Tampilkan postingan dengan label Refleksi Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 November 2008

Sang Guru dan Pohon Filicium


Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang Jebat dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan bertengkar.[1]

A. Prolegomena
Tidak banyak buku yang didedikasikan oleh seorang murid kepada guru-gurunya di masa lalu.Tidak banyak pula buku yang merekam hubungan tulus antara para guru dan murid-muridnya. Seingat saya, Edward Said, seorang profesor sastra, pernah mendedikasikan buku Orientalisme yang pernah ditulisnya secara serius kepada gurunya, Ibrahim Abu-Lughod. Isi buku itu memang tidak pernah secara eksplisit menyinggung hubungan akrab diantara mereka berdua. Namun, apa yang sebenarnya ia tulis diakui sebagai hasil diskusi yang intens dan bermuara dari semangat yang sama di antara mereka berdua. Pada satu kesempatan, Edward Said mau tidak mau harus bersaksi tentang persahabatan yang telah mereka jalin selama 50 tahun. Ia tampaknya merasa tidak betah untuk tidak membeberkan betapa sang guru memiliki andil yang besar dalam karir akademis dan kehidupan pribadinya sekaligus. Ketika sang guru meninggal, Edward Said menulis sebuah eulogi, My Guru, yang sangat menyentuh.[2] Selain itu, saya juga mencatat bagaimana peran murid-murid Ferdinand de Saussure, bapak Linguistik Modern, dalam menerbitkan catatan-catatan kuliahnya yang belum sempat dibukukan dalam A Course in General Linguistics. Tidak ada satupun di antara mereka yang pernah mengklaim bahwa isi buku itu merupakan hasil penafsiran mereka. Mereka sepakat bahwa segala hal yang tertulis adalah hasil pemikiran orisinil sang guru.


Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata Seman bukanlah buku yang ingin menampilkan refleksi teoretis seperti kedua buku tadi, walaupun di sana-sini ditemukan banyak nomenklatur yang beraroma sains. Laskar Pelangi, bagi saya, adalah sebuah refleksi batin dalam bentuk naratif. Refleksi batin itu berbicara kepada saya tentang kekuatan harapan dan semangat untuk berbagi dalam persahabatan. Untuk menyampaikan hal itu, Andrea memilih pendidikan sebagai jalan masuknya. Namun, pendidikan yang dimaksud dibicarakan dengan cara yang berbeda. Ia tidak dibicarakan sebagai sebuah bentuk politik peradaban massa yang di dalam dirinya sendiri seringkali bertentangan. Ia juga tidak dibicarakan sebagai sebuah masalah nasional yang harus segera dipikirkan karena buku ini memang tidak berpretensi sebagai sebuah buku kritik sosial. Pendidikan lebih dipandang secara awam sebagaimana kita menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Papan nama sekolah, senyum ramah para guru, kelakar dan canda para murid, bangku kelas yang usang dan reot, atau raport yang seringkali berwarna merah menjadi beberapa bentuk yang paling kongkret di dalam refleksi itu. Inilah yang menjadi kekuatan utama dalam Laskar Pelangi. Bukankah beberapa hal itu pula yang seringkali kita kenang setelah kita meninggalkan masa lalu? Selain keluarga, dimanakah lagi kita pertama kali mulai menjadi pribadi yang paling beruntung?

Oleh karenanya, saya berpikir mungkinkah Laskar Pelangi dapat kita sebut sebagai sebuah teks narasi retrospektif dan nostalgia sekaligus bagi kita, para pembacanya, untuk memandang wajah pribadi-pribadi yang berpengaruh dalam hidup kita? Mungkinkah, melalui buku ini, kita dapat menghargai perjumpaan kita dengan masa lalu sebagai salah satu akar pohon kehidupan kita yang tidak tergoyahkan? Dapatkah, melalui buku ini pula, kita membangun sebuah citra perjumpaan antarpribadi yang lebih manusiawi di masa depan?

B. Antara Panggilan Hidup dan Tragedi
Selain berbicara mengenai persahabatan akrab yang pernah terbangun di masa lalu, buku Laskar Pelangi ini didedikasikan oleh pengarangnya kepada kedua gurunya di masa lalu; Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor. Kedua nama itu tidak hanya hadir di halaman persembahan buku ini, tetapi memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam bab-bab pertama. Tampaknya, Andrea memiliki segudang memori tentang mereka. Ia bahkan mampu melukiskan raut wajah serta perangai mereka satu demi satu secara terperinci. Ia mengetahui bedak tepung beras yang terpoles di wajah Ibu Muslimah, silabus pelajaran budi pekerti yang disusunnya, wajah Pak Harfan yang mirip dengan aktor Tom Hanks dalam film Cast Away, atau kaus dalamnya yang berlubang di beberapa bagian.

Kita pun mungkin memiliki memori yang hampir sama dengan Andrea. Ada banyak guru yang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Mereka pernah menjadi figur-figur yang kita idolakan lebih daripada selebritis super manapun. Mereka hangat dan selalu menjadi tempat yang teduh untuk berkeluh kesah bak pohon filicium. Mereka datang bagaikan pelita yang menerangi segala gundah ketika tiada seorang pun yang peduli. Namun, di balik kehangatan itu, mereka dapat berubah menjadi monster yang bengis, yang siap mencabik-cabik kita dalam ketidakberdayaan. Mereka pun dapat menjadi suara yang tidak pernah kita inginkan dalam hidup ini. Kita memuji dan menyanjung mereka. Namun, tidak jarang kita kecewa kepada mereka karena ternyata mereka bukanlah sepenuhnya dewa. Mereka tetaplah manusia biasa.

Dalam kehidupan nyata, kita memahami bahwa Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah beberapa pribadi yang telah menggantungkan hidupnya sebagai guru. Kita memahami bahwa untuk menjadi seorang guru, seseorang tidak hanya harus memenuhi segala syarat akademis, melainkan juga semangat. Ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang guru pertama kali, ibu saya pernah mengatakan bahwa semangat ini terlalu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Secara ideal, semangat itu hanya dapat terlihat pada segala praksis kehidupannya sehari-hari, selain di depan kelas. Akan tetapi, menurut beliau, seorang guru bukanlah gambaran dari manusia sempurna tetapi manusia yang ingin selalu menyempurnakan dirinya. Semangat demikian juga menandakan bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup. Panggilan ini tentu saja dapat semakin tersemai jika keputusan batin yang matang pun mendasarinya. Tanpa keputusan seperti ini, menjadi guru hanyalah sebuah tragedi. Dalam Laskar Pelangi, tragedi seperti itu tampaknya tidak tersurat secara langsung pada kehidupan Ibu Muslimah atau Pak Harfan.

Namun, secara diam-diam, kita dapat melihat bahwa Andrea ingin menunjukkan bentuk tragedi lain yang dialami oleh kedua gurunya itu. Andrea tampaknya mahfum benar dengan kondisi kedua gurunya yang berkarya pada sekolah Muhammadiyah di Belitong. Sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan berbasis agama itu mustahil kita bayangkan sebagai model sekolah yang memiliki basis finansial yang sangat kuat seperti sekolah nasional plus atau sekolah internasional yang menjamur pada masa kini. Sejauh ini saya memahami bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh yayasan berbasis agama seperti Muhammadiyah bagi umat Muslim atau Kanisius bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang tidak mendasarkan dirinya pada orientasi bisnis. Pendidikan yang digerakkan dalam yayasan-yayasan tersebut biasanya bersifat karitatif. Dalam sebuah penelitian etnografisnya mengenai sepak terjang Muhammadiyah di Indonesia, James L. Peacock pernah mencatat bahwa misi utama Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam adalah untuk kembali kepada kebenaran yang pokok dari ajaran agama dan tradisi Islam sesuai dengan Al Qur’an dan Hadith Nabi.[3] Gerakan ini disimbolkan dengan semboyan “Amar Makruf Nahi Mungkar”. Misi ini, salah satunya, diimplementasikan dalam pendidikan bercorak pesantren dan madrasah (terpisah menurut jenis kelamin). Baru setelah kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah mengembangkan pula sekolah campuran dengan gaya sekolah pemerintah yang tingkatannya sejajar dengan SD, SMP, dan SMA[4]. Sekolah-sekolah itu tidak hanya terdapat di pusat kota tetapi justru lebih banyak ditemukan di daerah-daerah marginal yang seringkali tidak dapat tersentuh oleh transportasi dan instrumen peradaban modern. Sebagai sebuah karya karitatif, tampaknya, sekali lagi, sekolah Muhammadiyah tempat Ibu Muslimah dan Pak Harfan berkarya pun tidak dapat berspekulasi untuk menjamin kesejahteraan mereka dengan stabil. Hal demikian dapat dipahami karena yayasan harus menanggung biaya operasional sekolah-sekolah lain yang tersebar. Tidak jarang, sebagaimana terjadi pula pada yayasan Kanisius, banyak sekolah yang terpaksa ditutup.

Kesejahteraan menjadi tragedi lain yang tampaknya harus ditanggung. Bukankah hal ini pula yang sedang ramai-ramai diteriakkan oleh para guru swasta, khususnya yang berkarya dalam yayasan pendidikan berbasis agama? Dari permasalahan ini pula, kita dapat membayangkan bagaimana nasib guru-guru seperti Ibu Muslimah atau Pak Harfan yang berkarya di tempat-tempat marginal, yang minim dari berbagai fasilitas peradaban modern. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru yang mengampu berbagai pelajaran harus diupah hanya dengan 15 kilo beras sebulan. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru di pedalaman yang setiap hari harus berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk bertemu dengan murid-murid yang ia sayangi. Kita pun dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru yang tidak pernah bisa membelikan buku pelajaran untuk anaknya sendiri, dan seterusnya.

Secara sadar atau tidak, pernyataan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa justru semakin menegaskan bahwa guru-guru kita memang tidak pernah sejahtera. Sejak masa kolonialisme, guru-guru kita memang selalu diplot sebagai pribadi-pribadi yang nrimo, pasrah apa adanya. Tidak boleh berteriak. Tidak boleh protes. Tidak boleh menuntut. Tidak boleh berkata “tidak!”. Seolah-olah guru adalah makhluk yang lepas bebas dari segala tuntutan materi dan duniawi. Hal demikian mungkin terjadi karena selama beberapa waktu kita memandang istilah guru dekat dengan dunia rohani yang berkuasa untuk mendidik dan menjaga keimanan umat (sic!). Saya mengamati bahwa di lingkungan pemerintah dan yayasan swasta pada masa kini ada kecenderungan untuk mengganti istilah itu dengan istilah lain, seperti pengajar, penilai, tutor, fasilitator, administrator, atau bahkan manajer kelas. Saya tidak tahu apakah pergantian istilah ini juga merupakan semacam strategi untuk semakin menghargai guru sebagai sebuah profesi yang profesional atau semacam dalih untuk meredam semangat guru sebagai agen perubahan sosial. Bukankah dengan pergantian istilah itu, posisi guru justru bergeser menjadi sekedar karyawan atau pekerja dalam sebuah perusahaan? Istilah-istilah pengganti itu secara diam-diam telah melenyapkan peran guru sebagai pendidik.

Kalau boleh jujur dengan keadaan masa kini, faktor kesejahteraan memang menjadi prioritas pertama bagi guru, terutama bagi mereka yang bekerja di wilayah terpencil dan yang bernaung di bawah yayasan pendidikan berbasis agama. Peran mereka tidak dapat kita nafikan dan kita katakan kecil bagi bangsa ini. Tanpa mereka yang pernah berupah 15 kilo beras sebulan, kita yakin bahwa tidak pernah muncul seorang Andrea yang mampu mengenyam pendidikan S-2 di Inggris, mendengarkan The Doors, atau menikmati hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire. Namun, apakah faktor kesejahteraan itu memang menjadi satu-satunya harapan yang dirindukan oleh para guru?

C. The Politic of Recognition
Selama beberapa tahun ini, saya tidak menyangkal bahwa faktor kesejahteraan adalah penting. Namun, faktor tersebut bukan menjadi hal yang terpenting. Pengakuan terhadap guru secara sosial dan budaya adalah hal yang lebih harus kita perhatikan. Sejauh ini peran guru hanya diakui oleh masyarakat dalam adagium guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau guru sebagai pelita dalam kegelapan. Itu pun dilakukan ketika hari jadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dirayakan dalam upacara bendera. Selebihnya, semboyan itu semakin sumbang dan tenggelam berbarengan dengan maraknya tawuran, aksi contek-menyontek di ujian akhir, seks bebas di kamar mandi sekolah, penyalahgunaan narkoba, dan delikuensi moral yang dilakukan oleh oknum guru.

Saya juga tidak dapat menutup mata bagaimana guru masa kini tidak memiliki bargaining power dalam menentukan kebijakan sekolah. Guru bisa dengan mudah dikomplain, dikooptasi, dan disomasi oleh para orang tua murid melalui kepala sekolah hanya karena mereka merasa telah membayar iuran sekolah dengan jumlah rupiah atau dollar yang tinggi. Sekolah menjadi arena kepentingan di antara para orang tua murid dengan dalih-dalih edukatif. Hal demikian belum ditambah dengan beban kurikulum dan tugas administrasi yang semakin berat. Sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kita laksanakan, misalnya, ternyata membuat guru-guru kita pontang-panting setiap hari dalam menyiapkan instrumen dan bahan pengajaran bagi murid-murid. Ketidakmampuan seorang guru dalam mengikuti sistem kurikulum yang berlaku membuat dirinya pasrah untuk ditinjau kembali atau bahkan diragukan berdasarkan penilaian kompetensi yang seringkali subjektif. Penilaian kompetensi guru seperti ini jugalah yang pada akhirnya dikhawatirkan oleh mereka yang berkarya di wilayah terpencil atau marginal. Bagaimanakah mungkin seorang guru yang berkarya di wilayah Sorong, Papua, memiliki kompetensi teknologi yang sama dengan rekannya yang bekerja pada sebuah sekolah unggulan di Jakarta?

Pengakuan bahwa profesi guru berbeda dengan profesi karyawan atau pekerja mutlak dilakukan. Hal ini bisa diimplementasikan dengan memunculkan kembali tugas utama dan citra guru sebagai pendidik. Citra ini harus diperbaharui dari dalam dan dari luar dirinya sendiri sehingga guru tidak digambarkan sebagai seorang intelektual yang bodoh, pongah, dan lugu, seperti yang tercitrakan dalam sebuah iklan shampoo di televisi swasta. Iklan itu menggambarkan seorang guru sebagai pribadi yang panik, yang tidak berbuat apa-apa, kecuali menyeka keringatnya ketika ia bersama murid-muridnya terjebak dalam sebuah lift. Apakah iklan ini juga merupakan gambaran aktual bahwa guru-guru kita tidak pernah bisa menyelesaikan segala persoalan pendidikan bersama? Apakah permasalahan pendidikan pun harus diselesaikan oleh para selebritis kita? Apakah untuk hal ini , kemampuan guru harus semakin ditingkatkan terus-menerus? Kendati begitu, tampaknya penilaian terhadap kompetensi guru pun harus disesuaikan dengan berbagai kondisi secara kontekstual dan selaras dengan bargaining power yang dimiliki guru secara otonom.

D. Pohon Filicium: Sebuah Memori dan Janji
Buku Laskar Pelangi, bagi saya, adalah bentuk pengakuan Andrea secara sosial terhadap guru-guru yang dicintainya. Berkali-kali dalam beberapa bab berikutnya, ia selalu menyatakan bahwa tanpa kehadiran mereka, ia tidak pernah merasa beruntung. Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah inspirator awal yang memberikan pondasi mendasar dalam kehidupannya. Saya rasa, refleksi ini menjadi bentuk pengakuan yang paling jujur. Dengan kesaksian seperti ini, kita diajak kembali untuk menghargai setiap usaha yang pernah dilakukan oleh para guru kita di masa lalu. Kita tidak hanya diajak untuk mengingat rona wajah mereka ketika mereka marah terhadap kita, melainkan juga senyum yang menyejukkan tatkala kita jatuh. Kita diajak untuk memandang para guru bukan sekedar sebagai peristiwa yang dapat berlalu, melainkan sebuah memori dan momen inspiratif dalam kehidupan kita. Ini adalah pengakuan sederhana yang dapat kita lakukan. Untunglah, Andrea mengerti hal itu. Ia mengerti bahwa Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah pohon filicium tua rindang yang meneduhinya.

******

[1] Andrea Hirata Seman, Laskar Pelangi, PT Bentang Pustaka: Yogyakarta, 2005, hlm. 64.

[2] Edward Said, “My Guru”, dalam LRB letters page (14 Januari 2002).

[3] Vide. James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia, Penerbit Cipta Kreatif: Jakarta, 1975, hlm. 25.

[4] Ibid., hlm. 62

Sejenis Monster yang Tersembunyi dalam Pendidikan


Kegilaan selalu dilarang.
(Michel Foucault)

A.Belajar pada Abdullah
Agaknya pada saat ini, kita memiliki kesulitan untuk membayangkan bagaimanakah situasi pendidikan tradisional di negeri ini lima sampai tujuh abad yang lalu. Kendati begitu, hal ini tidak berarti bahwa kita tidak mampu memeriksa situasi tersebut dengan serius. Untuk mendapatkan perspektif tentang hal yang kita permasalahkan ini, mereka yang ingin memahami masa kini dari sudut pandang masa lalu, dapat berhutang pada Hikayat Abdullah, tanpa menafikan berbagai hasil penelitian mendalam yang telah dilahirkan oleh pakar pada abad ini.
Hikayat yang ditulis oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ini seringkali diklasifikasikan sebagai karya sejarah (Melayu). Tampaknya di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dapat dianggap sebagai data dalam penulisan sejarah. Salah satu bagian yang menjelaskan bagaimana pendidikan tradisional itu dilaksanakan, secara langsung berhubungan dengan pengalaman penulisnya sendiri dalam rangka mempelajari bahasa Arab. Abdullah mencatat bahwa pada masa itu bahasa Arab memiliki nilai prestise yang lebih tinggi daripada bahasa Melayu. Bahasa Arab adalah bahasa surga dan bahasa peradaban, sedangkan bahasa Melayu adalah bahasa pergaulan dan bahasa pasar (lingua franca). Posisi demikian membuat bahasa Arab menduduki tempat terhormat secara sosial dan mengimplikasikan posisi bahasa Melayu yang cukup marginal. Karena label ini, berbondong-bondonglah para pribumi belajar ke pusat-pusat pendidikan bahasa Arab di daerah Melayu agar penghayatan keimanan mereka semakin mendalam dan mereka mendapat pengakuan sosial yang lebih baik di mata masyarakat.
Kendati bertujuan demikian, Abdullah mengakui betapa mempelajari bahasa Arab pada masa itu tak ubahnya seperti memasukkan dirinya dalam teror yang tiada kunjung sirna. Menurutnya, hampir setiap hari ia harus menerima dengan pasrah teguran-teguran yang menyakitkan dan hukuman yang sangat keras dari sang guru. Tidak jarang ia harus mendapatkan bogem mentah, tendangan, dan siksaan fisik lainnya. Lebih daripada itu, Abdullah juga bersaksi bahwa hukuman-hukuman tersebut sepertinya dilaksanakan melalui alat-alat tertentu yang sanggup membuat si pembelajar menjadi lebih cepat dalam menguasai bahasa Arab, seperti penjepit lidah, cambuk berduri, atau tiang gantungan. Beberapa alat penyiksa itu dibuat agar si pembelajar dapat semakin berkonsentrasi dengan studinya itu. Sebagai konsekuensi, setiap kesalahan adalah usaha untuk menghancurkan diri sendiri.
B. Tata Etika dalam Pendidikan
Apa yang dinyatakan oleh Abdullah dapat kita analisis dalam dua artikulasi. Di satu pihak, sebagai sebuah fiksi, informasi yang dibawa oleh Hikayat Abdullah itu bisa jadi hanya merupakan sekumpulan narasi hiperbolis sebagaimana sering ditampilkan dalam cerita-cerita berjenis balada. Di lain pihak, sebagai sebuah fakta sejarah, informasi ini bisa menjadi data yang dapat dipergunakan sebagai inspirasi historiografi dalam memandang pendidikan tradisional. Di sini kita dapat bersikap sesuai dengan cara pandang kita masing-masing dalam menemukan kebenaran dalam teks. Hikayat Abdullah hanya menjadi semacam miniatur atas suasana pendidikan tradisional di daerah Melayu yang sejak awal ternyata telah tercampur dengan praktik kekerasan.
Berbicara mengenai pendidikan tidak pernah terlepas dari institusi yang disebut sebagai sekolah, akademi, atau perguruan tinggi. Tampaknya institusi demikian sebagai bentuk pendidikan modern, jelas berbeda dengan pendidikan tradisional dalam segala hal. Bagi kita, sekolah, akademi, atau perguruan tinggi bukanlah hasil rekacipta yang dirancang oleh nenek moyang kita, melainkan warisan budaya para bangsa penjelajah dan penjajah yang perlu diakui. Akan tetapi, ide mengenai kedisplinan berstudi dan kepatuhan serta rasa hormat kepada pengajar tidak pertama-tama sepenuhnya berasal dari bangs-bangsa itu. Kedisplinan dan kepatuhan adalah tata etika yang sejak semula, secara sadar atau tidak, telah menjadi semacam konvensi dan keutamaan yang diwariskan turun-temurun. Bahkan pada masa Majapahit, tata etika ini menjadi pusat tujuan dan makna dari pendidikan itu sendiri sebagaimana terdapat dalam naskah Wrhaspatitattwa. Meskipun begitu, dari sini pun kita masih dapat melihat ketimpangan struktural yang dibawa oleh pendidikan model itu. Tata etika masih menjadi milik yang eksklusif bagi mereka yang berada di wilayah kuil dan kerajaan.
Tidak dipungkiri bahwa institusi-institusi pendidikan modern yang telah disebutkan di atas merupakan ruang sosialisasi bagi penanaman nilai setelah rumah. Sebagaimana kompetisi dalam pendidikan tradisional yang diarahkan kepada nilai-nilai kebijaksanaan budi, keluhuran hati, dan terkendalinya segala nafsu badaniah, pendidikan modern pun ingin melaksanakan cita-cita tersebut. Namun, sayangnya, sejauh pengamatan saya, usaha itu belum berjalan dengan semestinya. Di negeri ini, institusi pendidikan hanya berfungsi sebagai tempat penampungan dan ruang tunggu bagi para calon tenaga kerja. Situasi ini pun menyebabkan struktur hubungan antara pihak sekolah dengan anak-anak didiknya berada dalam relasi tindakan rasional bertujuan alias hubungan antara pembeli dengan penjual. Pihak sekolah sekali waktu hanya menjadi tempat penitipan anak dari para orang tua yang mendambakan kehidupan ini berputar selama lebih dari 24 jam. Sementara itu, anak-anak didik hanya menjadi sumber investasi modal yang potensial dan aktual dari pihak sekolah atau yayasan.Situasi chaos seperti itu, jika dibiarkan begitu saja, justru akan menghalangi dan bahkan menutupi cita-cita luhur pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

C. Teror : Monster yang Tersembunyi
Di pihak lain, cita-cita ini ternyata mengalami paradoks ketika institusi pendidikan berkembang menjadi ruang yang terselubung bagi terjadinya tindak kekerasan yang sangat laten. Disadari atau tidak, institusi ini berubah menjadi sebuah asilum sosial ketika menerapkan peraturan-peraturan sebagai legitimasi dari kekuasaan, bukan sebagai sarana demi keteraturan itu sendiri. Hukuman sebagai bentuk konsekuensi lebih ditekankan daripada penghargaan sebagai bentuk konsekuensi yang lain. Di sini hukuman menjadi teknik untuk melegalkan kekuasaan (pemerintah) sekolah kepada anak didik.
Semakin banyak peraturan yang diberikan dan ditetapkan, semakin banyak konsekuensi negatif yang disediakan. Tidak jarang bila dari keadaan itu, banyak anak didik yang merasa tidak kerasan, tidak feel at home di sekolahnya sendiri dan berkeputusan untuk menjadi pemberontak yang tergabung dalam kelompok tawuran. Padahal, sebagaimana yang pernah saya alami di Jakarta, banyak di antara mereka yang memiliki harapan untuk menyandarkan diri pada perlindungan sekolah, termasuk kasih sayang dan perhatian dari para guru sebagai orang tua. Mereka berpaling kepada sekolah karena rumah sudah tidak dapat menyediakan hal itu. Rumah hanya menjadi ruang kosong, tempat kesepian dan tangis menjadi satu. Bahkan tidak jarang, bagi beberapa siswa yang menjadi nomaden karena broken home, sekolah, dalam arti fisik dan batin, menjadi satu-satunya rumah yang dapat diandalkannya.
Peraturan-peraturan sekolah yang terlalu ketat biasanya terjebak dalam sebuah permainan mengenai mitos kedisplinan. Disiplin selalu identik dengan keseriusan dan keteraturan dalam menaati dan mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Tubuh selalu menjadi sasaran dari kedisplinan ini. Pada tubuh, kedisplinan berurusan dengan hal-hal eksternal seperti penampilan, warna rambut, warna sepatu, atau ikat pinggang. Tubuh yang disiplin adalah tubuh yang sesuai dengan “aturan permainan” yang telah ditetapkan. Hal ini pun berlaku pada fenomena pergaulan di luar sekolah yang telah dibentuk oleh MTV dan para idola masa kini. Semuanya ditafsirkan dalam satu kerangka yang sama sehingga tidak dimungkinkan terjadinya dialog dan budaya demokrasi. Orang harus segera dipaksa untuk menyetujui keputusan tersebut tanpa diberi kesempatan untuk memilih atau membuka mulutnya untuk berargumentasi.
Pernyataan demikian tidak berarti bahwa segala peraturan sebaiknya ditiadakan. Tidak ada pretensi untuk menolaknya. Peraturan tetap harus dijalankan sejauh peraturan itu sendiri mampu menjadi alat refleksi, bukan sebuah sentensia (keputusan atau hukuman) yang dapat memunculkan tirani kata-kata yang bersifat monolitik. Peraturan dan hukuman hendaknya membuat si pelanggar menjadi orang yang diselamatkan, bukan orang yang dihukum. Itu berarti bahwa peraturan dan hukuman selalu memiliki makna keselamatan yang harus disingkap. Tanpa makna yang ingin dibangun dalam batin, peraturan hanya menjadi sesosok monster yang menakutkan dan teror belaka. Oleh karena itu, dalam peraturan, haruslah terbangun interaksi dan komunikasi yang santun, yang dipahami oleh masing-masing pihak dalam konteks yang sama dan berusaha tidak melakukan objektifikasi terhadap seseorang daripada yang lainnya.
Dalam peraturan yang cenderung diskriminatif dan berat sebelah, yang tidak mengindahkan segi-segi fungsi komunikatif yang santun antara kedua belah pihak, kekerasan dapat terjadi dengan sangat mudah. Kekerasan di sini biasanya dimulai dengan kekerasan yang bersifat verbal. Kekerasan ini bersifat menyakiti hati dan melemahkan mental. Si pelanggar seolah-olah dianggap sebagai seorang pesakitan akut atau pendosa yang tidak terampuni. Ia tidak diberi kesempatan untuk melakukan apologi. Keadaan demikian tidak akan pernah membuat dirinya menjadi murid yang dapat merefleksikan tindakannya, tetapi justru membuatnya menjadi murid yang bebal dan penuh kebencian. Di sini prinsip bahwa kekuasaan akan melahirkan anti kekuasaan harus sungguh-sungguh dipahami.
Tindak kekerasan verbal ini sebenarnya tidak lebih ringan daripada aksi kekerasan fisik. Aksi yang terakhir itu biasanya merupakan salah satu strategi yang cukup taktis untuk menundukkan tubuh. Jika tubuh dapat dikuasai, mental dan pikiran pun dapat dikuasai dengan lebih mudah. Namun, aksi kekerasan fisik ini tetap saja tidak dapat dibenarkan karena dapat melukai fungsi-fungsi alat tubuh dan menimbulkan dendam yang sangat mendalam. Secara sosial, ketertundukan tubuh ini merupakan simbol dari kehilangan harga diri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kerap terjadi perlawanan fisik yang tidak terduga dari si pelanggar kepada pihak yang menyakitinya. Semakin ia direpresi atau ditekan, semakin besar pulka keinginannya untuk melakukan aksi balik. Jadi, sebenarnya, dalam proses hukuman itu sendiri, ada semacam perebutan dominasi yang laten di antara kedua belah pihak untuk menjadi satu-satunya penguasa tunggal. Pernyataan ini saya temukan setelah saya menyaksikan dua sequel film Silence of The Lambs, yaitu Hannibal dan Red Dragon. Di sana, pihak yang terhukum pun sebenarnya berusaha untuk menjadi pihak penghukum ketika ia sedang dihadapkan pada komunikasi yang sebenarnya.
D. Komunikasi-Interaksi dan Proses Demokrasi
Saya menyadari bahwa di masa lalupun saya pernah menjadi korban tindak kekerasan di sekolah, baik dalam tingkat verbal maupun fisik. Yang pasti saya tidak berdiri sendiri. Masih ada banyak orang lain yang mengalami hal serupa. Namun, hal itu seringkali hanya menjadi semacam kenangan dan dimaknai sebagai sebuah suvenir dari masa lalu. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh pihak sekolah itu berada pada jaluryang benar dan semestinya dalam rangka menaklukkan kenakan-kenakalan. Padahal apakah kenakalan itu? Bukankah ini sifat kritis yang mampu menunjukkan bahwa kedisplinan itu sebenarnya adalah nomenclature yang tidak pernah dapat dimengerti oleh anak manusia? Sayangnya, retorik ini tidak pernah ada dalam masyarakat kita. Masyarakat kita mudah terbungkam dan membungkamkan dirinya. Walhasil,tetap dipercaya bahwa kenakalan merupakan tindak pemberontakan dari keteraturan, sikap indispliner, dan bukti dari kurangnya pengetahuan. Kenakalan itu sendiri, secara sosial, sudah disepakati sebagai sifat devian yang harus dilawan dengan segala cara. Hukuman adalah salah satu cara bagaimana meredam perangai itu.
Kita tidak mengetahui secara pasti tata etika apakah yang berlaku pada masa kini. Rasa-rasanya tata etika yang kita imani sepuluh tahun yang lalu sudah usang dan bahkan menghilang. Orang sudah tidak dapat membedakan lagi apakah ia berada di tempat yang gelap atau terang, Semuanya menjadi relatif. Dalam kondisi ini segalanya bisa terbalik dan menghilang begitu saja. Peradaban ini telah digiring menuju suatu tempat asing oleh kekuasaan tertentu. Orang sudah tidak memerlukan ritual cuci tangan sebelum makan karena sudah ada sachet yang mampu membersihkan kotoran hanya dalam waktu sekejap. Anak-anak kecil sudah tidak mempedulikan dan mengiyakan nasihat orang tua sehingga dengan mudah menyiram wajah mereka dengan air kotor.
Justru dalam keadaan ini, kekuasaan bisa bersembunyi di mana saja karena seperti yang dinyatakan oleh Michel Foucault, seorang pemikir dari Perancis, kekuasaan itu menyebar dalam setiap ruang kehidupan manusia, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sekolah adalah lembaga potensial yang memungkinkan terjadinya keadaan demikian. Ia bisa sangat represif dan bahkan menimbulkan teror, tidak hanya bagi anak didik tetapi juga bagi para guru itu sendiri. Jika sudah terjerat dalam sistem kekuasaan yang despotis, maka satu-satunya cara untuk menghadapi keadaan itu adalah saling memperkuat interaksi, saling membuka komunikasi, dan saling percaya. Interaksi dan komunikasi akan mengatasi kesenjangan pengertian dan penafsiran yang berbeda-beda. Dikatakan demikian karena di sini otentisitas pluralitas penafsiran tetap dijaga karena merupakan bentuk keunikan yang dapat saling melengkapi. Dalam hal ini, pihak sekolah mau tidak mau harus membuka sekat-sekat yang menghambat hubungan dengan peserta didik dan antarrekan pengajar, seperti keinginan untuk selalu dihormati, pengagungan senioritas, otoritas,dan kebenaran absolut monotafsir. Hal demikian pun berlaku sebaliknya. Ada waktu-waktu tertentu bagi para peserta didik yang telah dianggap mampu menyuarakan kehendaknya untuk duduk satu meja dalam menentukan keputusan yang berhubungan dengan kegiatan bersama. Di sini prinsip kepercayaan menemukan jalannya. Disadari atau tidak, ini adalah langkah-langkah hidup berdemokrasi yang harus ditapaki dengan kesabaran yang sangat tinggi. Komunikasi-interaksi, keterbukaan, kepercayaan, dan partisipasi yang diusahakan terus-menerus ini, minimal, dapat mencegah timbulnya usaha-usaha destruktif di antara kedua belah pihak.

*******

Senin, 12 Mei 2008

Mutiara Kehidupan yang Paling Berharga


Tanggal 20 November diperingati sebagai hari anak-anak sedunia. Pada tanggal ini kita diajak untuk meninjau kembali sejauh mana kita memperlakukan anak-anak kita, sejauh mana kita dapat memberikan rasa aman dan perlindungan kepada mereka, serta sejauh mana kita memperhatikan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan mereka.Ternyata, dari tahun ke tahun, kita perlu mengakui bahwa perhatian kepada anak-anak tidak lebih penting daripada perhatian kita terhadap perkembangan kapitalisme yang semakin kompleks atau perhatian kita terhadap pengorganisasian kekuatan militer yang semakin birokratis. Dari tahun ke tahun, anak-anak sekadar menjadi objek dan korban dari kepentingan orang yang lebih tua.

Ketika dalam kandungan Bunda Maria, bayi Yesus pun sudah mengalami hal ini. Atas perintah Herodes, pengejaran dilakukan untuk menghabisi bayi-bayi yang baru dilahirkan. Herodes yang mengidap megalomania itu takut jika kelak di antara bayi-bayi yang dilahirkan itu, muncullah seorang pemimpin yang disembah oleh rakyat. Herodes melihat hal ini sebagai sebuah ancaman bagi singgasana dan tahtanya. Suasana yang hampir sama pun kini terjadi kembali. Ada di antara mereka yang mungkin mengalami pengejaran sebagaimana dialami oleh Yesus. Karena konflik dan perang yang berkepanjangan, mereka menjadi pengungsi yang telah terusir dan terengut dari tanah airnya sendiri. Demi keselamatan hidup, mereka seringkali terpisah dari orang-orang tercinta. Anak-anak yang tidak berdosa ini diungsikan beribu-ribu mil dari kampung halaman mereka menuju sebuah tempat asing.

Namun, ada pula di antara mereka yang tidak mengalami pengejaran tersebut. Mereka itu diantaranya adalah anak-anak belasan tahun yang berdiri di Jalur Gaza, reruntuhan kota di Mogadishu, atau daerah konflik lain yang gelap. Siapa bilang mereka ini lebih beruntung daripada mereka yang harus menjadi pengungsi? Tidak ada seorang pun yang lebih beruntung. Anak-anak itu justru berkontak langsung dengan suasana perang yang sesungguhnya. Setiap hari mereka harus memegang M-16, mencium bau mesiu, dan mengalungi ratusan peluru yang selalu siap meledak. Anak-anak itu harus sudah mengenali kematian secara langsung di depan mata mereka. Oleh perang, mereka diajarkan untuk memaksimalkan insting mereka untuk bertahan hidup. Membunuh atau dibunuh!

Sementara itu, di belahan dunia yang lain, kita masih dapat menyaksikan pula bagaimana wabah kelaparan merengut berjuta-juta anak. Dilaporkan bahwa setiap hari, lebih dari 40.000 anak meninggal akibat kurang gizi atau penyakit yang sebenarnya mudah dicegah. Dilaporkan pula bahwa setiap menit 30 anak meninggal karena kekurangan pangan dan obat murah. Fasilitas kesehatan dan tenaga-tenaga medis untuk menangani hal ini seringkali menjadi opsi terakhir sesudah peralatan militer dipenuhi. Budget bagi kesehatan dalam setiap rencana anggaran yang terdapat di negara berkembang selalu berada di urutan terendah dibandingkan kepentingan militer atau urusan pemerintah yang lain. Akibatnya, dunia ini dipenuhi oleh berbagai tragedi yang menimpa anak-anak. Setiap tahun, dikabarkan, 120.000 anak lahir cacat mental karena kekurangan yodium. Setiap tahun, dinyatakan, 250.000 anak menjadi buta karena kekurangan vitamin A.

Litani penderitaan yang dialami oleh anak-anak ini semakin hari semakin memuncak. Selain minimnya pendidikan bagi mereka, perang tetap menjadi bahaya yang paling mengancam masa depan mereka. Selama 10 tahun terakhir, dilaporkan, enam juta anak-anak menjadi cacat dan dua belas juta menjadi gelandangan. Mereka hidup seperti mayat hidup, tanpa harapan dan tujuan yang jelas. Masalah lainnya yang sangat krusial untuk diperhatikan adalah semakin maraknya eksploitasi terhadap anak-anak di bidang ekonomi. Diperkirakan 200 juta anak terpaksa bekerja dengan upah di bawah rata-rata. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, roda produksi membutuhkan banyak tenaga yang dapat dibayar murah. Anak-anak dipandang sebagai objek yang dapat memenuhi permintaan itu.

Melalui perekrutan yang sangat mudah, mereka dipekerjakan. Mereka diberi iming-iming yang sesungguhnya sangat tidak sepadan dengan apa yang harus mereka lakukan. Tidak jarang, mereka diculik, dipaksa, dan bahkan disiksa agar mereka dapat bekerja. Modus yang sering terjadi adalah bahwa mereka secara ilegal diselundupkan dan ditempatkan di berbagai tempat yang sangat jauh dari tempat asal mereka. Sektor pekerjaan yang harus mereka lakukan pun beragam. Mereka harus bekerja sebagai kuli di pelabuhan, buruh di pabrik, atau pelacur di berbagai rumah bordil! Pekerjaan terakhir itu menjadi masalah yang semakin marak di berbagai negara dunia ketiga. Oleh PBB dilaporkan bahwa satu juta anak terpaksa menjadi pelacur setiap tahunnya. Celakanya, kebanyakan dari mereka terjangkit penyakit HIV/AIDS.

Ada banyak hal yang menyebabkan anak-anak usia belasan tahun ini masuk ke dalam dunia pelacuran. Kemiskinan struktural yang dialami oleh masyarakat merupakan salah satu penyebab mengapa mereka berada dalam lorong gelap itu. Pelacuran dari abad ke abad dianggap sebagai sebuah cara untuk mengatasi kemiskinan itu. Anggapan ini tentu saja sangat fatal! Namun, tidak dilupakan pula bahwa kemajuan teknologi media hiburan di dunia ini perlu bertanggung jawab terhadap permasalahan itu. Terjadinya pelacuran anak-anak, disadari atau tidak, diperkuat oleh kemajuan teknologi ini karena di sanalah mimpi-mimpi tentang keberhasilan para urban ditawarkan.

Pelecehan seksual terhadap anak, perdagangan bayi, dan perdagangan organ tubuh anak pun menjadi masalah lain yang tidak dapat dipandang enteng. Mereka pun masih mengintai anak-anak kita. Apa yang harus dilakukan jika demikian? Apakah keluarga masih bisa menjadi jawaban dari berbagai permasalahan itu? Apakah keluarga masih bisa menjadi tempat yang aman bagi anak-anak kita untuk tumbuh dan berkembang secara wajar? Bagaimanakah peran agama dalam situasi seperti itu? Apakah agama masih dapat berperan sebagai salah satu tameng pelindung mereka? Anak-anak adalah mutiara yang paling berharga bagi kehidupan ini. Ketika mereka menangis dan sedih, alam pun runtuh. Namun ketika mereka bernyanyi dan tersenyum, kehidupan yang lebih baru ditawarkan bagi dunia.

Guru, Orang Samaria, dan Taman Eden


“Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
(Matius 6:24)

Tidak mudah untuk memilih profesi guru sebagai sebuah panggilan hidup. Kondisi pendidikan yang sangat memprihatinkan dan percaturan ekonomi yang semakin sengit membuat profesi ini semakin tidak diminati di negara kita. Paling tidak, jika profesi ini dipilih, perlu diakui bahwa profesi guru pada masa ini seringkali dianggap sebagai “jalan tengah” untuk mengatasi minimnya lowongan pekerjaan. Dari masa ke masa, memang, profesi guru tidak pernah dianggap sebagai sebuah lahan yang basah. Profesi ini cenderung digambarkan sebagai hamparan padang gurun yang tandus. Dengan kata lain, profesi ini dianggap tidak akan pernah memberikan keuntungan finansial yang besar kepada para pelakunya sebagaimana terjadi pada dunia bisnis. Intinya, kehidupan guru di Republik ini dekat dengan lubang hitam keprihatinan dan kemiskinan. Karena hal itu pula, ada sebuah pertanyaan yang meluncur ke hadapan kita. Bagaimanakah mungkin seorang guru yang lapar akan makanan dan kebutuhan primer yang lain mampu mengenyangkan murid yang lapar akan pengetahuan? Sebagai akibatnya, wajarlah jika masyarakat kita, secara sadar atau tidak, menyetujui lagu Umar Bakrie yang dinyanyikan oleh Iwan Fals sebagai gambaran nyata dari nasib guru di Indonesia. Mereka memberikan pengabdian di ruang-ruang yang pengab.Bahkan, secara naif, masyarakat dan pemerintah pun tampaknya sepakat untuk membahasakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam bahasa itu tersirat bahwa nasib guru memang harus menanggung penderitaan. Lantas, bagaimana saya merefleksikan dan memandang fenomena itu?

Mencoba untuk Menjadi Orang Samaria yang Baik Hati
Ketika saya memutuskan untuk berkarya sebagai seorang guru secara profesional, beberapa konsekuensi di atas memang belum dapat saya pahami sepenuhnya. Yang ada pada saat itu hanyalah sebuah keinginan untuk memberikan pelayanan dan pengetahuan kepada anak didik. Kendati begitu, keinginan tersebut tidak tiba-tiba muncul begitu saja. Ada beberapa momen yang tampaknya mempengaruhi saya untuk lebih memperhatikan keinginan itu. Pertama, saya sangat terinspirasi oleh kedua orang tua saya. Ibu saya adalah seorang guru. Hampir lebih dari empat puluh tahun, beliau mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan. Sebelum ia menjalani masa pensiunnya, ia adalah seorang guru Taman Kanak-Kanak di sebuah yayasan pendidikan Katolik. Sementara itu, ayah saya adalah seorang penyuluh pertanian. Sampai akhir hayatnya, ia pun telah mendedikasikan dirinya bagi pertanian dan nasib petani. Obsesinya adalah bagaimana petani dapat sejahtera tanpa harus merusak tanah pertaniannya sendiri. Saya sangat terinspirasi oleh aktivisme yang mereka lakukan. Mereka bekerja agar orang lain dapat lebih bahagia, lebih berguna, lebih sejahtera, dan lebih bermartabat. Kedua, kondisi desa tempat kami tinggal yang jauh dari centre of exellence memanggil saya untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat. Fasilitas penerangan dan transportasi yang masih minim membuat desa kami yang terletak di sebelah barat candi Prambanan itu jauh dari sumber informasi. Hal ini seringkali membuat beberapa sekolah yang didirikan oleh pemerintah tidak berfungsi. Sekolah-sekolah itu teronggok kosong, tidak terurus. Bahkan seringkali dipergunakan sebagai tempat untuk mepe (menjemur) gabah. Sementara itu, banyak anak usia sekolah lebih memilih untuk menggembalakan ternaknya atau mengusir burung dan tikus di pematang sawah ketimbang belajar membaca.

Kedua hal itulah yang setidak-tidaknya menjadi alasan mengapa saya memilih untuk terus bertekun dalam profesi ini. Ayah dan ibu saya telah memberikan pengaruh yang mendalam kepada saya selama bertahun-tahun. Rumah menjadi tempat belajar pertama. Masih terekam jelas dalam ingatan saya bagaimana mereka berdua selalu berpesan kepada kami,anak-anaknya, agar menjadi sesama bagi orang lain. Ayah gemar menuturkan kisah Orang Samaria yang Baik Hati ketika kami sedang berkumpul di ruang tengah. Anehnya, kami pun tidak pernah bosan untuk mendengarkannya. Bagi ayah, orang Samaria yang diceritakan itu menjadi cermin dari orang-orang yang bekerja tanpa pamrih demi keselamatan orang lain.

Meskipun begitu, perlu diakui bahwa menjadi orang Samaria yang baik hati bukanlah hal yang mudah pada situasi yang tidak menentu. Keikhlasan hati untuk membantu sesama seringkali disalahtafsirkan sebagai ancaman bagi kelompok tertentu. Isu mengenai SARA yang dihembuskan oleh Orde Baru dan trauma pasca gerakan 30 September 1965 masih tertanam dalam-dalam pada beberapa keluarga di desa kami. Seringkali hal ini tampak seperti fenomena gunung es yang tiba-tiba saja dapat meledak dalam berbagai peristiwa politik seperti pemilihan Kepala Dusun atau Lurah dan pemilihan umum. Meskipun sehari-hari kami semua dapat saling ramah menyapa ketika bertemu di jalan setapak, pada peristiwa-peristiwa itu, secara tiba-tiba kami pun dapat segera saling mencederai. Celakanya, kecurigaan-kecurigaan yang tidak berdasar ini selalu diturunkan dari generasi ke generasi. Hal ini jugalah yang membuat desa kami terkungkung pada egoisme masa lalu sehingga tidak pernah berpikir untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan mungkin boleh dikatakan sangat rendah. Namun, hal demikian tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk hidup lebih bermartabat. Masih ada celah di jalan yang sempit itu. Bahkan masih ada harapan yang terbentang luas di sana. Anak-anak adalah harapan yang saya maksud itu. Dari sinilah saya mulai terlibat dengan dunia pendidikan. Pada awalnya, saya mengumpulkan beberapa anak yang biasanya hanya bermain setelah selesai menggembalakan ternak-ternaknya. Dalam kelompok kecil ini, saya tidak berusaha untuk mengasingkan mereka dari lingkungan dan kebiasaan mereka. Kami tetap bermain. Kami tetap bergembira. Ayah saya menyediakan beranda depan sebagai ruang kelas. Ibu pun menyumbangkan beberapa alat peraga dan permainan yang sudah tidak terpakai. Meskipun fasilitas yang dipergunakan sangat terbatas dan usang, kelas selalu dimulai dari pukul 16.00 sampai 17.30. Meskipun hanya satu setengah jam kami bertemu, setiap hari kami dapat bernyanyi, menari, menggambar, dan belajar mengeja. Setiap hari kelas pun semakin diminati oleh anak-anak lain dan bahkan remaja.

Selama 4 bulan, kelas berjalan sebagai sebuah sekolah alternatif. Karena perkembangannya semakin kondusif, saya meminta bantuan beberapa teman dari Mudika setempat untuk ikut menemani anak-anak dan remaja itu. Sayangnya, hal ini tidak berlangsung semulus yang diharapkan. Ada rumor yang sempat terdengar bahwa saya dan teman-teman melakukan kristenisasi terhadap anak-anak itu. Anak-anak lebih memilih untuk datang ke kelas alternatif ketimbang belajar mengaji bersama seorang ustadz dari desa tetangga. Ada keluhan pula bahwa kelas alternatif kami ternyata membuat anak-anak itu mulai malas menggembalakan ternaknya. Pada awalnya, saya dan teman-teman mencoba untuk mengganggap rumor itu sebagai angin lalu. Namun, astaga, kami tidak pernah menyangka bahwa efek rumor itu sangat serius. Memasuki bulan ke-5, satu per satu anak-anak didik kami mengundurkan diri tanpa sebab yang jelas. Mereka bahkan tidak pernah mau mengatakan alasan pengunduran diri. Mereka hanya terdiam dan berlari setelah itu. Saya mengira, mereka bungkam karena mereka dipaksa untuk bungkam. Pertengahan bulan ke-6, kelas benar-benar sepi.Tiada seorang anak pun yang datang. Tiada tepuk tangan. Tiada nyanyian ceria. Tiada suara keras mengeja-eja kata-kata di sudut kebun itu. Saya sungguh sedih.

Namun, kesedihan itu tidak berlangsung lama. Seorang aktivis gereja dari desa tetangga meminta bantuan saya untuk menyelenggarakan kursus bahasa Inggris bagi para mudika. Kebetulan kursus bahasa Inggris bagi mudika merupakan program kerjanya yang belum terlaksana. Ajakan itu saya sambut dengan gembira. Kursus tersebut direncanakan berlangsung seminggu dua kali, hari Minggu sore dan Kamis sore. Kursus dilaksanakan di dalam gereja stasi yang berjarak sekitar 8 km dari rumah. Gereja itu terletak di tengah sawah. Meskipun belum selesai dibangun, gereja ini sudah memiliki sebuah papan tulis hitam, sebuah meja tulis, dan beberapa bangku. Tampaknya selain berfungsi sebagai tempat ibadah, gereja ini juga dipergunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat. Sebagian besar peserta kursus adalah anak-anak SD yang duduk di bangku kelas 6 dan beberapa remaja SMP dan SMU. Saya ingat, peserta yang datang pada hari pertama berjumlah 6 orang. Setelah dua kali pertemuan, jumlah mereka terus bertambah. Hebatnya, para peserta kursus tidak hanya berasal dari umat gereja, melainkan juga penduduk setempat yang beragama lain.

Hampir sekitar 5 bulan kami berproses bersama. Saya mulai menjalin persahabatan dengan mereka. Mereka lebih terbuka untuk mengkomunikasikan segala kesulitan dalam mempelajari bahasa Inggris. Bahkan tidak jarang mereka pun bercerita tentang hal-hal yang bersifat pribadi. Mereka tidak sungkan untuk mengatakan bahwa hari ini ayah dan ibu mereka bertengkar sengit atau beberapa minggu lalu panen tembakau mereka gagal. Namun, hal yang lebih menyenangkan adalah bahwa di dalam ruang tersebut kami membangun dialog yang kondusif. Kebersamaan kami telah melampaui batas-batas dogma agama yang cenderung kaku dan status sosial yang mengkotak-kotakkan orang secara irasional. Oleh karena itu, setiap kali saya mencoba untuk tidak absen dan terlambat dalam kursus itu. Setelah kuliah selesai, saya selalu mempersiapkan diri untuk sesegera mungkin berada di sana. Jarak antara Bulaksumur dan Prambanan menjadi sangat dekat. Saya sungguh gembira berada bersama mereka. Karena kursus ini bersifat karitatif, tidak pernah terbersit dalam hati saya untuk meminta balas jasa dari mereka. Namun, sebagai gantinya, mereka secara diam-diam selalu menyediakan sepiring pisang goreng, segelas teh manis panas, dan 2 batang Djie Sam Soe di atas meja tulis. Rejeki yang luar biasa untuk melepaskan lelah!

Kursus yang sangat menyenangkan itu pun harus berhenti. Gereja stasi itu akan dibangun kembali. Pada saat itu kami mulai kesulitan untuk mencari tempat pengganti. Rasa-rasanya tidak ada tempat yang dapat menggantikan gereja itu. Selain ruangnya yang sangat nyaman, letak gereja stasi itu sangat strategis. Posisinya terletak di tengah-tengah jalur yang dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak. Karena hal itu, dewan stasi menganjurkan agar kursus dihentikan sementara waktu sambil menunggu pembangunan gereja selesai. Dengan hati yang sungguh berat, saya harus menerima keputusan itu. Namun, tidak lama setelah itu, tawaran lain datang kepada saya. Kali ini saya diminta untuk mengajar di sebuah sekolah formal!

Berproses dalam Ketulusan Bersama
Sekolah itu adalah sekolah menengah kejuruan yang dirancang untuk mendidik tenaga-tenaga muda dalam bidang industri pariwisata. Usianya belum genap 4 tahun, tetapi peminatnya cukup banyak. Sekolah yang terletak dekat Candi Prambanan itu baru meluluskan satu angkatan. Hampir sebagian besar muridnya berasal dari daerah sekitar candi. Dengan fasilitas seadanya, para pengajar menjalankan sekolah itu. Saya kebetulan ditunjuk untuk menggantikan guru bidang studi bahasa Inggris yang sedang menjalani masa cuti hamil. Pada saat itu, saya mengajar 5 kelas dengan jumlah murid yang cukup banyak. Seingat saya, satu kelas diisi oleh 55 orang anak. Menurut saya, jumlah ini terlalu besar bagi ruang kelas yang hanya menyediakan 40 tempat duduk.

Berjumpa dengan murid-murid yang sedang mempersiapkan diri untuk terjun ke dalam dunia kerja sangatlah menarik. Mereka paham benar bahwa bahasa Inggris sungguh mereka perlukan dalam industri pariwisata. Bahasa Inggris menjadi bagian dari kesuksesan mereka kelak. Oleh karena itu, mereka berjuang mati-matian agar dalam pelajaran ini, mereka harus dapat mendapatkan nilai sebaik-baiknya. Mereka tahu bahwa dengan nilai bahasa Inggris yang baik, kesempatan bekerja di hotel atau biro perjalanan yang lebih baik semakin terbentang luas. Mereka juga mengerti bahwa masa studi yang sedang mereka laksanakan harus dituntaskan dengan sebaik-baiknya. Mereka paham bahwa bersekolah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Semakin dekat saya berhubungan dengan mereka, semakin dalam pula saya mengenal berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Selain kendala biaya yang seringkali merintangi keinginan mereka untuk mengubah nasib, mereka juga harus menghadapi tegangan antara budaya tradisional yang berlaku di rumah dan masyarakat dengan budaya modern yang seringkali timbul sebagai ekses dunia pariwisata. Saya sempat tercenung bahwa di daerah itu pernikahan di usia muda seringkali terjadi. Beberapa siswi berprestasi yang saya kenal baik pun menjadi “korban” dari tradisi itu. Pada umumnya mereka tidak dapat menolak karena mereka dipaksa untuk mematuhi keputusan keluarga. Entah dengan alasan penguasaan tanah atau pekerjaan, pernikahan itu tidak pernah didasarkan rasa cinta. Namun, hal yang paling mengejutkan saya adalah bahwa tidak sedikit dari murid-murid saya bekerja sebagai wanita dan pria penghibur para turis domestik pada malam hari! Pagi hari mereka bersekolah, tetapi sore hari mereka sudah berdandan dan berkumpul di beberapa losmen atau hotel melati yang terdapat di sekitar candi. Celakanya, apa yang mereka lakukan itu diketahui dan bahkan disetujui oleh keluarga mereka!

Kondisi seperti itu ternyata telah berlangsung lama di daerah sekitar candi. Hal demikian sudah menjadi rahasia umum. Saya benar-benar prihatin dengan hal itu. Saya tidak tahu apakah hal ini memang merupakan konsekuensi yang harus serta merta ditanggung oleh daerah-daerah yang dipergunakan sebagai lokasi pariwisata. Apakah hal ini merupakan ekses dari kebutuhan ekonomis yang kian hari kian mencekik kehidupan masyarakat sehingga jalan apapun dihalalkan? Ataukah hal ini memang sengaja dikonstruksi oleh pemerintah dan lembaga-lembaga sosial agar mereka dapat berfungsi sebagai pemegang otoritas moral? Saya hanya dapat menggelengkan kepala. Yang saya tahu, bagaimanapun juga, mereka adalah sekadar korban. Oleh karena itu, saya tidak memiliki hak untuk menghakimi mereka sebagai penjahat moral. Apabila hal demikian saya lakukan, itu menandakan bahwa saya tidak memberikan alternatif bagi mereka untuk mencari jalan lain yang lebih baik. Saya memang tidak dapat berbuat banyak selain menerima mereka apa adanya sebagai murid-murid yang masih memiliki harapan yang lebih baik. Ya, saya masih melihat harapan itu bersinar di antara mereka. Bola-bola mata itu tidak dapat menipu. Hampir sebagian besar murid menunjukkan semangat belajar yang luar biasa. Mereka mulai banyak bertanya. Bahkan mereka tidak sungkan untuk datang ke rumah saya. Seringkali mereka datang berbondong-bondong dengan menggunakan sepeda onthel. Tidak jarang pula mereka datang sambil menjinjing beberapa hasil kebun seperti pisang, pepaya, mangga, atau jagung. Selain ketulusan dalam persahabatan, saya tahu, kedatangan mereka menyiratkan keinginan mereka untuk maju. Mereka ingin masa depan yang lebih baik.

Mencari Originalitas Batin
Setelah saya berkecimpung secara formal dalam dunia pendidikan, lambat laun saya mulai menyadari bahwa menjadi guru bukanlah sekadar mengajar atau mendidik. Menjadi guru adalah sebuah panggilan untuk memberikan kabar dan harapan akan masa depan yang lebih baik kepada peserta didik. Meskipun istilah masa depan tampak abstrak, tetapi harapan tidak pernah bersifat ilusif. Harapan adalah mata rantai dari semua impian dan imajinasi. Harapan menjadi sangat potensial dalam mewujudkan kesejahteraan sebagai sebuah kondisi yang tak terbatas bagi rasa nyaman dan rasa aman.

Setelah berkarya di desa, saya dipanggil oleh sebuah yayasan untuk mengajar di Jakarta. Tentu saja, hal ini sangat menantang jiwa muda saya pada saat itu. Karena panggilan itu pula, saya menampik tawaran kerja lain yang lebih menjanjikan secara finansial. Jakarta, kota metropolitan, tempat jutaan orang terdampar di sana, mulai menyapa saya. Di kota ini, saya diminta untuk mengajar bahasa Indonesia, bidang studi yang memang saya lebih kuasai daripada bahasa Inggris. Dengan barang bawaan dan uang seadanya, saya datang ke sekolah. Meskipun sempat tersesat, saya disambut dengan hangat. Mereka menyediakan tempat berteduh sementara bagi saya. Bahkan, hal yang tidak pernah saya lupakan, suster pemimpin yayasan memberikan uang sebesar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sebagai modal. Jumlah itu sangat besar bila dibandingkan dengan honor yang saya terima di sekolah menengah kejuruan. Dengan uang itu, saya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari selama beberapa waktu.

Hampir sebagian besar murid yang saya ampu adalah warga keturunan Cina yang hidupnya di sekitar pemukiman yang padat dan kumuh. Di dalam pemukiman itu, mereka harus bertetangga dengan para PSK dan kuli pasar yang bekerja di sekitar Mangga Besar. Kehidupan ekonomi mereka yang pas-pasan membuat mereka tampil apa adanya. Mereka seringkali tidak dapat mengontrol perangai mereka. Tidak heran bahwa mereka lebih senang berkelahi atau mengumpat dalam menyikapi berbagai masalah. Kebanyakan dari murid-murid itu pun tidak memiliki akte kelahiran. Pada umumnya, mereka berasal dari keluarga single parent. Boleh dikatakan, mereka menjadi kelompok sosial yang tidak beruntung. Identitas mereka terjepit di antara kehidupan sosial yang cenderung marginal dan kepentingan ekonomi yang terus menuntut.

Banyak orang mengatakan bahwa dahulu kala sekolah ini cukup elit karena mendidik anak-anak saudagar Cina. Namun, seiring dengan jalannya waktu, sekolah elit itu kini tinggal kenangan. Dari waktu ke waktu, grafik pencapaian prestasi pun semakin menurun karena mereka yang diterima di sekolah itu seringkali tidak diterima di sekolah lain. Selain itu, persaingan penerimaan murid antarsekolah pun semakin ketat. Untuk menjaga stabilitas, petugas yayasan seringkali tidak mau ambil pusing. Mereka akhirnya menerima siapa pun agar kuota dapat terpenuhi. Sayangnya, keputusan itu tidak pernah diimbangi oleh keinginan untuk memperbaiki atau menambah fasilitas studi.

Meskipun begitu, saya sangat senang dapat berjumpa dengan para murid di sana. Saya beruntung dapat bertemu dengan kebengalan dan kenakalan yang mereka tampilkan.Saya dapat belajar lebih banyak untuk menjadi seorang guru yang sabar, yang mau mendengarkan, dan yang mau berproses bersama. Meskipun pada awalnya, saya jengkel pada tingkah dan perangai mereka, saya masih dapat melihat celah dan harapan yang indah di sana. Toh bersama mereka pun, saya dapat menjumpai persahabatan yang indah sebagaimana pernah saya jalani bersama murid-murid saya di desa. Bersama mereka saya menjalani sebuah proses komunikasi yang tulus. Tidak ada pamrih. Tidak ada kepentingan di balik itu. Saya sungguh dapat memahami kerinduan hati mereka untuk disapa dan diperhatikan. Mereka merindukan figur orang tua yang mampu membimbing dan melindungi mereka dari badai dan taufan kota metropolitan yang bertubi-tubi.

Pengalaman bersama mereka membimbing saya pada proses refleksi bahwa tiada satu pun anak yang ingin masa depannya buram dan gelap. Tiada satupun anak yang ingin dibuang dan diasingkan jauh dari keluarga dan masyarakatnya. Tiada satupun anak yang ingin disakiti atau dibenci. Sebaliknya, setiap anak ingin agar masa depannya cemerlang. Setiap anak ingin agar keluarga dan masyarakat menerimanya. Setiap anak ingin dicintai dan dimiliki. Intinya, batin setiap anak ingin disejahterakan! Saya percaya jika refleksi demikian dipahami, pedagogi yang kita tawarkan bukanlah pedagogi yang semu dan artifisial. Dalam jenis pedagogi ini, originalitas batin anak didik dipasung dan bahkan ditiadakan. Pedagogi yang semu dan artifisial hanya menghasilkan robot, peniru, penjiplak, dan penjilat, bukan manusia sejati! Namun, jika originalitas batin kita rayakan, pedagogi yang kita tawarkan adalah pedagogi pembebasan dan pengharapan.

Menengok Kembali Taman Eden
Berdasarkan pengalaman saya di berbagai jenis sekolah, saya dapat mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang mampu menyelenggarakan pedagogi pembebasan dan pengharapan ini hanyalah sekolah-sekolah yang mampu menafikan kepentingan kapitalisme sebagai prioritas pertama. Namun, siapakah yang saat ini berani menafikan kepentingan itu?Siapakah yang berani melawan arus deras industri pendidikan yang telah menjamur di berbagai tempat? Adakah para guru yang bernaung di yayasan penyelenggara pendidikan seperti itu peduli terhadap pedagogi pembebasan dan pengharapan? Saya tidak tahu persis apa jawabnya.

Sekolah internasional dan nasional plus yang menjamur di berbagai daerah seringkali menawarkan metode pembelajaran yang lebih modern, temporer, dan berorientasi pada siswa. Metode-metode tersebut diadopsi dari berbagai negara yang telah berhasil menerapkankannya. Tentu saja, mengadopsi metode pembelajaran dari luar negeri bukanlah perkara yang murah. Sistem franchising membuat beberapa sekolah yang mengadopsi metode pembelajaran dari luar negeri itu harus seringkali menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Mereka harus terus memantau apakah mereka harus me-up grade kompetensi dan performance mereka atau tidak. Hal ini pun tidaklah murah. Akibatnya, sekolah-sekolah itu hanya dapat diakses oleh mereka yang beruang. Di kota besar seperti Jakarta, sekolah-sekolah demikian memiliki prestige-nya tersendiri. Keberadaan anak di sekolah tertentu menjadi cermin dari status sosial yang disandang oleh orang tuanya. Karena pola pikir seperti ini, anak seringkali dianggap sebagai sebuah investasi sebagaimana berlaku pada deposito atau asuransi! Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi originalitas batin anak. Mereka sama sekali tidak dapat belajar apapun, kecuali percaya bahwa uang dapat menyelesaikan segala hal.

Oleh sekolah-sekolah internasional dan nasional plus ini, kesejahteraan anak didik dilambangkan dengan berbagai fasilitas modern seperti kolam renang, sauna, studio musik, laptop, atau penyejuk udara. Tidak jarang pula, berbagai fasilitas yang ditawarkan menyentuh pula pada hak istimewa seperti impunitas. Murid tidak boleh dihukum, bukan karena hal itu bertentangan dengan prinsip pedagogi, tetapi karena murid adalah pelanggan yang harus diperlakukan bak raja. Tentu saja, sebagai seorang pelanggan, ia harus dijaga, diperhatikan, dan dirawat lebih daripada apa pun. Hal tadi jelas bermuara pada kepentingan industri dan bisnis pendidikan. Nah, ketika seorang guru telah menjadi abdi dari kepentingan itu, bagi saya, di sinilah krisis posisi guru bermula. Otoritasnya sebagai guru dan pendidik telah hilang.

Saya mungkin terlalu naif dalam memandang hal itu. Tapi, tidak ada masalah. Menjadi guru adalah sebuah profesi, saya percaya. Namun, saya lebih percaya bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup. Pernyataan ini tidak berarti bahwa keringat dan kerja keras guru dapat dihargai seenak perutnya. Pernyataan ini juga tidak berarti bahwa pengabdian guru dapat diperlakukan semena-mena. Dalam panggilan hidup ini, guru berusaha memberikan kabar dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Tugasnya seringkali dekat dengan tindak kenabian. Berbicara, berteriak, dan bahkan meratap agar murid-muridnya selamat. Kesejahteraan yang ditawarkannya bersifat abadi bagai sinar matahari. Bukan dalam materi yang berlimpah. Bukan dalam berbagai prestasi dan selembar ijazah. Akan tetapi, ia menunjukkan originalitas batin yang sesungguhnya dimiliki oleh manusia. Guru membuka manusia pada keindahan taman Eden yang dahulu pernah dimilikinya.Setidak-tidaknya hal inilah yang pernah saya jalani bersama para sahabat muda saya. Semoga mereka pun dapat memperlihatkan taman Eden itu kepada orang-orang sekitar mereka, seperti orang Samaria yang baik hati.

Seminggu yang Lalu


Seminggu yang lalu seorang ibu berdiri termangu di depanku. Matanya menerawang jauh. Warnanya pucat dan terlalu pedih untuk disentuh. Seolah ada hal yang sedang dipikirkannya. Seolah ada hal berat yang mengganjal pelupuk matanya. Aku mulai menjadi hantu. Kehadiranku sama sekali tidak diusiknya. Ia terlalu asyik dengan bebannya.
Seingatku, seminggu yang lalu, ia mulai mengantarkan anak ketiganya ke sekolah. Yah, hari itu hari pertama sekolah dimulai kembali. Hari pertama ketika lonceng sekolah dibunyikan setelah liburan berlalu. Anak pertama dan keduanya sudah terlalu besar untuk digandeng olehnya. Mereka malu, katanya. Maka, sejak pagi-pagi, mereka telah pergi bersama teman-teman sebaya ke sekolah.
Ibu ini adalah orang biasa, sama seperti aku dan kamu. Subuh ia sudah terbangun. Bersihkan piring sisa makan malam. Seduhkan teh panas agar suami bisa segera menyeruputnya. Menumis, menggoreng telur, dan sebagainya. Setelah beres, ia bangunkan anak-anaknya satu per satu. Mereka dibariskan menuju ke kamar mandi.
Ibu ini adalah orang biasa, sama seperti aku dan kamu. Ia bisa mengeluh ketika melihat sang suami masih terlelap dalam mimpinya. Ia bisa mengeluh ketika tidak ada satupun telur di lemari makan. Ia pun bisa mengeluh ketika air bersih hari ini habis sama sekali. Namun, ia juga bisa tersenyum bahkan terkekeh ketika buah hatinya itu berkejar-kejaran di seputar meja makan yang kosong.
Di pagi itu, seminggu yang lalu, aku masih mendengar harapan yang merdu. Ia senang karena anaknya yang ketiga akan memulai hari pertamanya sebagai seorang murid SD. Ia gembira karena anaknya akan segera mulai belajar membaca dengan lancar. Ia bahagia karena pemerintah telah menggratiskan sekolah untuk anaknya. Maka, dipersiapkanlah segala alat tulis. Beberapa buku tulis yang dibeli sang suami disusunnya ke dalam tas berwarna merah muda. Bukan tas baru, tapi warisan sang kakak! Namun, ibu dan anak tetap bersemangat. Seminggu yang lalu, di pagi itu, aku mendengar derap gagah anak bangsa dan ibunya!
Namun, gema derap itu ternyata hanya sebentar. Ibu ini hanyalah orang biasa, sama seperti aku dan kamu. Ia hanya dapat mengantarkan anaknya di depan pintu gerbang SD itu. Ia tidak masuk ke dalam. Tetapi, ia tidak sendiri pagi itu. Aku melihat, ada banyak ibu lain di sana. Mereka hanya berdiri. Sama seperti aku dan kamu. Termangu. Menerawang. Kamus bahasa pun tidak dapat menjelaskan apa yang sedang mereka lakukan. Bahasa yang kita gunakan terlalu sederhana untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Seminggu yang lalu, merdunya harapan telah dimatikan oleh sebuah pengumuman besar. Di depan pintu berkarat itu tertulis, “Sekolah ini gratis. Tapi, buku pelajaran harus segera dibeli di toko sebelah, (gitu lho)!” Tangan sang ibu gemetar. Tidak terbersit, kenyataan demikian harus dihadapi ketika hati sedang bermekaran. Di dalam genggaman, terselip tujuh lembar uang ribuan. Tapi, bukan untuk buku pelajaran. Pagi itu ia berencana untuk pergi ke pasar. Ia akan memasakkan ketiga anaknya sup ceker ayam. Ia berharap setelah pulang sekolah sup itu dapat segera mereka santap. Dapatkah tujuh lembar uang ribuan ini membeli buku-buku itu?
Ibu ini sama seperti aku dan kamu. Ia hanyalah orang biasa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah ia sobek pengumuman itu? Haruskah ia dobrak pintu pagar yang semakin berkarat itu? Atau haruskah ia melarang anaknya untuk bersekolah? Sebab harga buku-buku pelajaran telah melambung. Sekolah tanpa buku adalah mustahil. Begitu kata pemerintah dan penerbit buku. Ibu ini hanya termangu. Sup ceker ayam menjadi mimpi yang mahal. Warnanya pucat dan pedih untuk disentuh.