang mengguncang Indonesia itu memiliki dampak internasional sehingga kita mulai disudutkan sebagai negara pusat teroris. Hal ini diperparah pula oleh berbagai tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia dan konflik sosial di berbagai daerah yang sebenarnya telah berakar sebelum Orde Baru. Kekerasan negara dalam masyarakat Aceh, konflik antaragama di Maluku, kerusuhan di Sampit, dan anarkisme di Poso membuat sejarah kekerasan yang dilakukan oleh bangsa ini semakin panjang. Ada ribuan bahkan ratusan ribu keluarga yang harus menjadi pengungsi. Mereka harus meninggalkan kampung halaman mereka, tanpa mengerti alasan dan latar belakang yang jelas dari peristiwa itu. Yang mereka lakukan hanyalah menyelamatkan diri. Terakhir, dan mungkin bukan yang paling akhir, adalah bencana alam. Bencana alam yang melampaui batas-batas kesadaran manusia itu datang seperti maling yang tidak diundang. Tsunami merengut banyak orang di Aceh, Nias, dan Yogyakarta. Sekali lagi, keluarga Indonesia harus berkabung.

Berbagai peristiwa itu tampaknya menjadi pekerjaan rumah yang harus kita renungkan. Di tengah-tengah badai konflik antargolongan masyarakat yang berujung pada kekerasan dan di tengah-tengah ratusan ribu pengungsi yang menghuni tempat-tempat penampungan, keluarga Kristiani ditantang. Masih adakah budaya kasih di sana? Masih adakah secuil hati untuk membantu? Masih dapatkah kita memandang wajah Allah dalam berbagai penderitaan itu? Apakah berbagai tragedi kemanusiaan itu justru membuat keluarga Kristiani menjadi semakin eksklusif sebagai manusia-manusia terpilih?

Dalam berbagai keprihatinan itu, tampaknya sangat sulit bagi kita untuk membayangkan keluarga Kristiani sebagai sebuah keluarga yang dilingkupi oleh aura kekudusan sebagaimana digambarkan oleh Gereja Eropa abad pertengahan. Keluarga Kristiani di Indonesia pada hari ini pun merupakan korban dari berbagai tindak ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan dan dibiarkan oleh negara serta bencana alam. Tidak sedikit keluarga Kristiani menghuni tempat-tempat pengungsian. Tidak jarang keluarga Kristiani kehilangan orang-orang yang mereka cintai tanpa penyebab dan latarbelakang yang jelas.

Kondisi yang sangat menyedihkan ini sebenarnya dialami pula keluarga Nazareth. Namun, oleh Gereja Eropa abad pertengahan, keluarga Nazareth ini terlanjur diperkenalkan kepada kita sebagai sebuah keluarga yang tidak pernah mengalami kesengsaraan. Tradisi Natal yang selama ini kita adopsi dan kita rayakan dengan gegap-gempita telah berhasil menutup mata kita untuk memandang bahwa bayi Yesus pun lahir dalam kondisi masyarakat yang carut-marut, penuh dengan kekerasan, pengejaran, dan penganiayaan.Kita lupa bahwa Yosep dan Maria harus rela menjadi pengungsi dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka telah ditolak di tanah mereka dan bahkan sebagai pasangan mereka diharamkan oleh masyarakat Yahudi. Yosep dan Maria adalah kisah getir dari sebuah ketulusan. Maria tulus menerima kehendak Allah untuk mengandung bayi Yesus. Yosep pun tulus menerima dan menemani Maria sebagai orang yang paling dicintainya meskipun hal itu berarti bahwa ia disingkirkan oleh keluarganya yang bertrah Daud. Ketulusan inilah yang menjadi benih tumbuhnya cinta kasih yang sangat kuat dalam keluarga kecil itu meskipun mereka harus menanggung berbagai penderitaan.

Bayi Yesus nan mungil itu lahir dalam kecemasan hidup yang juga mewarnai kehidupan para gembala di sekitar palungan. Kelompok ini,dalam tradisi Yahudi, merupakan kelompok marginal yang hidupnya jauh dari centre of exellence yang dikuasai oleh para ahli kitab dan pedagang. Itulah mengapa kelahiran bayi Yesus menjadi simbol dari kelahiran sebuah dunia baru. Bersama Yosep dan Maria, Yesus belajar banyak mengenai arti sebuah penderitaan. Yesus pun belajar banyak tentang arti sebuah pengorbanan. Orang-orang yang berada di sekitar Yesus, termasuk para gembala itu, menjadi inspirasi, menjadi guru-guru awal bagiNya untuk memuliakan manusia. Memuliakan kemanusiaan berarti memuliakan kebesaran dan keagungan Allah Bapa.

Keluarga Nazareth adalah keluarga yang secara penuh mengerti dan memahami bahwa dalam penderitaan, pengejaran, dan penganiayaan itu, Allah Bapa masih menopang kehidupan mereka. Sikap untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Ilahi menjadi kekuatan utama dalam kehidupan mereka, sebagaimana mereka berdua menyerahkan Yesus kecil ke dalam Bait Allah. Tanpa harus menjejakkan kaki kita ke tanah Yerusalem sekali pun, bahkan kita sebenarnya dapat melihat bahwa inti dari keselamatan adalah penyerahan diri Yesus kepada kehendak Ilahi. Di antara berbagai pilihan yang mungkin dapat Ia lakukan, Yesus memilih penyerahan diri sebagai sesuatu yang tidak dapat dikompromikan lagi.

Masihkah berpikir bahwa keluarga Kristiani hari ini adalah keluarga eksklusif? Tentu saja tidak!Dalam masa pengejaran dan pembantaian umat Kristen di Roma, gereja memperlihatkan keberanian untuk hidup dalam penindasan, tanpa harus kehilangan semangat cinta kasih. Kita memang harus belajar banyak...

Mutiara Kehidupan yang Paling Berharga


Tanggal 20 November diperingati sebagai hari anak-anak sedunia. Pada tanggal ini kita diajak untuk meninjau kembali sejauh mana kita memperlakukan anak-anak kita, sejauh mana kita dapat memberikan rasa aman dan perlindungan kepada mereka, serta sejauh mana kita memperhatikan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan mereka.Ternyata, dari tahun ke tahun, kita perlu mengakui bahwa perhatian kepada anak-anak tidak lebih penting daripada perhatian kita terhadap perkembangan kapitalisme yang semakin kompleks atau perhatian kita terhadap pengorganisasian kekuatan militer yang semakin birokratis. Dari tahun ke tahun, anak-anak sekadar menjadi objek dan korban dari kepentingan orang yang lebih tua.

Ketika dalam kandungan Bunda Maria, bayi Yesus pun sudah mengalami hal ini. Atas perintah Herodes, pengejaran dilakukan untuk menghabisi bayi-bayi yang baru dilahirkan. Herodes yang mengidap megalomania itu takut jika kelak di antara bayi-bayi yang dilahirkan itu, muncullah seorang pemimpin yang disembah oleh rakyat. Herodes melihat hal ini sebagai sebuah ancaman bagi singgasana dan tahtanya. Suasana yang hampir sama pun kini terjadi kembali. Ada di antara mereka yang mungkin mengalami pengejaran sebagaimana dialami oleh Yesus. Karena konflik dan perang yang berkepanjangan, mereka menjadi pengungsi yang telah terusir dan terengut dari tanah airnya sendiri. Demi keselamatan hidup, mereka seringkali terpisah dari orang-orang tercinta. Anak-anak yang tidak berdosa ini diungsikan beribu-ribu mil dari kampung halaman mereka menuju sebuah tempat asing.

Namun, ada pula di antara mereka yang tidak mengalami pengejaran tersebut. Mereka itu diantaranya adalah anak-anak belasan tahun yang berdiri di Jalur Gaza, reruntuhan kota di Mogadishu, atau daerah konflik lain yang gelap. Siapa bilang mereka ini lebih beruntung daripada mereka yang harus menjadi pengungsi? Tidak ada seorang pun yang lebih beruntung. Anak-anak itu justru berkontak langsung dengan suasana perang yang sesungguhnya. Setiap hari mereka harus memegang M-16, mencium bau mesiu, dan mengalungi ratusan peluru yang selalu siap meledak. Anak-anak itu harus sudah mengenali kematian secara langsung di depan mata mereka. Oleh perang, mereka diajarkan untuk memaksimalkan insting mereka untuk bertahan hidup. Membunuh atau dibunuh!

Sementara itu, di belahan dunia yang lain, kita masih dapat menyaksikan pula bagaimana wabah kelaparan merengut berjuta-juta anak. Dilaporkan bahwa setiap hari, lebih dari 40.000 anak meninggal akibat kurang gizi atau penyakit yang sebenarnya mudah dicegah. Dilaporkan pula bahwa setiap menit 30 anak meninggal karena kekurangan pangan dan obat murah. Fasilitas kesehatan dan tenaga-tenaga medis untuk menangani hal ini seringkali menjadi opsi terakhir sesudah peralatan militer dipenuhi. Budget bagi kesehatan dalam setiap rencana anggaran yang terdapat di negara berkembang selalu berada di urutan terendah dibandingkan kepentingan militer atau urusan pemerintah yang lain. Akibatnya, dunia ini dipenuhi oleh berbagai tragedi yang menimpa anak-anak. Setiap tahun, dikabarkan, 120.000 anak lahir cacat mental karena kekurangan yodium. Setiap tahun, dinyatakan, 250.000 anak menjadi buta karena kekurangan vitamin A.

Litani penderitaan yang dialami oleh anak-anak ini semakin hari semakin memuncak. Selain minimnya pendidikan bagi mereka, perang tetap menjadi bahaya yang paling mengancam masa depan mereka. Selama 10 tahun terakhir, dilaporkan, enam juta anak-anak menjadi cacat dan dua belas juta menjadi gelandangan. Mereka hidup seperti mayat hidup, tanpa harapan dan tujuan yang jelas. Masalah lainnya yang sangat krusial untuk diperhatikan adalah semakin maraknya eksploitasi terhadap anak-anak di bidang ekonomi. Diperkirakan 200 juta anak terpaksa bekerja dengan upah di bawah rata-rata. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, roda produksi membutuhkan banyak tenaga yang dapat dibayar murah. Anak-anak dipandang sebagai objek yang dapat memenuhi permintaan itu.

Melalui perekrutan yang sangat mudah, mereka dipekerjakan. Mereka diberi iming-iming yang sesungguhnya sangat tidak sepadan dengan apa yang harus mereka lakukan. Tidak jarang, mereka diculik, dipaksa, dan bahkan disiksa agar mereka dapat bekerja. Modus yang sering terjadi adalah bahwa mereka secara ilegal diselundupkan dan ditempatkan di berbagai tempat yang sangat jauh dari tempat asal mereka. Sektor pekerjaan yang harus mereka lakukan pun beragam. Mereka harus bekerja sebagai kuli di pelabuhan, buruh di pabrik, atau pelacur di berbagai rumah bordil! Pekerjaan terakhir itu menjadi masalah yang semakin marak di berbagai negara dunia ketiga. Oleh PBB dilaporkan bahwa satu juta anak terpaksa menjadi pelacur setiap tahunnya. Celakanya, kebanyakan dari mereka terjangkit penyakit HIV/AIDS.

Ada banyak hal yang menyebabkan anak-anak usia belasan tahun ini masuk ke dalam dunia pelacuran. Kemiskinan struktural yang dialami oleh masyarakat merupakan salah satu penyebab mengapa mereka berada dalam lorong gelap itu. Pelacuran dari abad ke abad dianggap sebagai sebuah cara untuk mengatasi kemiskinan itu. Anggapan ini tentu saja sangat fatal! Namun, tidak dilupakan pula bahwa kemajuan teknologi media hiburan di dunia ini perlu bertanggung jawab terhadap permasalahan itu. Terjadinya pelacuran anak-anak, disadari atau tidak, diperkuat oleh kemajuan teknologi ini karena di sanalah mimpi-mimpi tentang keberhasilan para urban ditawarkan.

Pelecehan seksual terhadap anak, perdagangan bayi, dan perdagangan organ tubuh anak pun menjadi masalah lain yang tidak dapat dipandang enteng. Mereka pun masih mengintai anak-anak kita. Apa yang harus dilakukan jika demikian? Apakah keluarga masih bisa menjadi jawaban dari berbagai permasalahan itu? Apakah keluarga masih bisa menjadi tempat yang aman bagi anak-anak kita untuk tumbuh dan berkembang secara wajar? Bagaimanakah peran agama dalam situasi seperti itu? Apakah agama masih dapat berperan sebagai salah satu tameng pelindung mereka? Anak-anak adalah mutiara yang paling berharga bagi kehidupan ini. Ketika mereka menangis dan sedih, alam pun runtuh. Namun ketika mereka bernyanyi dan tersenyum, kehidupan yang lebih baru ditawarkan bagi dunia.

Guru, Orang Samaria, dan Taman Eden


“Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
(Matius 6:24)

Tidak mudah untuk memilih profesi guru sebagai sebuah panggilan hidup. Kondisi pendidikan yang sangat memprihatinkan dan percaturan ekonomi yang semakin sengit membuat profesi ini semakin tidak diminati di negara kita. Paling tidak, jika profesi ini dipilih, perlu diakui bahwa profesi guru pada masa ini seringkali dianggap sebagai “jalan tengah” untuk mengatasi minimnya lowongan pekerjaan. Dari masa ke masa, memang, profesi guru tidak pernah dianggap sebagai sebuah lahan yang basah. Profesi ini cenderung digambarkan sebagai hamparan padang gurun yang tandus. Dengan kata lain, profesi ini dianggap tidak akan pernah memberikan keuntungan finansial yang besar kepada para pelakunya sebagaimana terjadi pada dunia bisnis. Intinya, kehidupan guru di Republik ini dekat dengan lubang hitam keprihatinan dan kemiskinan. Karena hal itu pula, ada sebuah pertanyaan yang meluncur ke hadapan kita. Bagaimanakah mungkin seorang guru yang lapar akan makanan dan kebutuhan primer yang lain mampu mengenyangkan murid yang lapar akan pengetahuan? Sebagai akibatnya, wajarlah jika masyarakat kita, secara sadar atau tidak, menyetujui lagu Umar Bakrie yang dinyanyikan oleh Iwan Fals sebagai gambaran nyata dari nasib guru di Indonesia. Mereka memberikan pengabdian di ruang-ruang yang pengab.Bahkan, secara naif, masyarakat dan pemerintah pun tampaknya sepakat untuk membahasakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam bahasa itu tersirat bahwa nasib guru memang harus menanggung penderitaan. Lantas, bagaimana saya merefleksikan dan memandang fenomena itu?

Mencoba untuk Menjadi Orang Samaria yang Baik Hati
Ketika saya memutuskan untuk berkarya sebagai seorang guru secara profesional, beberapa konsekuensi di atas memang belum dapat saya pahami sepenuhnya. Yang ada pada saat itu hanyalah sebuah keinginan untuk memberikan pelayanan dan pengetahuan kepada anak didik. Kendati begitu, keinginan tersebut tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Ada beberapa momen yang tampaknya mempengaruhi saya untuk lebih memperhatikan keinginan itu. Pertama, saya sangat terinspirasi oleh kedua orang tua saya. Ibu saya adalah seorang guru. Hampir lebih dari empat puluh tahun, beliau mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Sebelum ia menjalani masa pensiunnya, ia adalah seorang guru Taman Kanak-Kanak di sebuah yayasan pendidikan Katolik. Sementara itu, ayah saya adalah seorang penyuluh pertanian. Sampai akhir hayatnya, ia pun telah mendedikasikan dirinya bagi pertanian dan nasib petani. Obsesinya adalah bagaimana petani dapat sejahtera tanpa harus merusak tanah pertaniannya sendiri. Saya sangat terinspirasi oleh aktivisme yang mereka lakukan. Mereka bekerja agar orang lain dapat lebih bahagia, lebih berguna, lebih sejahtera, dan lebih bermartabat. Kedua, kondisi desa tempat kami tinggal yang jauh dari centre of exellence memanggil saya untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat. Fasilitas penerangan dan transportasi yang masih minim membuat desa kami yang terletak di sebelah barat candi Prambanan itu jauh dari sumber informasi. Hal ini seringkali membuat beberapa sekolah yang didirikan oleh pemerintah tidak berfungsi. Sekolah-sekolah itu teronggok kosong, tidak terurus. Bahkan seringkali dipergunakan sebagai tempat untuk mepe (menjemur) gabah. Sementara itu, banyak anak usia sekolah lebih memilih untuk menggembalakan ternaknya atau mengusir burung dan tikus di pematang sawah ketimbang belajar membaca.

Kedua hal itulah yang setidak-tidaknya menjadi alasan mengapa saya memilih untuk terus bertekun dalam profesi ini. Ayah dan ibu saya telah memberikan pengaruh yang mendalam kepada saya selama bertahun-tahun. Rumah menjadi tempat belajar pertama. Masih terekam jelas dalam ingatan saya bagaimana mereka berdua selalu berpesan kepada kami,anak-anaknya, agar menjadi sesama bagi orang lain. Ayah gemar menuturkan kisah Orang Samaria yang Baik Hati ketika kami sedang berkumpul di ruang tengah. Anehnya, kami pun tidak pernah bosan untuk mendengarkannya. Bagi ayah, orang Samaria yang diceritakan itu menjadi cermin dari orang-orang yang bekerja tanpa pamrih demi keselamatan orang lain.

Meskipun begitu, perlu diakui bahwa menjadi orang Samaria yang baik hati bukanlah hal yang mudah pada situasi yang tidak menentu. Keikhlasan hati untuk membantu sesama seringkali disalahtafsirkan sebagai ancaman bagi kelompok tertentu. Isu mengenai SARA yang dihembuskan oleh Orde Baru dan trauma pasca gerakan 30 September 1965 masih tertanam dalam-dalam pada beberapa keluarga di desa kami. Seringkali hal ini tampak seperti fenomena gunung es yang tiba-tiba saja dapat meledak dalam berbagai peristiwa politik seperti pemilihan Kepala Dusun atau Lurah dan pemilihan umum. Meskipun sehari-hari kami semua dapat saling ramah menyapa ketika bertemu di jalan setapak, pada peristiwa-peristiwa itu, secara tiba-tiba kami pun dapat segera saling mencederai. Celakanya, kecurigaan-kecurigaan yang tidak berdasar ini selalu diturunkan dari generasi ke generasi. Hal ini jugalah yang membuat desa kami terkungkung pada egoisme masa lalu sehingga tidak pernah berpikir untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan mungkin boleh dikatakan sangat rendah. Namun, hal demikian tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk hidup lebih bermartabat. Masih ada celah di jalan yang sempit itu. Bahkan masih ada harapan yang terbentang luas di sana. Anak-anak adalah harapan yang saya maksud itu. Dari sinilah saya mulai terlibat dengan dunia pendidikan. Pada awalnya, saya mengumpulkan beberapa anak yang biasanya hanya bermain setelah selesai menggembalakan ternak-ternaknya. Dalam kelompok kecil ini, saya tidak berusaha untuk mengasingkan mereka dari lingkungan dan kebiasaan mereka. Kami tetap bermain. Kami tetap bergembira. Ayah saya menyediakan beranda depan sebagai ruang kelas. Ibu pun menyumbangkan beberapa alat peraga dan permainan yang sudah tidak terpakai. Meskipun fasilitas yang dipergunakan sangat terbatas dan usang, kelas selalu dimulai dari pukul 16.00 sampai 17.30. Meskipun hanya satu setengah jam kami bertemu, setiap hari kami dapat bernyanyi, menari, menggambar, dan belajar mengeja. Setiap hari kelas pun semakin diminati oleh anak-anak lain dan bahkan remaja.

Selama 4 bulan, kelas berjalan sebagai sebuah sekolah alternatif. Karena perkembangannya semakin kondusif, saya meminta bantuan beberapa teman dari Mudika setempat untuk ikut menemani anak-anak dan remaja itu. Sayangnya, hal ini tidak berlangsung semulus yang diharapkan. Ada rumor yang sempat terdengar bahwa saya dan teman-teman melakukan kristenisasi terhadap anak-anak itu. Anak-anak lebih memilih untuk datang ke kelas alternatif ketimbang belajar mengaji bersama seorang ustadz dari desa tetangga. Ada keluhan pula bahwa kelas alternatif kami ternyata membuat anak-anak itu mulai malas menggembalakan ternaknya. Pada awalnya, saya dan teman-teman mencoba untuk mengganggap rumor itu sebagai angin lalu. Namun, astaga, kami tidak pernah menyangka bahwa efek rumor itu sangat serius. Memasuki bulan ke-5, satu per satu anak-anak didik kami mengundurkan diri tanpa sebab yang jelas. Mereka bahkan tidak pernah mau mengatakan alasan pengunduran diri. Mereka hanya terdiam dan berlari setelah itu. Saya mengira, mereka bungkam karena mereka dipaksa untuk bungkam. Pertengahan bulan ke-6, kelas benar-benar sepi.Tiada seorang anak pun yang datang. Tiada tepuk tangan. Tiada nyanyian ceria. Tiada suara keras mengeja-eja kata-kata di sudut kebun itu. Saya sungguh sedih.

Namun, kesedihan itu tidak berlangsung lama. Seorang aktivis gereja dari desa tetangga meminta bantuan saya untuk menyelenggarakan kursus bahasa Inggris bagi para mudika. Kebetulan kursus bahasa Inggris bagi mudika merupakan program kerjanya yang belum terlaksana. Ajakan itu saya sambut dengan gembira. Kursus tersebut direncanakan berlangsung seminggu dua kali, hari Minggu sore dan Kamis sore. Kursus dilaksanakan di dalam gereja stasi yang berjarak sekitar 8 km dari rumah. Gereja itu terletak di tengah sawah. Meskipun belum selesai dibangun, gereja ini sudah memiliki sebuah papan tulis hitam, sebuah meja tulis, dan beberapa bangku. Tampaknya selain berfungsi sebagai tempat ibadah, gereja ini juga dipergunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat. Sebagian besar peserta kursus adalah anak-anak SD yang duduk di bangku kelas 6 dan beberapa remaja SMP dan SMU. Saya ingat, peserta yang datang pada hari pertama berjumlah 6 orang. Setelah dua kali pertemuan, jumlah mereka terus bertambah. Hebatnya, para peserta kursus tidak hanya berasal dari umat gereja, melainkan juga penduduk setempat yang beragama lain.

Hampir sekitar 5 bulan kami berproses bersama. Saya mulai menjalin persahabatan dengan mereka. Mereka lebih terbuka untuk mengkomunikasikan segala kesulitan dalam mempelajari bahasa Inggris. Bahkan tidak jarang mereka pun bercerita tentang hal-hal yang bersifat pribadi. Mereka tidak sungkan untuk mengatakan bahwa hari ini ayah dan ibu mereka bertengkar sengit atau beberapa minggu lalu panen tembakau mereka gagal. Namun, hal yang lebih menyenangkan adalah bahwa di dalam ruang tersebut kami membangun dialog yang kondusif. Kebersamaan kami telah melampaui batas-batas dogma agama yang cenderung kaku dan status sosial yang mengkotak-kotakkan orang secara irasional. Oleh karena itu, setiap kali saya mencoba untuk tidak absen dan terlambat dalam kursus itu. Setelah kuliah selesai, saya selalu mempersiapkan diri untuk sesegera mungkin berada di sana. Jarak antara Bulaksumur dan Prambanan menjadi sangat dekat. Saya sungguh gembira berada bersama mereka. Karena kursus ini bersifat karitatif, tidak pernah terbersit dalam hati saya untuk meminta balas jasa dari mereka. Namun, sebagai gantinya, mereka secara diam-diam selalu menyediakan sepiring pisang goreng, segelas teh manis panas, dan 2 batang Djie Sam Soe di atas meja tulis. Rejeki yang luar biasa untuk melepaskan lelah!

Kursus yang sangat menyenangkan itu pun harus berhenti. Gereja stasi itu akan dibangun kembali. Pada saat itu kami mulai kesulitan untuk mencari tempat pengganti. Rasa-rasanya tidak ada tempat yang dapat menggantikan gereja itu. Selain ruangnya yang sangat nyaman, letak gereja stasi itu sangat strategis. Posisinya terletak di tengah-tengah jalur yang dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak. Karena hal itu, dewan stasi menganjurkan agar kursus dihentikan sementara waktu sambil menunggu pembangunan gereja selesai. Dengan hati yang sungguh berat, saya harus menerima keputusan itu. Namun, tidak lama setelah itu, tawaran lain datang kepada saya. Kali ini saya diminta untuk mengajar di sebuah sekolah formal!

Berproses dalam Ketulusan Bersama
Sekolah itu adalah sekolah menengah kejuruan yang dirancang untuk mendidik tenaga-tenaga muda dalam bidang industri pariwisata. Usianya belum genap 4 tahun, tetapi peminatnya cukup banyak. Sekolah yang terletak dekat Candi Prambanan itu baru meluluskan satu angkatan. Hampir sebagian besar muridnya berasal dari daerah sekitar candi. Dengan fasilitas seadanya, para pengajar menjalankan sekolah itu. Saya kebetulan ditunjuk untuk menggantikan guru bidang studi bahasa Inggris yang sedang menjalani masa cuti hamil. Pada saat itu, saya mengajar 5 kelas dengan jumlah murid yang cukup banyak. Seingat saya, satu kelas diisi oleh 55 orang anak. Menurut saya, jumlah ini terlalu besar bagi ruang kelas yang hanya menyediakan 40 tempat duduk.

Berjumpa dengan murid-murid yang sedang mempersiapkan diri untuk terjun ke dalam dunia kerja sangatlah menarik. Mereka paham benar bahwa bahasa Inggris sungguh mereka perlukan dalam industri pariwisata. Bahasa Inggris menjadi bagian dari kesuksesan mereka kelak. Oleh karena itu, mereka berjuang mati-matian agar dalam pelajaran ini, mereka harus dapat mendapatkan nilai sebaik-baiknya. Mereka tahu bahwa dengan nilai bahasa Inggris yang baik, kesempatan bekerja di hotel atau biro perjalanan yang lebih baik semakin terbentang luas. Mereka juga mengerti bahwa masa studi yang sedang mereka laksanakan harus dituntaskan dengan sebaik-baiknya. Mereka paham bahwa bersekolah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Semakin dekat saya berhubungan dengan mereka, semakin dalam pula saya mengenal berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Selain kendala biaya yang seringkali merintangi keinginan mereka untuk mengubah nasib, mereka juga harus menghadapi tegangan antara budaya tradisional yang berlaku di rumah dan masyarakat dengan budaya modern yang seringkali timbul sebagai ekses dunia pariwisata. Saya sempat tercenung bahwa di daerah itu pernikahan di usia muda seringkali terjadi. Beberapa siswi berprestasi yang saya kenal baik pun menjadi “korban” dari tradisi itu. Pada umumnya mereka tidak dapat menolak karena mereka dipaksa untuk mematuhi keputusan keluarga. Entah dengan alasan penguasaan tanah atau pekerjaan, pernikahan itu tidak pernah didasarkan rasa cinta. Namun, hal yang paling mengejutkan saya adalah bahwa tidak sedikit dari murid-murid saya bekerja sebagai wanita dan pria penghibur para turis domestik pada malam hari! Pagi hari mereka bersekolah, tetapi sore hari mereka sudah berdandan dan berkumpul di beberapa losmen atau hotel melati yang terdapat di sekitar candi. Celakanya, apa yang mereka lakukan itu diketahui dan bahkan disetujui oleh keluarga mereka!

Kondisi seperti itu ternyata telah berlangsung lama di daerah sekitar candi. Hal demikian sudah menjadi rahasia umum. Saya benar-benar prihatin dengan hal itu. Saya tidak tahu apakah hal ini memang merupakan konsekuensi yang harus serta merta ditanggung oleh daerah-daerah yang dipergunakan sebagai lokasi pariwisata. Apakah hal ini merupakan ekses dari kebutuhan ekonomis yang kian hari kian mencekik kehidupan masyarakat sehingga jalan apapun dihalalkan? Ataukah hal ini memang sengaja dikonstruksi oleh pemerintah dan lembaga-lembaga sosial agar mereka dapat berfungsi sebagai pemegang otoritas moral? Saya hanya dapat menggelengkan kepala. Yang saya tahu, bagaimanapun juga, mereka adalah sekadar korban. Oleh karena itu, saya tidak memiliki hak untuk menghakimi mereka sebagai penjahat moral. Apabila hal demikian saya lakukan, itu menandakan bahwa saya tidak memberikan alternatif bagi mereka untuk mencari jalan lain yang lebih baik. Saya memang tidak dapat berbuat banyak selain menerima mereka apa adanya sebagai murid-murid yang masih memiliki harapan yang lebih baik. Ya, saya masih melihat harapan itu bersinar di antara mereka. Bola-bola mata itu tidak dapat menipu. Hampir sebagian besar murid menunjukkan semangat belajar yang luar biasa. Mereka mulai banyak bertanya. Bahkan mereka tidak sungkan untuk datang ke rumah saya. Seringkali mereka datang berbondong-bondong dengan menggunakan sepeda onthel. Tidak jarang pula mereka datang sambil menjinjing beberapa hasil kebun seperti pisang, pepaya, mangga, atau jagung. Selain ketulusan dalam persahabatan, saya tahu, kedatangan mereka menyiratkan keinginan mereka untuk maju. Mereka ingin masa depan yang lebih baik.

Mencari Originalitas Batin
Setelah saya berkecimpung secara formal dalam dunia pendidikan, lambat laun saya mulai menyadari bahwa menjadi guru bukanlah sekadar mengajar atau mendidik. Menjadi guru adalah sebuah panggilan untuk memberikan kabar dan harapan akan masa depan yang lebih baik kepada peserta didik. Meskipun istilah masa depan tampak abstrak, tetapi harapan tidak pernah bersifat ilusif. Harapan adalah mata rantai dari semua impian dan imajinasi. Harapan menjadi sangat potensial dalam mewujudkan kesejahteraan sebagai sebuah kondisi yang tak terbatas bagi rasa nyaman dan rasa aman.

Setelah berkarya di desa, saya dipanggil oleh sebuah yayasan untuk mengajar di Jakarta. Tentu saja, hal ini sangat menantang jiwa muda saya pada saat itu. Karena panggilan itu pula, saya menampik tawaran kerja lain yang lebih menjanjikan secara finansial. Jakarta, kota metropolitan, tempat jutaan orang terdampar di sana, mulai menyapa saya. Di kota ini, saya diminta untuk mengajar bahasa Indonesia, bidang studi yang memang saya lebih kuasai daripada bahasa Inggris. Dengan barang bawaan dan uang seadanya, saya datang ke sekolah. Meskipun sempat tersesat, saya disambut dengan hangat. Mereka menyediakan tempat berteduh sementara bagi saya. Bahkan, hal yang tidak pernah saya lupakan, suster pemimpin yayasan memberikan uang sebesar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sebagai modal. Jumlah itu sangat besar bila dibandingkan dengan honor yang saya terima di sekolah menengah kejuruan. Dengan uang itu, saya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari selama beberapa waktu.

Hampir sebagian besar murid yang saya ampu adalah warga keturunan Cina yang hidupnya di sekitar pemukiman yang padat dan kumuh. Di dalam pemukiman itu, mereka harus bertetangga dengan para PSK dan kuli pasar yang bekerja di sekitar Mangga Besar. Kehidupan ekonomi mereka yang pas-pasan membuat mereka tampil apa adanya. Mereka seringkali tidak dapat mengontrol perangai mereka. Tidak heran bahwa mereka lebih senang berkelahi atau mengumpat dalam menyikapi berbagai masalah. Kebanyakan dari murid-murid itu pun tidak memiliki akte kelahiran. Pada umumnya, mereka berasal dari keluarga single parent. Boleh dikatakan, mereka menjadi kelompok sosial yang tidak beruntung. Identitas mereka terjepit di antara kehidupan sosial yang cenderung marginal dan kepentingan ekonomi yang terus menuntut.

Banyak orang mengatakan bahwa dahulu kala sekolah ini cukup elit karena mendidik anak-anak saudagar Cina. Namun, seiring dengan jalannya waktu, sekolah elit itu kini tinggal kenangan. Dari waktu ke waktu, grafik pencapaian prestasi pun semakin menurun karena mereka yang diterima di sekolah itu seringkali tidak diterima di sekolah lain. Selain itu, persaingan penerimaan murid antarsekolah pun semakin ketat. Untuk menjaga stabilitas, petugas yayasan seringkali tidak mau ambil pusing. Mereka akhirnya menerima siapa pun agar kuota dapat terpenuhi. Sayangnya, keputusan itu tidak pernah diimbangi oleh keinginan untuk memperbaiki atau menambah fasilitas studi.

Meskipun begitu, saya sangat senang dapat berjumpa dengan para murid di sana. Saya beruntung dapat bertemu dengan kebengalan dan kenakalan yang mereka tampilkan.Saya dapat belajar lebih banyak untuk menjadi seorang guru yang sabar, yang mau mendengarkan, dan yang mau berproses bersama. Meskipun pada awalnya, saya jengkel pada tingkah dan perangai mereka, saya masih dapat melihat celah dan harapan yang indah di sana. Toh bersama mereka pun, saya dapat menjumpai persahabatan yang indah sebagaimana pernah saya jalani bersama murid-murid saya di desa. Bersama mereka saya menjalani sebuah proses komunikasi yang tulus. Tidak ada pamrih. Tidak ada kepentingan di balik itu. Saya sungguh dapat memahami kerinduan hati mereka untuk disapa dan diperhatikan. Mereka merindukan figur orang tua yang mampu membimbing dan melindungi mereka dari badai dan taufan kota metropolitan yang bertubi-tubi.

Pengalaman bersama mereka membimbing saya pada proses refleksi bahwa tiada satu pun anak yang ingin masa depannya buram dan gelap. Tiada satupun anak yang ingin dibuang dan diasingkan jauh dari keluarga dan masyarakatnya. Tiada satupun anak yang ingin disakiti atau dibenci. Sebaliknya, setiap anak ingin agar masa depannya cemerlang. Setiap anak ingin agar keluarga dan masyarakat menerimanya. Setiap anak ingin dicintai dan dimiliki. Intinya, batin setiap anak ingin disejahterakan! Saya percaya jika refleksi demikian dipahami, pedagogi yang kita tawarkan bukanlah pedagogi yang semu dan artifisial. Dalam jenis pedagogi ini, originalitas batin anak didik dipasung dan bahkan ditiadakan. Pedagogi yang semu dan artifisial hanya menghasilkan robot, peniru, penjiplak, dan penjilat, bukan manusia sejati! Namun, jika originalitas batin kita rayakan, pedagogi yang kita tawarkan adalah pedagogi pembebasan dan pengharapan.

Menengok Kembali Taman Eden
Berdasarkan pengalaman saya di berbagai jenis sekolah, saya dapat mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang mampu menyelenggarakan pedagogi pembebasan dan pengharapan ini hanyalah sekolah-sekolah yang mampu menafikan kepentingan kapitalisme sebagai prioritas pertama. Namun, siapakah yang saat ini berani menafikan kepentingan itu?Siapakah yang berani melawan arus deras industri pendidikan yang telah menjamur di berbagai tempat? Adakah para guru yang bernaung di yayasan penyelenggara pendidikan seperti itu peduli terhadap pedagogi pembebasan dan pengharapan? Saya tidak tahu persis apa jawabnya.

Sekolah internasional dan nasional plus yang menjamur di berbagai daerah seringkali menawarkan metode pembelajaran yang lebih modern, temporer, dan berorientasi pada siswa. Metode-metode tersebut diadopsi dari berbagai negara yang telah berhasil menerapkankannya. Tentu saja, mengadopsi metode pembelajaran dari luar negeri bukanlah perkara yang murah. Sistem franchising membuat beberapa sekolah yang mengadopsi metode pembelajaran dari luar negeri itu harus seringkali menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Mereka harus terus memantau apakah mereka harus me-up grade kompetensi dan performance mereka atau tidak. Hal ini pun tidaklah murah. Akibatnya, sekolah-sekolah itu hanya dapat diakses oleh mereka yang beruang. Di kota besar seperti Jakarta, sekolah-sekolah demikian memiliki prestige-nya tersendiri. Keberadaan anak di sekolah tertentu menjadi cermin dari status sosial yang disandang oleh orang tuanya. Karena pola pikir seperti ini, anak seringkali dianggap sebagai sebuah investasi sebagaimana berlaku pada deposito atau asuransi! Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi originalitas batin anak. Mereka sama sekali tidak dapat belajar apapun, kecuali percaya bahwa uang dapat menyelesaikan segala hal.

Oleh sekolah-sekolah internasional dan nasional plus ini, kesejahteraan anak didik dilambangkan dengan berbagai fasilitas modern seperti kolam renang, sauna, studio musik, laptop, atau penyejuk udara. Tidak jarang pula, berbagai fasilitas yang ditawarkan menyentuh pula pada hak istimewa seperti impunitas. Murid tidak boleh dihukum, bukan karena hal itu bertentangan dengan prinsip pedagogi, tetapi karena murid adalah pelanggan yang harus diperlakukan bak raja. Tentu saja, sebagai seorang pelanggan, ia harus dijaga, diperhatikan, dan dirawat lebih daripada apa pun. Hal tadi jelas bermuara pada kepentingan industri dan bisnis pendidikan. Nah, ketika seorang guru telah menjadi abdi dari kepentingan itu, bagi saya, di sinilah krisis posisi guru bermula. Otoritasnya sebagai guru dan pendidik telah hilang.

Saya mungkin terlalu naif dalam memandang hal itu. Tapi, tidak ada masalah. Menjadi guru adalah sebuah profesi, saya percaya. Namun, saya lebih percaya bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup. Pernyataan ini tidak berarti bahwa keringat dan kerja keras guru dapat dihargai seenak perutnya. Pernyataan ini juga tidak berarti bahwa pengabdian guru dapat diperlakukan semena-mena. Dalam panggilan hidup ini, guru berusaha memberikan kabar dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Tugasnya seringkali dekat dengan tindak kenabian. Berbicara, berteriak, dan bahkan meratap agar murid-muridnya selamat. Kesejahteraan yang ditawarkannya bersifat abadi bagai sinar matahari. Bukan dalam materi yang berlimpah. Bukan dalam berbagai prestasi dan selembar ijazah. Akan tetapi, ia menunjukkan originalitas batin yang sesungguhnya dimiliki oleh manusia. Guru membuka manusia pada keindahan taman Eden yang dahulu pernah dimilikinya.Setidak-tidaknya hal inilah yang pernah saya jalani bersama para sahabat muda saya. Semoga mereka pun dapat memperlihatkan taman Eden itu kepada orang-orang sekitar mereka, seperti orang Samaria yang baik hati.

Dari Dangdut sampai Siap Miskin


Sudah hampir 17 tahun, Pantai Utara Jawa (Pantura) tidak saya pilih sebagai jalur perjalanan menuju Jogyakarta. Sudah lama saya tidak menggunakan mobil pribadi atau bus malam untuk bepergiaan jauh. Selama ini, kereta malam saya anggap lebih nyaman. Dengan kereta, waktu tempuh Jakarta-Jogyakarta tampak menjadi lebih singkat daripada menggunakan mobil atau bus. Biaya yang dikeluarkannya pun jauh lebih hemat. Namun, yang jelas, dengan kereta, saya dapat tidur dengan nyenyak selama perjalanan.
Namun, sejak tersiar berita tentang berbagai kecelakaan kereta, saya mulai berpikir ulang. Perlu diakui, memang, rel kereta kita telah usang. Sejak masa kolonial, rel yang dipergunakan itu tidak pernah terawat, meskipun dalam rencana kerja pemerintah, dana tersebut dianggarkan. Wajar, jika baut yang menghubungkan antarrel keropos atau raib dikantongi para pemulung. Sangat disayangkan.
Dan beberapa minggu lalu, dengan sangat terpaksa, saya memilih Pantura dalam rute perjalanan saya. Tentu saja, dengan rute ini, waktu tempuh akan lebih lama ketimbang bila menggunakan kereta. Memilih jalur ini berarti pasrah untuk berpapasan dengan kontainer-kontainer besar dan bus-bus patas yang seringkali dijalankan ugal-ugalan. Emosi harus sering dikendalikan. Kesabaran menjadi kata kuncinya. Tidak mengeluh ketika menemui lubang-lubang besar di jalanan. Siap untuk meminggirkan mobil sewaktu-waktu untuk melemaskan kaki dan pinggul sejenak. Melelahkan.
Namun, di balik itu, saya ternyata dapat banyak mengambil inspirasi dari perjalanan ini. Dari balik kaca, tiba-tiba saja, saya berlaku seperti seorang antropolog yang masuk ke dalam suatu wilayah asing. Agenda kecil saya buka dan pensil di tangan siap menangkap kilatan peristiwa. Saya mulai dapat menghirup udara pantai dan menikmati aroma trasi udang yang khas. Semua ruang dan orang yang saya temui tampak unik dan menarik. Dari sana ada pelbagai temuan yang layak direnungkan kembali dalam era globalisasi.
Di daerah Indramayu, saya cukup terperanjat. Hampir kebanyakan radio niaga di jalur FM menyiarkan lagu-lagu dangdut! Frustasilah kita bila berusaha mencari lagu-lagu barat versi MTV di sini. Mungkin satu atau dua lagu bisa ditemukan. Tetapi, di sini “Goyang Dombret” dan “Bang Toyib” punya kuasa lebih. Selain itu, di sepanjang jalan, selalu saya temukan beberapa baliho besar iklan layanan masyarakat yang isinya cukup provokatif, “No Drugs, No Prostitusi, dan No Sex Bebas.” Baliho-baliho itu tampak lebih dominan ketimbang rambu-rambu jalan. Tanda apa ini? Untuk siapa baliho-baliho itu ditujukan? Saya tiba-tiba merasa, Jatibarang tidak ubahnya seperti Tanah Abang atau Mangga Besar. Problem-problem sosial kota besar ternyata dapat ditemukan pula di daerah-daerah petilasan ini.
Di depan Pasar Induk Sandang, Tegal Gubuk, Pamanukan, saya melihat sesaknya orang berbelanja pakaian. Tidak ubahnya seperti Pasar Senen atau Pasar Baru. Mereka berburu baju-baju “lungsuran” Korea atau Taiwan. Saya bingung, siapa meniru siapa. Di beberapa ruas jalan Arjawinangun, tidak jauh dari situ, bendera partai Hanura bentukan Wiranto mulai berkibar. Aura Pemilu mulai berdenyut, meski masih sangat jauh!
Melewati jalan tol Kanci, saya pun bertanya-tanya kembali. Inikah efek pembangunan? Sekian hektar tanah persawahan harus dibabat habis demi obsesi orang modern pada kecepatan, pada shortcut? Meski memang dapat mempercepat waktu tempuh, jalan tol ini sebenarnya masih bersifat sangat darurat. Hampir tidak ditemukan berbagai kelengkapan rambu dan petunjuk di sana-sini. Justru, sering terlihat beberapa orang aneh yang berjalan di tengah jalur cepat! Mereka kita sebut sebagai orang gila. Namun, siapa yang sebenarnya gila? Apakah para pengguna jalan tol yang seringkali tampak berlomba dengan waktu dan kematian? Mungkin, ada benarnya bila pembangunan itu menjadi penyebab potensial timbulnya kegilaan di abad ini.
Di ujung jalan tol, orang disodori oleh berbagai papan iklan besar dari kedai-kedai makan. Di sana tertulis berbagai menu makanan. Tapi semua menu itu sama sekali tidak istimewa. Sekilas, semuanya dapat pula ditemukan di Jakarta. Hal ini menjadi cermin betapa sulit menemukan orisinalitas pada masa kini. Bukan hanya pada makanan, tapi pada pribadi pula. Orang cenderung mengikuti arus. Sentralisasi masih begitu kuat. Otonomi hanyalah retorika kosong. Pasalnya, bagi orang modern, menjadi berbeda seringkali dianggap sebagai sebuah keganjilan dan juga kegilaan.
Namun, syukurlah, orisinalitas itu, pada akhirnya dapat ditemukan. Sebuah gubug tambal ban di pinggiran jalan menuju Losari punya nama unik. Saya terkekeh. Mana ada di era globalisasi, slogan “Siap Miskin” tercetus sebagai brand? Kita boleh melihatnya secara naif. Namun, dengan nama itu, seolah-olah si pemilik tambal ban adalah orang yang siap menghadapi konsekuensi modernitas! Luar biasa! Globalisasi yang diagung-agungkan runtuh dalam sekejap di hadapan sebuah gubug tambal ban, di jalur Pantura!
********

Ketika Keabadian Menjumpainya


Laju kereta api pagi itu tampak semakin lambat. Sudah lebih dari 10 jam, kereta ini merayap. Tapi, Yogyakarta masih tampak jauh di pelupuk mata. Seharusnya aku sudah tiba di stasiun Tugu, satu jam lalu. Aku menjadi semakin cemas seiring dengan decit kereta yang terus-menerus berhenti. Kutoarjo dan Wates mulai terlewati. Semakin dekat, batinku seperti dikoyak oleh belati yang sangat tajam. Berita yang aku terima semalam membuat aku terjaga di perjalanan. Dan terjaga di dalam kereta seperti ini adalah sebuah penderitaan baru bagiku. Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi, air mata ini tidak pernah mau keluar.
Dua jam setelah itu, kereta mulai menepi. Aku segera lompat keluar dari gerbong yang tidak begitu sesak. Adikku sudah berada di depanku. “Mama sudah menunggu kita di rumah, Mas. Mengapa baru datang?” Aku hanya membisu. Aku lihat guratan biru masih terseka di wajahnya. Aku semakin sedih. Pada saat itu juga kami meninggalkan stasiun. Kami harus sesegera mungkin berada di rumah. Mama pasti sudah menunggu...
Sudah satu setengah tahun, aku tinggalkan rumah. Namun, hawa sejuk dan kibasan cemara yang tumbuh di sepanjang jalan masih menyambutku. Kabut Merapi, meskipun sudah mulai menipis, masih teronggok kokoh di sana. Sisa-sisa bencana yang lalu pun masih menyapa. Namun, tetap saja ada yang hilang. Satu setengah tahun yang lalu, beratus-ratus kilometer aku dan istriku lewati untuk menyambut hari pernikahanku. Kami semua bergembira. Seolah-olah kenangan manis itu menjadi sesuatu yang abadi.
Namun, hari ini, aku mulai belajar bahwa tidak ada sesuatu pun yang abadi. Mobil adikku berhenti tepat di depan rumah. Terlihat banyak orang, sibuk dengan berbagai hal. Seolah-olah kenangan satu setengah tahun lalu berulang kembali. Aku dan istriku disambut dengan kemeriahan dan kegembiraan para tetangga desa. Namun, kali ini sangat berbeda. Mama melihatku dari ruang tamu. Aku benar-benar tidak sanggup melihat kedua bola matanya yang sedih. Aku tidak dapat menggambarkannya karena terlalu sakit untuk sebenarnya dikatakan. Aku hanya dapat berjalan lurus ke arahnya dengan bahu yang lemas. Melihatku, mama masih terdiam. Matanya hanya menunjukkan kepadaku sebuah peti besar yang tertancap di ruang tengah. Tapi, aku langsung memeluk tubuh yang melahirkanku itu. “Ma, aku sudah tahu. Papa pasti sudah bahagia di sana.” Tubuhnya mulai gemetar. Ada isak tangis yang tidak terdengar di sana. Aku tahu bahwa kami telah kehilangan orang yang paling kami cintai.
Aku beranikan diri untuk mendekati peti itu. Tidak pernah terbayangkan bahwa kedatanganku kali ini hanya untuk melepaskan kepergian jenazahnya. Air mataku masih tidak dapat keluar. Inilah kesombongan laki-laki. Namun, wajah di peti itu menyirnakan kesedihanku sesaat. Aku melihat papa tertidur di sana. Sangat tenang. Senyumnya masih terulas di sana. Tangannya kuat memegang rosario yang telah menjadi sahabatnya. Papaku gagah dengan setelan jas dan kemeja yang pernah ia kenakan dalam pernikahanku, meski tanpa sepatu hitam kesayangannya. Mungkin ada yang tertinggal. Mungkin memang harus ada yang ditinggalkan. Meski memang tiada yang abadi, aku percaya, ia telah menjumpai keabadian. Kepergiannya telah mengajariku satu hal lagi yang sangat berharga. Kita semua akan dijumpai oleh keabadian itu. Meski, memang, aku ingin menangis sekeras-kerasnya.

Merah Putih


Tiga malam ini, tidurku tak nyenyak. Ada suara gaduh di depan rumah yang mengusik. Hal ini tidak seperti biasanya terjadi. Biasanya, setelah lepas pukul sepuluh, hanya penjual mie tektek, hansip, dan kucing sajalah yang punya kuasa untuk mengeluarkan bebunyian. Setelah itu, tidak ada suara lain. Bahkan, suara jangkrik pun tidak terdengar sama sekali. Dari kota metropolitan ini, mereka telah beremigrasi jauh. Entah kemana.
Malam ketiga, akhirnya, kupingku semakin tidak tahan. Emosiku semakin meradang. Rasa ingin tahu pun semakin tidak terbendung. Tanpa perlu bertanya-tanya lagi, aku buka pintu rumah. Aku melongok dari tembok, hendak mengetahui suara gaduh itu berasal dari mana. Dari kejauhan aku melihat sekumpulan pemuda sedang tertawa terbahak-bahak, bahkan berteriak-teriak memanggil temannya. Dari tangan mereka, samar-samar, terlihat kain, plastik, bambu, dan benang. Di depan mereka, berdiri sebuah tangga yang tersandar dekat tiang listrik. Mabukkah mereka? Aku tidak tahu pasti.Yang jelas, setelah itu, aku memaksakan diri agar aku dapat tidur. Aku tetap berusaha mendapatkannya sebab itulah kemerdekaanku. Di dalam mimpi, aku menendang sekumpulan pemuda itu. Tersenyum aku.
Paginya, aku mulai paham apa yang sebenarnya terjadi selama tiga malam itu. Ternyata para pemuda telah menancapkan bambu-bambu panjang di setiap pojok rumah. Kain merah putih besar telah mereka bentangkan di sepanjang jalan. Plastik merah putih telah mereka rangkai pada utasan-utasan benang yang tersambung bak gerbang sirkus di sana-sini. Pagi itu, karnaval merah putih menyapa kampung tercinta kami.
Namun, akal sehatku mulai menggugat. Bukankah karnaval ini selalu kita lakukan setiap tahun? Bukankah kain dan plastik merah putih itu pun pernah kita pergunakan di tahun-tahun sebelumnya? Apa bedanya? Dimanakah letak perbedaannya?
Lama aku tercenung. Aku hanya bisa menatap kibaran kain yang mulai dimainkan oleh angin pagi. Aku ingat sebait lagu yang pernah kita nyanyikan bersama dalam upacara bendera; “Berkibarlah benderaku. Lambang suci gagah perwira ...” Dengan tangan terkepal, kita lantunkan lagu itu. Dengan bernyanyi, kita menjadi lebih dekat dengan makna historis sebuah bangsa. Inilah heroisme mutakhir. Enam puluh satu tahun, kita memiliki bendera kebangsaan itu, tapi tidak pernah kita berniat untuk mengganti warna dan motifnya dengan gambar bajak laut, tulang ikan, polkadot, atau sendok dan garpu. Kita pun tidak pernah ingin mengganti makna warna merah sebagai simbol dari darah para korban dan putih sebagai simbol ketakberdayaan. Mengubah maknanya berarti mengubah fungsinya dan sebaliknya. Pendek kata, tidak pernah ada yang salah dengan bendera, pemerintah, bangsa, dan negara ini. “Right or wrong is my country!” Itulah nasionalisme kita, nasionalisme yang dekat dengan igauan para pemabuk!
Kita harus berkaca bahwa selama enam puluh satu tahun, kibarannya tidak selalu menjadi penanda kemenangan. Di antara kibarannya itu kita pun masih mendengar isak-tangis. Di sela-sela kainnya, masih terasa linangan air yang membasahi setiap jengkal negeri ini. Pekik “Merdeka!” semakin lirih tak terdengar karena kerongkongan kita semakin serak. Napas semakin tersengal. Akibatnya, semakin banyak orang di republik ini yang tidak dapat tidur nyenyak. Pasalnya, waktu tidur terlanjur menjadi waktu meratap yang paling sempurna.
Malam ini, tidurku pun kembali tak nyenyak. Bukan karena suara gaduh. Bukan juga karena lampu di jalan yang semakin redup. Namun, aku benar-benar sedang resah. Aku lupa dimana kain merah putih itu aku simpan. Entah terselip. Entah hilang. Atau mungkin dilahap tikus.

********