Senin, 12 Mei 2008

Keluarga Kristiani Pasca Reformasi dan Budaya Kasih


Keluarga Indonesia pasca reformasi tahun 1998 adalah potret keluarga muram yang sedang menderita dan berbeban sikap pesimisme. Potret demikian tidak hanya diwarnai oleh beban ekonomi yang dari hari ke hari semakin berat. Namun, juga dipertegas oleh berbagai tindak ketidakadilan dan kekerasan yang semakin marak di berbagai sektor kehidupan. Setiap hari, media massa menjelaskan situasi tersebut dengan berbagai tayangan yang membuat kita bertanya-tanya apakah manusia memang dilahirkan sebagai makhluk yang keji. Kita bertanya-tanya apakah kekerasan menjadi kodrat yang melekat dalam hidup manusia. Apakah sungguh sulit bagi manusia untuk memperoleh keadilan. Rasanya, ruang bagi kemanusiaan semakin sempit, sedangkan ruang bagi kegilaan semakin terbuka lebar. Dari sektor domestik sampai publik, manusia Indonesia seringkali tampil sebagai makhluk yang mengerikan.

Reformasi 1998 sebagai titik pijak yang disepakati secara konvensional ternyata tidak ubahnya seperti sebuah peristiwa revolusi. Tidak dapat disangkal bahwa dalam momen tersebut terhitung ratusan orang yang menjadi keganasan aparat negara dan amuk massa, termasuk mereka yang dihilangkan secara sengaja dan mereka yang menjadi korban perkosaan massal. Sayangnya, peristiwa reformasi hanya selalu dilihat sebagai sebuah proses politik menuju kehidupan berbangsa yang lebih demokratis. Kita lupa bahwa reformasi juga adalah sebuah tragedi kemanusiaan sebagaimana terjadi pula pada tahun 1965. Di sanalah kita mendengar ratap sedih beratus-ratus ibu dan istri yang menghiba kehadiran orang-orang tercinta. Di sanalah juga kita melihat tatap pedih anak-anak yang mencari belai sayang ayah mereka yang hilang. Entah apa lagi yang terjadi di sana, kemanusiaan kita benar-benar sedang digugat. Kita tidak pernah lupa bahwa kesedihan itu sungguh nyata.

Ketika luka itu masih mengangga dan belum sembuh benar, kita harus menangis sekali lagi. Teror bom merengut orang-orang tercinta dari sisi kita.Dengan dalih keselamatan akhirat, orang rela menghabisi nyawa orang. Bom yang mengguncang Indonesia itu memiliki dampak internasional sehingga kita mulai disudutkan sebagai negara pusat teroris. Hal ini diperparah pula oleh berbagai tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia dan konflik sosial di berbagai daerah yang sebenarnya telah berakar sebelum Orde Baru. Kekerasan negara dalam masyarakat Aceh, konflik antaragama di Maluku, kerusuhan di Sampit, dan anarkisme di Poso membuat sejarah kekerasan yang dilakukan oleh bangsa ini semakin panjang. Ada ribuan bahkan ratusan ribu keluarga yang harus menjadi pengungsi. Mereka harus meninggalkan kampung halaman mereka, tanpa mengerti alasan dan latar belakang yang jelas dari peristiwa itu. Yang mereka lakukan hanyalah menyelamatkan diri. Terakhir, dan mungkin bukan yang paling akhir, adalah bencana alam. Bencana alam yang melampaui batas-batas kesadaran manusia itu datang seperti maling yang tidak diundang. Tsunami merengut banyak orang di Aceh, Nias, dan Yogyakarta. Sekali lagi, keluarga Indonesia harus berkabung.

Berbagai peristiwa itu tampaknya menjadi pekerjaan rumah yang harus kita renungkan. Di tengah-tengah badai konflik antargolongan masyarakat yang berujung pada kekerasan dan di tengah-tengah ratusan ribu pengungsi yang menghuni tempat-tempat penampungan, keluarga Kristiani ditantang. Masih adakah budaya kasih di sana? Masih adakah secuil hati untuk membantu? Masih dapatkah kita memandang wajah Allah dalam berbagai penderitaan itu? Apakah berbagai tragedi kemanusiaan itu justru membuat keluarga Kristiani menjadi semakin eksklusif sebagai manusia-manusia terpilih?

Dalam berbagai keprihatinan itu, tampaknya sangat sulit bagi kita untuk membayangkan keluarga Kristiani sebagai sebuah keluarga yang dilingkupi oleh aura kekudusan sebagaimana digambarkan oleh Gereja Eropa abad pertengahan. Keluarga Kristiani di Indonesia pada hari ini pun merupakan korban dari berbagai tindak ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan dan dibiarkan oleh negara serta bencana alam. Tidak sedikit keluarga Kristiani menghuni tempat-tempat pengungsian. Tidak jarang keluarga Kristiani kehilangan orang-orang yang mereka cintai tanpa penyebab dan latarbelakang yang jelas.

Kondisi yang sangat menyedihkan ini sebenarnya dialami pula keluarga Nazareth. Namun, oleh Gereja Eropa abad pertengahan, keluarga Nazareth ini terlanjur diperkenalkan kepada kita sebagai sebuah keluarga yang tidak pernah mengalami kesengsaraan. Tradisi Natal yang selama ini kita adopsi dan kita rayakan dengan gegap-gempita telah berhasil menutup mata kita untuk memandang bahwa bayi Yesus pun lahir dalam kondisi masyarakat yang carut-marut, penuh dengan kekerasan, pengejaran, dan penganiayaan.Kita lupa bahwa Yosep dan Maria harus rela menjadi pengungsi dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka telah ditolak di tanah mereka dan bahkan sebagai pasangan mereka diharamkan oleh masyarakat Yahudi. Yosep dan Maria adalah kisah getir dari sebuah ketulusan. Maria tulus menerima kehendak Allah untuk mengandung bayi Yesus. Yosep pun tulus menerima dan menemani Maria sebagai orang yang paling dicintainya meskipun hal itu berarti bahwa ia disingkirkan oleh keluarganya yang bertrah Daud. Ketulusan inilah yang menjadi benih tumbuhnya cinta kasih yang sangat kuat dalam keluarga kecil itu meskipun mereka harus menanggung berbagai penderitaan.

Bayi Yesus nan mungil itu lahir dalam kecemasan hidup yang juga mewarnai kehidupan para gembala di sekitar palungan. Kelompok ini,dalam tradisi Yahudi, merupakan kelompok marginal yang hidupnya jauh dari centre of exellence yang dikuasai oleh para ahli kitab dan pedagang. Itulah mengapa kelahiran bayi Yesus menjadi simbol dari kelahiran sebuah dunia baru. Bersama Yosep dan Maria, Yesus belajar banyak mengenai arti sebuah penderitaan. Yesus pun belajar banyak tentang arti sebuah pengorbanan. Orang-orang yang berada di sekitar Yesus, termasuk para gembala itu, menjadi inspirasi, menjadi guru-guru awal bagiNya untuk memuliakan manusia. Memuliakan kemanusiaan berarti memuliakan kebesaran dan keagungan Allah Bapa.

Keluarga Nazareth adalah keluarga yang secara penuh mengerti dan memahami bahwa dalam penderitaan, pengejaran, dan penganiayaan itu, Allah Bapa masih menopang kehidupan mereka. Sikap untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Ilahi menjadi kekuatan utama dalam kehidupan mereka, sebagaimana mereka berdua menyerahkan Yesus kecil ke dalam Bait Allah. Tanpa harus menjejakkan kaki kita ke tanah Yerusalem sekali pun, bahkan kita sebenarnya dapat melihat bahwa inti dari keselamatan adalah penyerahan diri Yesus kepada kehendak Ilahi. Di antara berbagai pilihan yang mungkin dapat Ia lakukan, Yesus memilih penyerahan diri sebagai sesuatu yang tidak dapat dikompromikan lagi.

Masihkah berpikir bahwa keluarga Kristiani hari ini adalah keluarga eksklusif? Tentu saja tidak!Dalam masa pengejaran dan pembantaian umat Kristen di Roma, gereja memperlihatkan keberanian untuk hidup dalam penindasan, tanpa harus kehilangan semangat cinta kasih. Kita memang harus belajar banyak...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sebuah ulasan yang menarik. Kritis. Terus menulis Bung!