Jumat, 21 November 2008

Sang Guru dan Pohon Filicium


Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang Jebat dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan bertengkar.[1]

A. Prolegomena
Tidak banyak buku yang didedikasikan oleh seorang murid kepada guru-gurunya di masa lalu.Tidak banyak pula buku yang merekam hubungan tulus antara para guru dan murid-muridnya. Seingat saya, Edward Said, seorang profesor sastra, pernah mendedikasikan buku Orientalisme yang pernah ditulisnya secara serius kepada gurunya, Ibrahim Abu-Lughod. Isi buku itu memang tidak pernah secara eksplisit menyinggung hubungan akrab diantara mereka berdua. Namun, apa yang sebenarnya ia tulis diakui sebagai hasil diskusi yang intens dan bermuara dari semangat yang sama di antara mereka berdua. Pada satu kesempatan, Edward Said mau tidak mau harus bersaksi tentang persahabatan yang telah mereka jalin selama 50 tahun. Ia tampaknya merasa tidak betah untuk tidak membeberkan betapa sang guru memiliki andil yang besar dalam karir akademis dan kehidupan pribadinya sekaligus. Ketika sang guru meninggal, Edward Said menulis sebuah eulogi, My Guru, yang sangat menyentuh.[2] Selain itu, saya juga mencatat bagaimana peran murid-murid Ferdinand de Saussure, bapak Linguistik Modern, dalam menerbitkan catatan-catatan kuliahnya yang belum sempat dibukukan dalam A Course in General Linguistics. Tidak ada satupun di antara mereka yang pernah mengklaim bahwa isi buku itu merupakan hasil penafsiran mereka. Mereka sepakat bahwa segala hal yang tertulis adalah hasil pemikiran orisinil sang guru.


Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata Seman bukanlah buku yang ingin menampilkan refleksi teoretis seperti kedua buku tadi, walaupun di sana-sini ditemukan banyak nomenklatur yang beraroma sains. Laskar Pelangi, bagi saya, adalah sebuah refleksi batin dalam bentuk naratif. Refleksi batin itu berbicara kepada saya tentang kekuatan harapan dan semangat untuk berbagi dalam persahabatan. Untuk menyampaikan hal itu, Andrea memilih pendidikan sebagai jalan masuknya. Namun, pendidikan yang dimaksud dibicarakan dengan cara yang berbeda. Ia tidak dibicarakan sebagai sebuah bentuk politik peradaban massa yang di dalam dirinya sendiri seringkali bertentangan. Ia juga tidak dibicarakan sebagai sebuah masalah nasional yang harus segera dipikirkan karena buku ini memang tidak berpretensi sebagai sebuah buku kritik sosial. Pendidikan lebih dipandang secara awam sebagaimana kita menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Papan nama sekolah, senyum ramah para guru, kelakar dan canda para murid, bangku kelas yang usang dan reot, atau raport yang seringkali berwarna merah menjadi beberapa bentuk yang paling kongkret di dalam refleksi itu. Inilah yang menjadi kekuatan utama dalam Laskar Pelangi. Bukankah beberapa hal itu pula yang seringkali kita kenang setelah kita meninggalkan masa lalu? Selain keluarga, dimanakah lagi kita pertama kali mulai menjadi pribadi yang paling beruntung?

Oleh karenanya, saya berpikir mungkinkah Laskar Pelangi dapat kita sebut sebagai sebuah teks narasi retrospektif dan nostalgia sekaligus bagi kita, para pembacanya, untuk memandang wajah pribadi-pribadi yang berpengaruh dalam hidup kita? Mungkinkah, melalui buku ini, kita dapat menghargai perjumpaan kita dengan masa lalu sebagai salah satu akar pohon kehidupan kita yang tidak tergoyahkan? Dapatkah, melalui buku ini pula, kita membangun sebuah citra perjumpaan antarpribadi yang lebih manusiawi di masa depan?

B. Antara Panggilan Hidup dan Tragedi
Selain berbicara mengenai persahabatan akrab yang pernah terbangun di masa lalu, buku Laskar Pelangi ini didedikasikan oleh pengarangnya kepada kedua gurunya di masa lalu; Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor. Kedua nama itu tidak hanya hadir di halaman persembahan buku ini, tetapi memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam bab-bab pertama. Tampaknya, Andrea memiliki segudang memori tentang mereka. Ia bahkan mampu melukiskan raut wajah serta perangai mereka satu demi satu secara terperinci. Ia mengetahui bedak tepung beras yang terpoles di wajah Ibu Muslimah, silabus pelajaran budi pekerti yang disusunnya, wajah Pak Harfan yang mirip dengan aktor Tom Hanks dalam film Cast Away, atau kaus dalamnya yang berlubang di beberapa bagian.

Kita pun mungkin memiliki memori yang hampir sama dengan Andrea. Ada banyak guru yang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Mereka pernah menjadi figur-figur yang kita idolakan lebih daripada selebritis super manapun. Mereka hangat dan selalu menjadi tempat yang teduh untuk berkeluh kesah bak pohon filicium. Mereka datang bagaikan pelita yang menerangi segala gundah ketika tiada seorang pun yang peduli. Namun, di balik kehangatan itu, mereka dapat berubah menjadi monster yang bengis, yang siap mencabik-cabik kita dalam ketidakberdayaan. Mereka pun dapat menjadi suara yang tidak pernah kita inginkan dalam hidup ini. Kita memuji dan menyanjung mereka. Namun, tidak jarang kita kecewa kepada mereka karena ternyata mereka bukanlah sepenuhnya dewa. Mereka tetaplah manusia biasa.

Dalam kehidupan nyata, kita memahami bahwa Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah beberapa pribadi yang telah menggantungkan hidupnya sebagai guru. Kita memahami bahwa untuk menjadi seorang guru, seseorang tidak hanya harus memenuhi segala syarat akademis, melainkan juga semangat. Ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang guru pertama kali, ibu saya pernah mengatakan bahwa semangat ini terlalu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Secara ideal, semangat itu hanya dapat terlihat pada segala praksis kehidupannya sehari-hari, selain di depan kelas. Akan tetapi, menurut beliau, seorang guru bukanlah gambaran dari manusia sempurna tetapi manusia yang ingin selalu menyempurnakan dirinya. Semangat demikian juga menandakan bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup. Panggilan ini tentu saja dapat semakin tersemai jika keputusan batin yang matang pun mendasarinya. Tanpa keputusan seperti ini, menjadi guru hanyalah sebuah tragedi. Dalam Laskar Pelangi, tragedi seperti itu tampaknya tidak tersurat secara langsung pada kehidupan Ibu Muslimah atau Pak Harfan.

Namun, secara diam-diam, kita dapat melihat bahwa Andrea ingin menunjukkan bentuk tragedi lain yang dialami oleh kedua gurunya itu. Andrea tampaknya mahfum benar dengan kondisi kedua gurunya yang berkarya pada sekolah Muhammadiyah di Belitong. Sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan berbasis agama itu mustahil kita bayangkan sebagai model sekolah yang memiliki basis finansial yang sangat kuat seperti sekolah nasional plus atau sekolah internasional yang menjamur pada masa kini. Sejauh ini saya memahami bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh yayasan berbasis agama seperti Muhammadiyah bagi umat Muslim atau Kanisius bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang tidak mendasarkan dirinya pada orientasi bisnis. Pendidikan yang digerakkan dalam yayasan-yayasan tersebut biasanya bersifat karitatif. Dalam sebuah penelitian etnografisnya mengenai sepak terjang Muhammadiyah di Indonesia, James L. Peacock pernah mencatat bahwa misi utama Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam adalah untuk kembali kepada kebenaran yang pokok dari ajaran agama dan tradisi Islam sesuai dengan Al Qur’an dan Hadith Nabi.[3] Gerakan ini disimbolkan dengan semboyan “Amar Makruf Nahi Mungkar”. Misi ini, salah satunya, diimplementasikan dalam pendidikan bercorak pesantren dan madrasah (terpisah menurut jenis kelamin). Baru setelah kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah mengembangkan pula sekolah campuran dengan gaya sekolah pemerintah yang tingkatannya sejajar dengan SD, SMP, dan SMA[4]. Sekolah-sekolah itu tidak hanya terdapat di pusat kota tetapi justru lebih banyak ditemukan di daerah-daerah marginal yang seringkali tidak dapat tersentuh oleh transportasi dan instrumen peradaban modern. Sebagai sebuah karya karitatif, tampaknya, sekali lagi, sekolah Muhammadiyah tempat Ibu Muslimah dan Pak Harfan berkarya pun tidak dapat berspekulasi untuk menjamin kesejahteraan mereka dengan stabil. Hal demikian dapat dipahami karena yayasan harus menanggung biaya operasional sekolah-sekolah lain yang tersebar. Tidak jarang, sebagaimana terjadi pula pada yayasan Kanisius, banyak sekolah yang terpaksa ditutup.

Kesejahteraan menjadi tragedi lain yang tampaknya harus ditanggung. Bukankah hal ini pula yang sedang ramai-ramai diteriakkan oleh para guru swasta, khususnya yang berkarya dalam yayasan pendidikan berbasis agama? Dari permasalahan ini pula, kita dapat membayangkan bagaimana nasib guru-guru seperti Ibu Muslimah atau Pak Harfan yang berkarya di tempat-tempat marginal, yang minim dari berbagai fasilitas peradaban modern. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru yang mengampu berbagai pelajaran harus diupah hanya dengan 15 kilo beras sebulan. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru di pedalaman yang setiap hari harus berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk bertemu dengan murid-murid yang ia sayangi. Kita pun dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru yang tidak pernah bisa membelikan buku pelajaran untuk anaknya sendiri, dan seterusnya.

Secara sadar atau tidak, pernyataan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa justru semakin menegaskan bahwa guru-guru kita memang tidak pernah sejahtera. Sejak masa kolonialisme, guru-guru kita memang selalu diplot sebagai pribadi-pribadi yang nrimo, pasrah apa adanya. Tidak boleh berteriak. Tidak boleh protes. Tidak boleh menuntut. Tidak boleh berkata “tidak!”. Seolah-olah guru adalah makhluk yang lepas bebas dari segala tuntutan materi dan duniawi. Hal demikian mungkin terjadi karena selama beberapa waktu kita memandang istilah guru dekat dengan dunia rohani yang berkuasa untuk mendidik dan menjaga keimanan umat (sic!). Saya mengamati bahwa di lingkungan pemerintah dan yayasan swasta pada masa kini ada kecenderungan untuk mengganti istilah itu dengan istilah lain, seperti pengajar, penilai, tutor, fasilitator, administrator, atau bahkan manajer kelas. Saya tidak tahu apakah pergantian istilah ini juga merupakan semacam strategi untuk semakin menghargai guru sebagai sebuah profesi yang profesional atau semacam dalih untuk meredam semangat guru sebagai agen perubahan sosial. Bukankah dengan pergantian istilah itu, posisi guru justru bergeser menjadi sekedar karyawan atau pekerja dalam sebuah perusahaan? Istilah-istilah pengganti itu secara diam-diam telah melenyapkan peran guru sebagai pendidik.

Kalau boleh jujur dengan keadaan masa kini, faktor kesejahteraan memang menjadi prioritas pertama bagi guru, terutama bagi mereka yang bekerja di wilayah terpencil dan yang bernaung di bawah yayasan pendidikan berbasis agama. Peran mereka tidak dapat kita nafikan dan kita katakan kecil bagi bangsa ini. Tanpa mereka yang pernah berupah 15 kilo beras sebulan, kita yakin bahwa tidak pernah muncul seorang Andrea yang mampu mengenyam pendidikan S-2 di Inggris, mendengarkan The Doors, atau menikmati hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire. Namun, apakah faktor kesejahteraan itu memang menjadi satu-satunya harapan yang dirindukan oleh para guru?

C. The Politic of Recognition
Selama beberapa tahun ini, saya tidak menyangkal bahwa faktor kesejahteraan adalah penting. Namun, faktor tersebut bukan menjadi hal yang terpenting. Pengakuan terhadap guru secara sosial dan budaya adalah hal yang lebih harus kita perhatikan. Sejauh ini peran guru hanya diakui oleh masyarakat dalam adagium guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau guru sebagai pelita dalam kegelapan. Itu pun dilakukan ketika hari jadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dirayakan dalam upacara bendera. Selebihnya, semboyan itu semakin sumbang dan tenggelam berbarengan dengan maraknya tawuran, aksi contek-menyontek di ujian akhir, seks bebas di kamar mandi sekolah, penyalahgunaan narkoba, dan delikuensi moral yang dilakukan oleh oknum guru.

Saya juga tidak dapat menutup mata bagaimana guru masa kini tidak memiliki bargaining power dalam menentukan kebijakan sekolah. Guru bisa dengan mudah dikomplain, dikooptasi, dan disomasi oleh para orang tua murid melalui kepala sekolah hanya karena mereka merasa telah membayar iuran sekolah dengan jumlah rupiah atau dollar yang tinggi. Sekolah menjadi arena kepentingan di antara para orang tua murid dengan dalih-dalih edukatif. Hal demikian belum ditambah dengan beban kurikulum dan tugas administrasi yang semakin berat. Sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kita laksanakan, misalnya, ternyata membuat guru-guru kita pontang-panting setiap hari dalam menyiapkan instrumen dan bahan pengajaran bagi murid-murid. Ketidakmampuan seorang guru dalam mengikuti sistem kurikulum yang berlaku membuat dirinya pasrah untuk ditinjau kembali atau bahkan diragukan berdasarkan penilaian kompetensi yang seringkali subjektif. Penilaian kompetensi guru seperti ini jugalah yang pada akhirnya dikhawatirkan oleh mereka yang berkarya di wilayah terpencil atau marginal. Bagaimanakah mungkin seorang guru yang berkarya di wilayah Sorong, Papua, memiliki kompetensi teknologi yang sama dengan rekannya yang bekerja pada sebuah sekolah unggulan di Jakarta?

Pengakuan bahwa profesi guru berbeda dengan profesi karyawan atau pekerja mutlak dilakukan. Hal ini bisa diimplementasikan dengan memunculkan kembali tugas utama dan citra guru sebagai pendidik. Citra ini harus diperbaharui dari dalam dan dari luar dirinya sendiri sehingga guru tidak digambarkan sebagai seorang intelektual yang bodoh, pongah, dan lugu, seperti yang tercitrakan dalam sebuah iklan shampoo di televisi swasta. Iklan itu menggambarkan seorang guru sebagai pribadi yang panik, yang tidak berbuat apa-apa, kecuali menyeka keringatnya ketika ia bersama murid-muridnya terjebak dalam sebuah lift. Apakah iklan ini juga merupakan gambaran aktual bahwa guru-guru kita tidak pernah bisa menyelesaikan segala persoalan pendidikan bersama? Apakah permasalahan pendidikan pun harus diselesaikan oleh para selebritis kita? Apakah untuk hal ini , kemampuan guru harus semakin ditingkatkan terus-menerus? Kendati begitu, tampaknya penilaian terhadap kompetensi guru pun harus disesuaikan dengan berbagai kondisi secara kontekstual dan selaras dengan bargaining power yang dimiliki guru secara otonom.

D. Pohon Filicium: Sebuah Memori dan Janji
Buku Laskar Pelangi, bagi saya, adalah bentuk pengakuan Andrea secara sosial terhadap guru-guru yang dicintainya. Berkali-kali dalam beberapa bab berikutnya, ia selalu menyatakan bahwa tanpa kehadiran mereka, ia tidak pernah merasa beruntung. Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah inspirator awal yang memberikan pondasi mendasar dalam kehidupannya. Saya rasa, refleksi ini menjadi bentuk pengakuan yang paling jujur. Dengan kesaksian seperti ini, kita diajak kembali untuk menghargai setiap usaha yang pernah dilakukan oleh para guru kita di masa lalu. Kita tidak hanya diajak untuk mengingat rona wajah mereka ketika mereka marah terhadap kita, melainkan juga senyum yang menyejukkan tatkala kita jatuh. Kita diajak untuk memandang para guru bukan sekedar sebagai peristiwa yang dapat berlalu, melainkan sebuah memori dan momen inspiratif dalam kehidupan kita. Ini adalah pengakuan sederhana yang dapat kita lakukan. Untunglah, Andrea mengerti hal itu. Ia mengerti bahwa Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah pohon filicium tua rindang yang meneduhinya.

******

[1] Andrea Hirata Seman, Laskar Pelangi, PT Bentang Pustaka: Yogyakarta, 2005, hlm. 64.

[2] Edward Said, “My Guru”, dalam LRB letters page (14 Januari 2002).

[3] Vide. James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia, Penerbit Cipta Kreatif: Jakarta, 1975, hlm. 25.

[4] Ibid., hlm. 62

Sejenis Monster yang Tersembunyi dalam Pendidikan


Kegilaan selalu dilarang.
(Michel Foucault)

A.Belajar pada Abdullah
Agaknya pada saat ini, kita memiliki kesulitan untuk membayangkan bagaimanakah situasi pendidikan tradisional di negeri ini lima sampai tujuh abad yang lalu. Kendati begitu, hal ini tidak berarti bahwa kita tidak mampu memeriksa situasi tersebut dengan serius. Untuk mendapatkan perspektif tentang hal yang kita permasalahkan ini, mereka yang ingin memahami masa kini dari sudut pandang masa lalu, dapat berhutang pada Hikayat Abdullah, tanpa menafikan berbagai hasil penelitian mendalam yang telah dilahirkan oleh pakar pada abad ini.
Hikayat yang ditulis oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ini seringkali diklasifikasikan sebagai karya sejarah (Melayu). Tampaknya di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dapat dianggap sebagai data dalam penulisan sejarah. Salah satu bagian yang menjelaskan bagaimana pendidikan tradisional itu dilaksanakan, secara langsung berhubungan dengan pengalaman penulisnya sendiri dalam rangka mempelajari bahasa Arab. Abdullah mencatat bahwa pada masa itu bahasa Arab memiliki nilai prestise yang lebih tinggi daripada bahasa Melayu. Bahasa Arab adalah bahasa surga dan bahasa peradaban, sedangkan bahasa Melayu adalah bahasa pergaulan dan bahasa pasar (lingua franca). Posisi demikian membuat bahasa Arab menduduki tempat terhormat secara sosial dan mengimplikasikan posisi bahasa Melayu yang cukup marginal. Karena label ini, berbondong-bondonglah para pribumi belajar ke pusat-pusat pendidikan bahasa Arab di daerah Melayu agar penghayatan keimanan mereka semakin mendalam dan mereka mendapat pengakuan sosial yang lebih baik di mata masyarakat.
Kendati bertujuan demikian, Abdullah mengakui betapa mempelajari bahasa Arab pada masa itu tak ubahnya seperti memasukkan dirinya dalam teror yang tiada kunjung sirna. Menurutnya, hampir setiap hari ia harus menerima dengan pasrah teguran-teguran yang menyakitkan dan hukuman yang sangat keras dari sang guru. Tidak jarang ia harus mendapatkan bogem mentah, tendangan, dan siksaan fisik lainnya. Lebih daripada itu, Abdullah juga bersaksi bahwa hukuman-hukuman tersebut sepertinya dilaksanakan melalui alat-alat tertentu yang sanggup membuat si pembelajar menjadi lebih cepat dalam menguasai bahasa Arab, seperti penjepit lidah, cambuk berduri, atau tiang gantungan. Beberapa alat penyiksa itu dibuat agar si pembelajar dapat semakin berkonsentrasi dengan studinya itu. Sebagai konsekuensi, setiap kesalahan adalah usaha untuk menghancurkan diri sendiri.
B. Tata Etika dalam Pendidikan
Apa yang dinyatakan oleh Abdullah dapat kita analisis dalam dua artikulasi. Di satu pihak, sebagai sebuah fiksi, informasi yang dibawa oleh Hikayat Abdullah itu bisa jadi hanya merupakan sekumpulan narasi hiperbolis sebagaimana sering ditampilkan dalam cerita-cerita berjenis balada. Di lain pihak, sebagai sebuah fakta sejarah, informasi ini bisa menjadi data yang dapat dipergunakan sebagai inspirasi historiografi dalam memandang pendidikan tradisional. Di sini kita dapat bersikap sesuai dengan cara pandang kita masing-masing dalam menemukan kebenaran dalam teks. Hikayat Abdullah hanya menjadi semacam miniatur atas suasana pendidikan tradisional di daerah Melayu yang sejak awal ternyata telah tercampur dengan praktik kekerasan.
Berbicara mengenai pendidikan tidak pernah terlepas dari institusi yang disebut sebagai sekolah, akademi, atau perguruan tinggi. Tampaknya institusi demikian sebagai bentuk pendidikan modern, jelas berbeda dengan pendidikan tradisional dalam segala hal. Bagi kita, sekolah, akademi, atau perguruan tinggi bukanlah hasil rekacipta yang dirancang oleh nenek moyang kita, melainkan warisan budaya para bangsa penjelajah dan penjajah yang perlu diakui. Akan tetapi, ide mengenai kedisplinan berstudi dan kepatuhan serta rasa hormat kepada pengajar tidak pertama-tama sepenuhnya berasal dari bangs-bangsa itu. Kedisplinan dan kepatuhan adalah tata etika yang sejak semula, secara sadar atau tidak, telah menjadi semacam konvensi dan keutamaan yang diwariskan turun-temurun. Bahkan pada masa Majapahit, tata etika ini menjadi pusat tujuan dan makna dari pendidikan itu sendiri sebagaimana terdapat dalam naskah Wrhaspatitattwa. Meskipun begitu, dari sini pun kita masih dapat melihat ketimpangan struktural yang dibawa oleh pendidikan model itu. Tata etika masih menjadi milik yang eksklusif bagi mereka yang berada di wilayah kuil dan kerajaan.
Tidak dipungkiri bahwa institusi-institusi pendidikan modern yang telah disebutkan di atas merupakan ruang sosialisasi bagi penanaman nilai setelah rumah. Sebagaimana kompetisi dalam pendidikan tradisional yang diarahkan kepada nilai-nilai kebijaksanaan budi, keluhuran hati, dan terkendalinya segala nafsu badaniah, pendidikan modern pun ingin melaksanakan cita-cita tersebut. Namun, sayangnya, sejauh pengamatan saya, usaha itu belum berjalan dengan semestinya. Di negeri ini, institusi pendidikan hanya berfungsi sebagai tempat penampungan dan ruang tunggu bagi para calon tenaga kerja. Situasi ini pun menyebabkan struktur hubungan antara pihak sekolah dengan anak-anak didiknya berada dalam relasi tindakan rasional bertujuan alias hubungan antara pembeli dengan penjual. Pihak sekolah sekali waktu hanya menjadi tempat penitipan anak dari para orang tua yang mendambakan kehidupan ini berputar selama lebih dari 24 jam. Sementara itu, anak-anak didik hanya menjadi sumber investasi modal yang potensial dan aktual dari pihak sekolah atau yayasan.Situasi chaos seperti itu, jika dibiarkan begitu saja, justru akan menghalangi dan bahkan menutupi cita-cita luhur pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

C. Teror : Monster yang Tersembunyi
Di pihak lain, cita-cita ini ternyata mengalami paradoks ketika institusi pendidikan berkembang menjadi ruang yang terselubung bagi terjadinya tindak kekerasan yang sangat laten. Disadari atau tidak, institusi ini berubah menjadi sebuah asilum sosial ketika menerapkan peraturan-peraturan sebagai legitimasi dari kekuasaan, bukan sebagai sarana demi keteraturan itu sendiri. Hukuman sebagai bentuk konsekuensi lebih ditekankan daripada penghargaan sebagai bentuk konsekuensi yang lain. Di sini hukuman menjadi teknik untuk melegalkan kekuasaan (pemerintah) sekolah kepada anak didik.
Semakin banyak peraturan yang diberikan dan ditetapkan, semakin banyak konsekuensi negatif yang disediakan. Tidak jarang bila dari keadaan itu, banyak anak didik yang merasa tidak kerasan, tidak feel at home di sekolahnya sendiri dan berkeputusan untuk menjadi pemberontak yang tergabung dalam kelompok tawuran. Padahal, sebagaimana yang pernah saya alami di Jakarta, banyak di antara mereka yang memiliki harapan untuk menyandarkan diri pada perlindungan sekolah, termasuk kasih sayang dan perhatian dari para guru sebagai orang tua. Mereka berpaling kepada sekolah karena rumah sudah tidak dapat menyediakan hal itu. Rumah hanya menjadi ruang kosong, tempat kesepian dan tangis menjadi satu. Bahkan tidak jarang, bagi beberapa siswa yang menjadi nomaden karena broken home, sekolah, dalam arti fisik dan batin, menjadi satu-satunya rumah yang dapat diandalkannya.
Peraturan-peraturan sekolah yang terlalu ketat biasanya terjebak dalam sebuah permainan mengenai mitos kedisplinan. Disiplin selalu identik dengan keseriusan dan keteraturan dalam menaati dan mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Tubuh selalu menjadi sasaran dari kedisplinan ini. Pada tubuh, kedisplinan berurusan dengan hal-hal eksternal seperti penampilan, warna rambut, warna sepatu, atau ikat pinggang. Tubuh yang disiplin adalah tubuh yang sesuai dengan “aturan permainan” yang telah ditetapkan. Hal ini pun berlaku pada fenomena pergaulan di luar sekolah yang telah dibentuk oleh MTV dan para idola masa kini. Semuanya ditafsirkan dalam satu kerangka yang sama sehingga tidak dimungkinkan terjadinya dialog dan budaya demokrasi. Orang harus segera dipaksa untuk menyetujui keputusan tersebut tanpa diberi kesempatan untuk memilih atau membuka mulutnya untuk berargumentasi.
Pernyataan demikian tidak berarti bahwa segala peraturan sebaiknya ditiadakan. Tidak ada pretensi untuk menolaknya. Peraturan tetap harus dijalankan sejauh peraturan itu sendiri mampu menjadi alat refleksi, bukan sebuah sentensia (keputusan atau hukuman) yang dapat memunculkan tirani kata-kata yang bersifat monolitik. Peraturan dan hukuman hendaknya membuat si pelanggar menjadi orang yang diselamatkan, bukan orang yang dihukum. Itu berarti bahwa peraturan dan hukuman selalu memiliki makna keselamatan yang harus disingkap. Tanpa makna yang ingin dibangun dalam batin, peraturan hanya menjadi sesosok monster yang menakutkan dan teror belaka. Oleh karena itu, dalam peraturan, haruslah terbangun interaksi dan komunikasi yang santun, yang dipahami oleh masing-masing pihak dalam konteks yang sama dan berusaha tidak melakukan objektifikasi terhadap seseorang daripada yang lainnya.
Dalam peraturan yang cenderung diskriminatif dan berat sebelah, yang tidak mengindahkan segi-segi fungsi komunikatif yang santun antara kedua belah pihak, kekerasan dapat terjadi dengan sangat mudah. Kekerasan di sini biasanya dimulai dengan kekerasan yang bersifat verbal. Kekerasan ini bersifat menyakiti hati dan melemahkan mental. Si pelanggar seolah-olah dianggap sebagai seorang pesakitan akut atau pendosa yang tidak terampuni. Ia tidak diberi kesempatan untuk melakukan apologi. Keadaan demikian tidak akan pernah membuat dirinya menjadi murid yang dapat merefleksikan tindakannya, tetapi justru membuatnya menjadi murid yang bebal dan penuh kebencian. Di sini prinsip bahwa kekuasaan akan melahirkan anti kekuasaan harus sungguh-sungguh dipahami.
Tindak kekerasan verbal ini sebenarnya tidak lebih ringan daripada aksi kekerasan fisik. Aksi yang terakhir itu biasanya merupakan salah satu strategi yang cukup taktis untuk menundukkan tubuh. Jika tubuh dapat dikuasai, mental dan pikiran pun dapat dikuasai dengan lebih mudah. Namun, aksi kekerasan fisik ini tetap saja tidak dapat dibenarkan karena dapat melukai fungsi-fungsi alat tubuh dan menimbulkan dendam yang sangat mendalam. Secara sosial, ketertundukan tubuh ini merupakan simbol dari kehilangan harga diri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kerap terjadi perlawanan fisik yang tidak terduga dari si pelanggar kepada pihak yang menyakitinya. Semakin ia direpresi atau ditekan, semakin besar pulka keinginannya untuk melakukan aksi balik. Jadi, sebenarnya, dalam proses hukuman itu sendiri, ada semacam perebutan dominasi yang laten di antara kedua belah pihak untuk menjadi satu-satunya penguasa tunggal. Pernyataan ini saya temukan setelah saya menyaksikan dua sequel film Silence of The Lambs, yaitu Hannibal dan Red Dragon. Di sana, pihak yang terhukum pun sebenarnya berusaha untuk menjadi pihak penghukum ketika ia sedang dihadapkan pada komunikasi yang sebenarnya.
D. Komunikasi-Interaksi dan Proses Demokrasi
Saya menyadari bahwa di masa lalupun saya pernah menjadi korban tindak kekerasan di sekolah, baik dalam tingkat verbal maupun fisik. Yang pasti saya tidak berdiri sendiri. Masih ada banyak orang lain yang mengalami hal serupa. Namun, hal itu seringkali hanya menjadi semacam kenangan dan dimaknai sebagai sebuah suvenir dari masa lalu. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh pihak sekolah itu berada pada jaluryang benar dan semestinya dalam rangka menaklukkan kenakan-kenakalan. Padahal apakah kenakalan itu? Bukankah ini sifat kritis yang mampu menunjukkan bahwa kedisplinan itu sebenarnya adalah nomenclature yang tidak pernah dapat dimengerti oleh anak manusia? Sayangnya, retorik ini tidak pernah ada dalam masyarakat kita. Masyarakat kita mudah terbungkam dan membungkamkan dirinya. Walhasil,tetap dipercaya bahwa kenakalan merupakan tindak pemberontakan dari keteraturan, sikap indispliner, dan bukti dari kurangnya pengetahuan. Kenakalan itu sendiri, secara sosial, sudah disepakati sebagai sifat devian yang harus dilawan dengan segala cara. Hukuman adalah salah satu cara bagaimana meredam perangai itu.
Kita tidak mengetahui secara pasti tata etika apakah yang berlaku pada masa kini. Rasa-rasanya tata etika yang kita imani sepuluh tahun yang lalu sudah usang dan bahkan menghilang. Orang sudah tidak dapat membedakan lagi apakah ia berada di tempat yang gelap atau terang, Semuanya menjadi relatif. Dalam kondisi ini segalanya bisa terbalik dan menghilang begitu saja. Peradaban ini telah digiring menuju suatu tempat asing oleh kekuasaan tertentu. Orang sudah tidak memerlukan ritual cuci tangan sebelum makan karena sudah ada sachet yang mampu membersihkan kotoran hanya dalam waktu sekejap. Anak-anak kecil sudah tidak mempedulikan dan mengiyakan nasihat orang tua sehingga dengan mudah menyiram wajah mereka dengan air kotor.
Justru dalam keadaan ini, kekuasaan bisa bersembunyi di mana saja karena seperti yang dinyatakan oleh Michel Foucault, seorang pemikir dari Perancis, kekuasaan itu menyebar dalam setiap ruang kehidupan manusia, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sekolah adalah lembaga potensial yang memungkinkan terjadinya keadaan demikian. Ia bisa sangat represif dan bahkan menimbulkan teror, tidak hanya bagi anak didik tetapi juga bagi para guru itu sendiri. Jika sudah terjerat dalam sistem kekuasaan yang despotis, maka satu-satunya cara untuk menghadapi keadaan itu adalah saling memperkuat interaksi, saling membuka komunikasi, dan saling percaya. Interaksi dan komunikasi akan mengatasi kesenjangan pengertian dan penafsiran yang berbeda-beda. Dikatakan demikian karena di sini otentisitas pluralitas penafsiran tetap dijaga karena merupakan bentuk keunikan yang dapat saling melengkapi. Dalam hal ini, pihak sekolah mau tidak mau harus membuka sekat-sekat yang menghambat hubungan dengan peserta didik dan antarrekan pengajar, seperti keinginan untuk selalu dihormati, pengagungan senioritas, otoritas,dan kebenaran absolut monotafsir. Hal demikian pun berlaku sebaliknya. Ada waktu-waktu tertentu bagi para peserta didik yang telah dianggap mampu menyuarakan kehendaknya untuk duduk satu meja dalam menentukan keputusan yang berhubungan dengan kegiatan bersama. Di sini prinsip kepercayaan menemukan jalannya. Disadari atau tidak, ini adalah langkah-langkah hidup berdemokrasi yang harus ditapaki dengan kesabaran yang sangat tinggi. Komunikasi-interaksi, keterbukaan, kepercayaan, dan partisipasi yang diusahakan terus-menerus ini, minimal, dapat mencegah timbulnya usaha-usaha destruktif di antara kedua belah pihak.

*******

Kamis, 13 November 2008

Di Balik Kemenangan untuk Semua


Hope" is the thing with feathers – That perches in the soul – And sings the tune without the words –And never stops at all.- Emily Dickinson


Beberapa waktu lalu tim sepak bola IICS menjadi raja lapangan futsal di sekolah Central, Jakarta Barat. Luar biasa, perjuangan murid-muridku itu! Baru tahun ini aku melihat binar kegembiraan nyata yang terpancar dari mata mereka. Rutinitas sekolah yang padat mungkin telah merantai mata mereka sedemikian rupa sehingga mereka lupa bahwa warna cerah mata menampilkan kejujuran hati. Kemenangan 5-3 atas Sekolah Sevilla yang bertarung tak kelah hebat itu, seolah-olah mau mengingatkan kembali hubungan antara kegembiraan dan kejujuran.

Hari ini, perlu diakui bahwa wajah pendidikan kita sudah tidak mampu menampilkan kegembiraan dan kejujuran itu secara bersamaan. Pasalnya, pendidikan yang berlaku sekarang adalah pendidikan topeng. Dalam jenis pendidikan ini, anak tidak diajak untuk menemukan dirinya secara otentik atau original, tetapi didorong semakin dalam untuk menjadi orang lain. Didorong semakin dalam untuk berpikir sebagai konsumen, bukan sebagai kreator atau pencipta. Pelajaran sains, matematika, dan ekonomi hanya menjadi salah satu alat justifikasi yang paling rasional bahwa seolah-olah manusia hidup dalam logika hitung-menghitung. Mengapa sains, matematika, dan ekonomi tidak pernah didaratkan sebagai sebuah paradigma filosofis dalam memandang kehidupan?


Bukankah, pendidikan hari ini secara diam-diam telah memisahkan sekolah dengan kegembiraan? Melalui tugas-tugas yang terlampau banyak (dan mungkin juga tidak perlu karena tidak mengandung nilai pendidikan etis), keceriaan masa muda murid-murid dirampas dan diganti dengan banyaknya les tambahan dan beban kurikulum yang semakin rumit. Sekolah menjadi salah satu penjara kreatif yang diciptakan oleh orang modern sebagai pusat pelatihan para pesuruh, para buruh, dan para pegawai yang dapat ditundukkan oleh sejumlah sistem rasional dalam masyarakat modern. Sekolah bukan lagi menjadi sebuah ruang bermain yang memungkinkan setiap siswa dapat menentukan langkah dan keputusan hidupnya secara lebih mandiri dan terbuka. Celakanya, selama kurang lebih 8 jam, semua orang tua berpikiran untuk menyerahkan jiwa anak-anak mereka ke dalam kungkungan sistem destruktif demikian.

Pertandingan sepak bola seperti yang dilakukan oleh murid-muridku adalah salah satu usaha untuk menemukan kegembiraan yang sejati. Ketika mereka berlari, energi hidup pun diletupkan. Ketika mereka berteriak, energi kemarahan pun tersalurkan. Ketika mereka bekerja sama, energi solidaritas mereka dilontarkan. Ketika mereka dapat memenangkan pertandingan, segala energi persaudaraan terkristal di sana. Inilah yang disebut kegembiraan yang sesungguhnya. Tidak ada topeng. Tidak ada yang perlu ditutupi. Semuanya terbuka seperti keringat yang menetes di tubuh mereka.

Aku begitu kagum dengan kemampuan murid-murid dalam bekerja sama. Jujur, hal ini seringkali tidak dapat aku lihat jika aku berada di dalam kelas bersama mereka. Satu per satu karakter murid tiba-tiba berubah. Bak manusia matang yang sedang berjuang demi mempertahankan dignity-nya, mereka mengemban tanggung jawab yang cukup besar agar tim mereka dapat menang atau setidak-tidaknya tidak kalah secara memalukan.

Sayangnya, dalam pendidikan topeng, olah raga sudah dipandang tidak lebih baik daripada sains, matematika, atau ekonomi. Olah raga seolah-olah hanya menjadi sebuah bidang yang dikhususkan bagi mereka yang gemar okol daripada akal. Stereotipisasi demikian sudah terlanjur popular di tanah pertiwi ini. Akibatnya, memang dapat diduga bahwa olahraga kita tidak pernah maju. Mengapa? Jawabnya, karena tidak pernah ada dukungan yang kondusif dari dunia pendidikan sekaligus. Pendidikan kita telah mendiskriminasikan pelajaran olah raga sebagai pelajaran kelas ketiga, setelah pelajaran bahasa, sastra, dan seni musik. Secara membabi buta, lapangan olahraga sudah terlanjur dimaknai sebagai ruang para idiot yang gagap teknologi. Akibatnya, sampai hari ini pun kita tidak pernah bisa menghargai pertandingan olahraga sebagai ruang komunikasi yang paling tulus antara atlet dan .Olahraga hari ini hanya menjadi satu sumber pendapatan bagi para korporat kapitalis dunia hiburan. Pada akhirnya, kita hampir tidak pernah bisa berlaku elegan sebagai penonton atau pemain.

Kapankah Indonesia dapat menjadi negara seperti Brasil dan Argentina yang menjadikan olahraga sebagai spirit bangsa yang tidak dapat ditolak atau diasingkan? Bukankah melalui olahraga, kita justru diajak untuk menghargainya sebagai sebuah sarana komunikasi kemanusiaan yang paling universal, selain musik dan film?

Bermain bola sebagai satu tim adalah sebuah kenangan yang manis bagi kaum muda. Kita tidak hanya berbicara tentang kegembiraan, melainkan juga kejujuran hati. Aku yakin bahwa murid-muridku telah mengalami hal itu ketika mereka bekerja-letih dan bekerja sama di lapangan itu. Aku gembira karena Ricky, Hezranov, Nicky, Matheus, Natanael, Kevin S, Kevin O, McKinley, Rafael, Toni, Timothy, atau Reinhard telah membuktikan bahwa mereka adalah generasi baru yang mau berani jujur dengan kegembiraan dalam kebersamaan mereka. Aku bangga pada mereka. Proficiat! Salut!Tuhan memberkati.

Jumat, 07 November 2008

Menjelang Eksekusi; Mengapa Harus Diingat?


Awal Agustus 2006 adalah momen berdarah bagi keluarga Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.Setelah mendekam selama 5 tahun di penjara Petobo, Palu, mereka bertiga divonis mati oleh pemerintah Indonesia.Konon, mereka adalah dalang kerusuhan sosial di Poso. Konon, mereka juga adalah otak di belakang tragedi kemanusiaan di daerah itu. Gereja Kristen dan Katolik, sejak awal telah menyuarakan bahwa pemerintah seharusnya tidak bersikap tebang pilih pada kasus ini. Menurut data dan fakta yang mereka kumpulkan, dalam kerusuhan itu, ketiga orang Flores ini ditemukan tidak bersalah. Bahkan mereka sesungguhnya sama sekali tidak terlibat dengan kasus tersebut. Mereka berada di Poso secara kebetulan sebagai para pedagang.Namun, pemerintah sudah terlanjur diam. Pemerintah tidak mau mendengar seruan lagi. Pantang bagi pemerintah untuk menjilat ludahnya sendiri.


Beberapa tahun setelah itu, sungguh terbukti bahwa langkah pemerintah dalam menghukum mati Tibo dan teman-temannya adalah sebuah kekeliruan besar yang cukup memalukan. Meskipun dilakukan secara diam-diam, pelaku-pelaku sesungguhnya mulai dimunculkan. Pelaku-pelaku sesungguhnya mulai diperiksa. Pelaku-pelaku sesungguhnya mulai disidangkan. Namun, Tibo dan kawan-kawan telah menjadi korban yang sungguh sia-sia. Nasib mereka naas, tanpa grasi dan dukungan kemanusiaan. Mereka hanya menjadi kambing hitam yang sungguh tidak berdaya.


Hari ini,dua tahun setelah eksekusi Tibo dan kawan-kawan, kita semua sedang was-was menantikan kapan para pelaku Bom Bali I itu dihukum mati. Meski ada sejumlah reaksi pro dan kontra dalam masyarakat, hukuman mati, konon memang menjadi keniscayaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah jauh-jauh hari. Namun, sampai hari ini pun, tidak ada tanda bahwa hukuman kepada para pelaku akan dilakukan. Selama beberapa hari, media televisi yang secara gencar meliput hal ini telah membentuk sejumlah opini publik. Beberapa opini secara tajam menunjuk ketidaktegasan dan kegentaran pemerintah dalam melakukan eksekusi. Secara gamblang polisi dianggap takut karena eksekusi itu akan menimbulkan dampak sosial yang tidak kondusif bagi umat Islam di Indonesia. Beberapa opini mempertanyakan kembali kebenaran penyidikan polisi bahwa Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron adalah dalang dari tragedi di Bali. Ketiga orang ini pun dipandang sebagai bagian dari skenario pemerintah untuk memberikan kesan yang baik di depan mata Amerika, Australia, dan PBB.

Mungkinkah nasib ketiga orang ini-yang tampaknya justru telah menjadi "folk heroes" bagi sebagian orang-serupa dengan nasib ketiga orang yang dieksekusi dua tahun lalu? Lepas dari sejumlah atribut atau simbol agama yang terlihat sangat memusingkan dalam peristiwa itu,kita tampaknya perlu mengkaji kembali seberapa akuratkah eksekusi mati dapat dipergunakan sebagai simbol dari tegaknya hukum?Seberapa dalamkah makna eksekusi mati yang diterapkan oleh pemerintah dapat menggerakkan hati kita untuk membenci kejahatan dan menegakkan keadilan?

Berabad-abad yang lalu, ketika monotheisme ditegakkan di padang tandus Yehuda, ada Sabda yang mensyaratkan hukum balas dendam atau Vendetta sebagai bentuk keadilan. Mata ganti mata. Hidung ganti hidung. Telinga ganti telinga. Bukan berarti, Sabda itu mau merayakan sebuah ritus kekerasan dalam tubuh umatnya. Namun, di balik syarat itu, ada sebuah pengajaran bahwa orang diajak untuk tidak bersikap brutal dan membabi buta. Seperti kondisi sekarang, karena mencuri seekor anak ayam, si maling tewas mengenaskan dengan tubuh terbakar karena siraman bensin dan api massa. Jelas, ini gaya para kanibalis yang pongah!

Hari ini, kita semua sebagai satu bangsa sangat bersimpati dengan keluarga Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron. Di layar televisi, beberapa wajah yang haru mengingatkan kita bahwa kehilangan adalah sebuah petaka yang tidak dapat dilupakan dengan mudah. Entah mereka sungguh bersalah atau tidak dalam tragedi Bali I itu, kita memang tidak pernah mengetahui. Mereka bertiga sudah terlanjur basah masuk ke dalam hukum kausalitas manusia yang angkuh. Hari ini, memahami eksekusi mati tampak lebih rumit daripada memahami kehendak Tuhan. Sebab, bagaimanapun, eksekusi mati adalah sebuah produk masyarakat modern yang paling rasional untuk memaknai keadilan di tengah-tengah rasa benci dan rasa iba.Namun, seberapa jauhkah hal ini mampu menampilkan wajah keadilan sebagai cermin dari karya Tuhan?

Kamis, 06 November 2008

Mr.Obama, Selamat!


Setelah menjalani rally kampanye yang cukup melelahkan, Obama kini telah terdaftar sebagai penumpang pertama Air Force One. Entah apakah ia akan duduk di tempat favorit Bush Senior, Bush Yunior, atau Reagen, kita tidak pernah tahu. Namun, bagi masyarakat dunia, kemenangan yang diperolehnya secara mutlak itu menjadi simbol yang baik bahwa demokrasi yang patah akan berdiri lagi. Kemenangan Obama adalah kemenangan multikulturalisme, bukan hanya di Amerika Serikat, tetapi negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Pertama kali, Amerika cukup terhenyak ketika seorang pria yang identitas rasnya terlalu berwarna-warni- Afrika, Amerika,Jawa, dan juga Menteng- sesumbar menantang Bush, yang pada saat itu sedang terluka oleh sejumlah kritik pedas di dalam rumahnya sendiri. Orang ini memang sudah tidak muda lagi. Namun, bagi Amerika, sesumbar pria berkulit hitam ini mengingatkan mereka pada semangat para pendiri bangsa yang tertulis dalam pita "E Pluribus Unum." Dalam bahasa kita, “Bhinneka Tunggal Ika”, sebagaimana tercengkram dalam burung Garuda Pancasila. Pria ini, dengan sangat lugas, meneriakkan asas dasar kehidupan masyarakat Amerika yang telah tergerus dan menghilang karena ultra-patriotisme dan ultra-nasionalisme yang palsu, a la keluarga Bush.

Obama mewakili generasi yang resah dengan sejumlah image tentang American Dream yang menyesatkan. Ia resah dengan image Amerika sebagai polisi dan tentara dunia. Ia resah dengan kebijakan pemerintah yang terlalu boros, hanya demi peperangan yang bodoh. Meskipun ia terlahir dan besar dalam kultur yang berbeda, ia dapat menjangkau inti kehidupan Amerika yang melting pot. Dan ia tahu bahwa ia adalah salah satu unsur atau partikel penting dalam bejana itu. Ia memberi warna. Ia menghidupi. Ia bahkan kini menciptakan "ruang interpretasi" yang baru bagi masyarakat dunia tentang Amerika, tentang demokrasi, tentang multikulturalisme, dan tentang kebebasan yang sama di antara penghuni bumi.

Perjuangan Obama dalam menampilkan kembali sosok Amerika yang muda, yang bergairah, yang damai, yang terbuka, dan yang peduli sangat relevan dengan kondisi bangsa kita. Bukan hanya karena Obama pernah diikat oleh sejumlah temannya di sebuah pohon asem yang kini telah tumbang di Menteng. Bukan persoalan sentimen bahwa ia pernah "mampir" untuk minum air dan makan hasil bumi tanah pertiwi ini. Namun, Obama telah memberikan sebuah pengajaran yang cukup penting bahwa harapan akan kondisi dan suasana yang baru harus terus digemakan, disuarakan, diteriakan, dan kalau perlu dipertahankan dengan mati-matian. Dalam sebuah biografi yang ditulisnya jauh-jauh hari sebelum pemilihan Presiden, Audacity of Hope, Obama memberikan pesan ini secara jelas.

Saya salut. Mr Obama, you are right! Bangsa kita memang juga sedang berharap. Meskipun dibalut dengan rasa cemas dan was-was, bangsa ini pun sedang menanti perubahan. Perubahan menuju kesejahteraan. Perubahan menuju keteraturan. Perubahan menuju Harmonisasi. Begitulah, antara harapan dan perubahan selalu ada korelasi yang sedemikan lekat.

Rakyat Amerika boleh berbangga hati. Para pendukung setia Obama mungkin sedang giat meletupkan tutup botol bir mereka. Sorak-sorai pasti terdengar di mana-mana. Semoga, ini bukan sekadar "dagelan" atau "soap opera", sebagai obat penawar rasa sakit setelah krisis ekonomi yang mulai memuncak akhir-akhir ini. Sekali lagi, Mr Obama, selamat. May God bless you and America!

Jumat, 23 Mei 2008

Satu Nama Saja!


Influence, like those other categories, is subjective. Inilah kalimat kedua yang ditulis oleh Richard Stengel, Managing Editor majalah TIME untuk edisi 100, The Most Influental People in the World (http://www.time.com/). Memang menarik untuk menyimak mengapa majalah ini punya tradisi untuk menghadirkan 100 orang yang paling berpengaruh di dunia. Ternyata, seperti kata Stengel, TIME lebih meyakini bahwa pengaruh lebih kuat daripada kekuasaan. Kekuasaan, entah tampil dalam bentuk kepandaian atau kekayaan, mungkin dapat menindas. Namun, pengaruh lebih menjadi jembatan emas yang natural bagi potensialitas manusia.

Ternyata, hampir semua profil tokoh yang dikupas TIME ditulis pula oleh tokoh-tokoh yang mumpuni di bidang lain. Misalnya, Madeleine Albright, mantan Sekneg Amerika Serikat, menulis profil Vladimir Putin. Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia, bertutur tentang profil sahabatnya, George W. Bush. Secara menarik, profil pasangan Brad Pitt dan Angeline Jolie dibicarakan oleh George Clooney. Sedangkan Michelle Obama, istri Barack Obama, mengupas profil Oprah Winfrey Meski tampak seperti testimoni, profil-profil tokoh itu jadi terlihat manis bak surat cinta kekasih di pagi hari.Membaca profil 100 tokoh adalah juga membaca kisah persahabatan dan komunikasi yang unik.

Namun, apakah hanya atas nama persahabatan, semua profil yang ditulis harus tampak positif ? Adakah di dalamnya terpetik pula sedikit kekhawatiran bahwa suatu saat persahabatan itu menjadi sebuah tirani yang tidak dapat mereka kendalikan? Dan pada akhirnya mereka tidak dapat mengenali lagi apa artinya menjadi sahabat?

TIME memang tidak ingin menampilkan paradoks ini. Pasalnya, membicarakan orang dengan kacamata positif ternyata jauh lebih berharga. Jauh lebih bermartabat. Meski ada semacam kepanikan kecil di sana, paradoks itu adalah sebuah risiko yang wajar. Meski perlu diakui bahwa pengaruh cenderung membimbing orang pada satu garis yang sama dan lurus. Secara diam-diam, karena pengaruh, akhirnya orang pun dapat pula tidak kritis. Dapat tidak mawas diri. Dapat melupakan dirinya dan tidak dapat memandang dengan jernih bahwa dalam pengaruh, tetap ada persilangan berbagai prinsip yang berbeda.

Akan tetapi, dalam tataran ideal, pengaruh seharusnya menghasilkan aksi nyata. Pengaruh baik menghasilkan kebaikan. Pengaruh juga harus selalu menginspirasi potensialitas. Homerus menginspirasi Shakespeare muda untuk menulis tragedi. Karena itu, sesungguhnya, pengaruh tidak dapat menyesatkan, apalagi membunuh, dan menghancurkan. Pengaruh adalah mesin penggerak peradaban. Konon, tanpanya, kita ini bergerak seperti burung tanpa sayap.

Dua tahun sudah, masyarakat Lapindo tidak bergerak dalam detak peradaban. Sayap-sayapnya patah. Eksistensinya tidak dibingkai lagi dalam sepucuk surat cinta. Mereka terkatung-katung tanpa pengharapan.Harga diri mereka mulai terkikis dan kandas. Karena penderitaan, masa depan anak-anak mereka mulai menjadi ilusi dan omong kosong yang terus dirayakan dalam media massa.

Sampai hari ini, pemerintah belum juga tergerak untuk segera menyelesaikan derita mereka dengan cara yang lebih bermartabat. Seolah-olah Lapindo menjadi sebuah gugusan lain di luar peta bumi nusantara. Bukankah alamnya telah diperkosa habis-habisan oleh mesin-mesin industri? Bukankah peluh mereka tertetes untuk menyejahterakan segelintir orang di Jakarta? Maka tak heran bila kepedihan mereka hanya di jatuh di bawah kaki mereka sendiri. Dua tahun Lapindo seakan-akan tidak punya pengaruh yang signifikan dalam agenda nurani pemerintah.

Selama itu pula, kita semua bisa mencatat bahwa Lapindo adalah sebuah testimoni kegagalan sebuah negara dalam menjamin kesejahteraan dan keselamatan penduduknya. Tidak ada aksi nyata, selain ratusan himbauan agar mereka bersabar. Tidak ada aksi nyata, selain hukuman bagi para demonstran. Rasanya, sudah habis kata untuk mengatakan ini. Enough is enough! Pemerintah sudah keterlaluan!

Dari 200 juta orang di negara ini, ada ratusan dan bahkan ribuan orang di gedung parlemen. Saya ingin bertanya apakah Stengel dan TIME mampu menambahkan satu nama saja anggota parlemen sebagai tokoh ke-101. Ya, satu nama saja yang mampu beri harapan untuk bersyukur bahwa kita bukan bangsa pengecut dan biadab! Bahwa kita bangsa yang peduli. Bahwa kita bangsa yang tidak tuli. Tuli budi dan nurani! Ya Tuhan, satu nama saja!

Kamis, 22 Mei 2008

Mengapa Kita (Harus) Selalu Kalah?


Rusia bergemuruh. Skor 7-6 mengakhiri pertemuan Manchester United dan Chelsea dalam final Liga Champions tadi malam. Banyak orang sudah menduga bahwa Rooney dan kawan-kawan akan kembali mempermalukan Chelsea. Sekali lagi, dengan langkah gontai pasukan Avram Grant ini harus menundukkan kepala.

Di depan televisi, kita mungkin bisa melihat suasana yang mengharu biru itu. Kita bisa lihat Christiano Ronaldo menangis karena tendangannya tertepis. Tapi kita juga bisa lihat supporter The Blues termehek-mehek setelah babak-babak menegangkan itu. Kita bisa berempati bahkan bersimpati. Namun, apapun namanya, televisi tidak pernah membuat kita tulus dalam merasa.

Kemenangan Manchester United mungkin mampu mengusir sedikit rasa kecewa kita atas peristiwa beberapa jam lalu. Yah, beberapa jam lalu, kita melihat bagaimana supporter Indonesia (harus) menundukkan kepalanya sekali lagi di stadion Gelora Bung Karno. Kita telah berlaku sebagai tuan rumah yang sangat baik, dengan membiarkan para pemain muda Bayern Muenchen melesatkan bola bundar ke gawang Markus Horison. Senioritas para pemain (pilihan) kita diterjang badai blietzkrig. Tanpa ampun, kesebelasan kita dicukur. Skor 5-1 hanya menjadi sebuah panggung sandiwara pembantaian yang memilukan

Kekalahan Indonesia seakan menambah sesak problem masyarakat kita hari ini. BBM akan naik sedianya akhir Juni. Tapi, sudah beberapa hari ini, harga di pasar tradisional, toh sudah merayap naik. Tadi pagi, Kompas (http://www.kompas.com/) bahkan melaporkan harga susu bayi mulai mencuat sekitar Rp.15.000-Rp.20.000! Kita khawatir, setelah BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok semakin tidak terkendali. Anarkisme mulai mengendap-endap!

Padahal baru saja, publik, melalui kotak ajaib itu, disuguhi sebuah perhelatan yang sangat megah. Tiga Diva, Agnes Monica, tarian nusantara, drum band, unjuk kekuatan aparat, pencak silat, dan penyalaan obor mewarnai tekad “Indonesia Bisa!” Dalam sambutannya, Bapak SBY menyatakan bahwa tekad ini dikumandangkan sebagai respon kita atas100 tahun Kebangkitan Nasional. Dalam tekad yang membahana itu, kita sedang berimajinasi bahwa negara ini bisa bangkit dari keterpurukan.

Kita berimajinasi bahwa kita bisa kembali menjadi Macan Asia, penguasa ekonomi dan hasil alam. Akan tetapi, imajinasi kita mungkin terlalu berlebihan. Joko Suprapto, penemu energi air laut pengganti minyak dan bensin, yang kita gadang-gadang sebagai penyelamat bangsa dari krisis BBM, hilang lenyap. Tanpa bekas. Konon kabarnya dia diculik, entah oleh siapa. Dia mesti diculik karena penemuannya itu dianggap membahayakan banyak pihak. Seperti kata seorang teman, “Joko bisa menjadi perusak tatanan kosmologis negara modern!”

Maka tanda seru dalam tekad itu tampaknya memudar dalam beberapa hari ini. Tekad itu hanya menyisakan tanda titik yang panjang bak pertanyaan dalam esai atau pilihan ganda. Banyak orang di jalan-jalan mulai berseloroh bahwa tekad itu bisa tampil seperti soal-soal Ujian Nasional berdasarkan kondisi kini.
“Isilah titik-titik berikut ini. Indonesia bisa ……
a. melarat, b. menangis, c. terluka, d. bersedih.”

Kita tidak tahu apakah Christiano Ronaldo dan kawan-kawan yang kita idolakan itu mampu memahami suasana batin 200 juta masyarakat Indonesia. Apakah 2,5 triliun yang mereka peroleh pun dapat kita hitung dengan air mata kemiskinan bangsa yang sudah mulai mengering ini?

Kita ingin Manchester United mengerti bahwa bangsa ini ingin pula tampil dalam pentas dunia seperti mereka. Namun, apa lacur, kekalahan demi kekalahan terus mendera. Dan kita sudah terlanjur menjadi bangsa yang terlalu mempan pada penderitaan. Menundukkan kepala dan berjalan dengan langkah gontai.

Bukan Angkatan Setengah Hati! Sebuah Ode untuk "Barudak 12 UN".



Satu hari setelah Ujian Nasional Bahasa Indonesia diadakan, saya dikejutkan oleh berita yang tidak enak. Sebuah sekolah di Jawa Timur dikepung oleh sejumlah pasukan antiteroris Detasemen 88! Konon kabarnya, para aparat telah mencium sebuah konspirasi besar dalam menyukseskan Ujian Nasional. Baru kali ini, saya membaca, senjata-senjata mesin otomatis milik aparat diacungkan kepada sejumlah guru yang ingin anak didiknya lulus walafiat!

Jarak antara kita dengan berita yang tidak menyenangkan itu mungkin beratus-ratus kilometer. Namun, jarak kepanikan kita terhadap Ujian Nasional ini hanya sejengkal jari. Begitu dekat. Saya, yang ditunjuk oleh sekolah sebagai wali kelas 12 UN, sejak awal sudah merasakan detak itu. Ujian Nasional seolah-olah menjadi lonceng kematian bagi kita semua.

Pada awalnya di dalam kelas ini terdapat enam belas siswa dan satu penggembira. Jujur, hanya tiga orang siswa yang saya kenal, Rendy, Senna, dan Denica. Saya kenal Rendy sejak sekolah masih berada di Puri Indah. Hampir setiap hari kami selalu berpapasan, terutama ketika hendak ke kamar kecil. Sementara Senna, saya kenali hanya dari poster-poster yang dipasang oleh sekolah sebagai sarana promosi dan propaganda. Sedangkan Denica sudah sungguh sangat terkenal di antara guru sebagai siswa “ngeyel” dan langganan SAM.

Namun, setelah dua-tiga bulan, di dalam kelas ini sudah terbentuk sebuah konspirasi canggih antara murid dengan guru! Tentu saja, bukan untuk melakukan makar terhadap negara, tetapi sukses bersama dalam Ujian Nasional. Ini kehendak yang sangat mulia, meski perlu diakui, punya risiko yang cukup besar. Konspirasi ini membuat murid dan guru saling mengenal. Tidak sulit untuk mulai menghapal nama atau kebiasaan masing-masing. Pertemuan yang intens dan super instant ini menciptakan sebuah gaya komunikasi yang bersifat simbiosis mutualisma. Pasalnya, waktu selalu mengejar dan detak kepanikan semakin hari semakin terasa dalam dada kami!

Seturut jalannya waktu, jumlah young gunners yang bertahan tinggal empat belas. Dua orang teman telah memilih jalan lain. Namun, bukan berarti tanpa masalah. Beberapa orang IPS mau tidak mau harus bergabung dengan teman-teman IPA. Ini jelas kasus yang pelik dan berisiko. Namun, the show must go on! Saya dibuat trenyuh oleh persaudaraan kalian. Aura kebersamaan telah menyelamatkan harapan yang mulai kandas. Salut!

Kini, tinggal menunggu sejumput waktu! Kerja keras kalian telah diaktualkan. Doa-doa pun telah dipanjatkan dengan sepenuh hati. Angkatan ini sudah mau ber-peregrinasi bersama Tuhan Yesus menuju Golgota. Tidak ada teologi sukses dalam kebangkitan, tentunya! Semoga kabar gembira akan terekam dalam hape kalian, tanggal 14 Juni 2008, nanti. Sukses selalu, saya doakan. Tuhan memberkati.

Jumat, 16 Mei 2008

Menguber Kebangkitan


Tadi malam Tim Uber kita menang! Satu hadiah yang cukup mengharukan setelah 10 tahun terpuruk dalam cercaan publik. Kita patut acung jempol untuk Pia dan teman-teman. Mereka berlelah bukan hanya untuk sebuah piala melainkan juga sebuah pengakuan. Inilah yang akan dibuktikan. Bahwa negara ini tidak sekadar dipenuhi oleh para supporter anarkis. Bahwa negara ini juga punya bukti. Bahwa negara ini adalah negara sehat, punya tradisi untuk berprestasi.

Konon kabarnya, negara sehat pun punya tradisi untuk mengangkat nasib rakyatnya dari keterpurukan. Keluar dari keterpurukan itu adalah nama lain dari kebangkitan. Nah, sebentar lagi, hari Kebangkitan Nasional kita peringati. Bagi sebuah negara yang baru merdeka, usia 100 tahun kebangkitan tampak luar biasa gagah. Namun, kini banyak orang mulai mencibir. Seratus tahun tidak berarti apa-apa. Tidak pernah ada kebangkitan, sesungguhnya. Negara ini sudah terlalu lama mati. Ia hanya didera oleh ilusi kebangkitan yang semu.

Pada saat yang sama, banyak warga mulai khawatir dengan kehidupannya. Harga BBM yang konon segera melonjak telah menyergap impian mereka tentang kebangkitan yang sesungguhnya. Mereka mengharapkan kebangkitan seperti mereka mengharapkan turunnya harga-harga susu, tempe, atau kretek. Apa lacur, krisis ekonomi tahun 1993 telah meradang, menerjang jauh sendi-sendi kehidupan mereka. Kini, mereka hanya hidup bagai zombie. Otak mereka telah hancur. Tetapi tubuh terus bergentayangan. Minta dipenuhi rasa lapar dan rasa hausnya.

Seratus bukan sekadar angka, tentunya. Meski tampak sebagai angka sempurna, seratus, bagi kita tetap simpan enigma yang membingungkan. Sesungguhnya, pada tanggal 20 Mei itu, kebangkitan macam apakah yang sedang kita peringati? Sekadar memperingati kelahiran sebuah organisasi yang jelas-jelas mendukung ekspansi Ratu Belanda? Doktrin sejarah mungkin lebih ampuh dalam menjawab. Konteks masyarakat yang didera oleh kolonialisme yang berkepanjangan, membuat mereka terjebak dalam ilusi untuk bangkit, untuk berdiri dari penindasan. Mereka memang butuh momen. Mereka butuh ruang untuk mengkolektifkan impian itu. Namun, momen pun bukan sekadar ruang. Meski aroma kolektif tercium di sana, ruang ini punya efek jangka panjang yang tidak terduga. Bukankah kita mulai menggugat?

Seratus adalah angka romantisme. Angka ideal. Angka yang memang diharapkan. Namun, sejauh sebagai angka, seratus tetap menyimpan harapan yang tidak pernah terkatakan. Ia hanya tercekat di antara kerongkongan para pahlawan tanpa nama yang tidak terkuburkan secara layak. Seratus adalah angka impian. Di sana kita mulai menyimpan rencana-rencana, entah untuk seratus tahun ke depan. Sementara itu, orang sudah tidak dapat berbuat apapun. Akhir bulan ini, mereka harus bangkit. Entah untuk menolak harga BBM. Atau, entah, untuk bersemadi dan bermimpi kembali tentang kesejahteraan yang akan datang seratus tahun ke depan. Sanggupkah kita meng-“uber”-nya? (Bangkit tidak bangkit, maju terus Tim Uber!)

Jakarta, 16 Mei 2008

Rabu, 14 Mei 2008

Di depan Fatmawati


Dalam periuk waktu
tanganku tersungkur
patah,
pecah!

Sebilah kebohongan
hujam derai cemara
yang tergantung
pada patung
masa lalu

Andai ribuan nadar
telah tembusi kabut
langkahmu tak akan sepi.
Aku terima kau
seperti butir-butir narwastu
telungkup pasrah
telanjang
di kaki kuil

Kita telah lelah.
Senyum palsu
memasung,
merobek fantasi
yang datang
bersama rintik hujan.

Jalanmu terlalu
pekat
hingga aku
tak bisa
lekat

Dalam periuk waktu
tanganku tersungkur
patah,
pecah!

Jakarta, 14 Mei 2008

Senin, 12 Mei 2008

Mencari Kembali Kriteria Independen Seni

“Art is not genuine art until it has thus liberated itself ”
-Hegel



1. Prolegomena
Dalam setiap zaman, tidak dapat dipungkiri bahwa seni seringkali menampakkan kecenderungannya untuk menjadi sosok yang otonom, mandiri, unik, dan eksklusif dari bidang-bidang yang lain. Sebagai buah dari proses imajinasi dan semangat creatio, kecenderungan itu seringkali menyebabkan keberadaan seni dibedakan dari aktivitas kehidupan sehari-hari yang wajar kita sebut sebagai aktivitas ekonomi, misalnya. Hal demikian dapat kita tengok dalam kerangka Marxisme klasik bahwa seni hanya menduduki sisi superstruktur yang menjadi bagian dari ide-ide abstrak dan tidak berguna bagi pengembangan mode of production. Produksi seni dan produksi ekonomi menjadi dua kutub yang saling berbeda. Akan tetapi, secara historis, kemandirian ini ternyata memberikan implikasi yang cukup paradoks.

Tidak jarang, kemandirian ini ternyata mampu membuat seni menjadi monumen prestise yang cukup arogan. Karena sifatnya yang seringkali dibahasakan sebagai “kehalusan budi”, “imajinasi luhur”, dan “pembentuk peradaban”, keberadaan seni pada masa lalu (misal: Renaissance) pernah sangat dihormati dan bahkan seringkali menjadi syarat mutlak bagi kurikula kepriyayian para noble men. Tanpa seni, orang dianggap tidak beradab (barbar). Tanpa seni, tidak pernah ada peradaban. Semangat seni untuk seni yang pernah berlaku pada abad pertengahan menjadi pertanda yang lain bagaimana kemandirian yang dimaksud itu dipuja dalam kerangka Narcicis. Kemandirian seni, tidak dapat dipungkiri, pun turut merayakan kejayaan kaum borjuis dan aristokrat secara tidak langsung. Karena bagaimanapun juga, secara genealogis seni muncul dan berkembang dari pusat-pusat peradaban seperti istana dan biara. Sebuah daya cipta imajinasi justru dapat disebut sebagai seni setelah ia secara khusus diakui, dinilai, dan diadopsi oleh pihak-pihak yang tentunya tidak berada di luar kedua wilayah tersebut. Seni menjadi kekayaan budaya urban yang sangat mahal. Keadaan ini dengan sendirinya malah membuat seni terlibat dalam beberapa hal yang berada di luar seni. Ia menjadi tidak mandiri. Ia berada dalam heteronomi yang timbal balik. Seni melahirkan kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat melahirkan seni. Hal ini sesuai sebagaimana pernah dinyatakan oleh Madame de Stael dan Hippolyte Taine, kedua-duanya penulis dari Perancis, bahwa karya sastra, misalnya, dinyatakan sebagai sebuah hasil seni yang tergantung pada institusi sosial, ras, zaman, dan lingkungannya.

Meskipun demikian, dalam perkembangannya, tidak dapat disangkal bahwa pencarian atas kemandirian dan otonomi dalam seni masih tetap berlangsung. Dari beberapa panorama di atas, tampaknya, kecil sekali kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita kemandirian ini. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba untuk memeriksa kembali kecenderungan seni sebagai sosok yang otonom, mandiri, alias independen. Bahkan, perlu juga diperhatikan bagaimana perkembangan kata kemandirian atau independen itu menemukan tempatnya dalam seni. Dalam hal demikian, tulisan ini mencoba untuk memeriksa ulang pemikiran mengenai kecenderungan kemandirian dalam perkembangan seni yang ada sampai hari ini.


2.Kemandirian sebagai Agony
Sejak awal, kemandirian seni itu tidak selalu datang dari dirinya sendiri. Kemandirian yang dimaksud seringkali merupakan buah dari pengasingan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang menganggap seni sebagai musuh masyarakat. Seni dianggap sebagai sebuah anomali dan bahkan entropi dari peradaban yang meletakkan kehalusan budi dan ekspresi di luar prioritasnya, yaitu menaklukkan dan memerintah sebagaimana terlihat pada dominasi yang dilakukan oleh Sparta atas Athena. Bahkan filsuf besar seperti Plato yang sangat menjunjung ide sebagai sesuatu yang asli dalam kehidupan manusia, tidak pernah menyesal untuk mengatakan bahwa penyair adalah musuh masyarakat. Menurutnya, posisi penyair tidak berbeda dengan candu yang dapat membius masyarakat.Kemandirian seperti ini tentu saja merupakan kemandirian semu atau kemandirian yang ditentukan. Ia tidak dapat bebas untuk mencari kemandirian itu sendiri karena kemandirian yang dialami hanya merupakan sebuah conditioning. Dengan cara seperti ini, kemandirian menjadi kata lain dari pengasingan dan pengucilan seni dalam masyarakat. Seni tidak diletakkan dalam terang estetika melainkan etika. Bagi seni, hal ini adalah sebuah agony. Ia diberi status (esensi), tetapi eksistensinya tidak diakui.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk menentukan conditioning demikian. Cara pertama adalah sensor. Secara historis, keberadaan sensor semakin penting tatkala etika menjadi perangkat tegas untuk mewujudkan keteraturan dalam masyarakat. Ini berlaku setelah gerak monoteisme menemukan jalannya. Seni seringkali menjadi pihak tersangka utama yang ditengarai membawa kekacauan bagi masyarakat sebelum teknologi teradopsi dengan luas. Pandangan etika awal yang biasanya bersumber dari kitab-kitab suci itu berusaha untuk menahan laju gerak ekspresi dalam seni yang seringkali muncul dalam rupa yang sangat kontradiktif bagi traktat dogmatis itu. Padahal sebelumnya, segi-segi religiositas seringkali diekspresikan dalam seni. Kita tahu bagaimana patung berhala yang tentunya dibuat dan dipersiapkan secara estetis itu dihujat oleh para nabi sebagaimana terlihat pada perikop yang agak panjang (Kebijaksanaan Salomo, 13:10-16) tentang berhala-berhala dan pemujaannnya sebagai berikut.

10. Tetapi celakalah orang yang menaruh harapannya pada benda mati yang mendewakan buatan tangan manusia, yaitu emas dan perak, karya seni, dan gambaran macam-macam binatang, ataupun batu yang tidak berfaedah, buatan tangan zaman kuno.
11. Misalkan seorang tukang kayu menggergaji pohon kayu yang mudah dikerjakan, kemudian membuang dengan cermat seluruh kulitnya, mengerjakannya sebagai mestinya, akhirnya membuatnya jadi perkakas yang berguna bagi keperluan hidup.
12. Lalu bagian-bagian yang terbuang dari buatannya itu dipakainya untuk menyediakan makanan dan ia pun menjadi kenyang.
13. Tetapi apa yang tak berguna dari bagian-bagian terbuang itu, yang tidak ada gunanya sama sekali, yaitu sepotong kayu bengkok yang banyak bonggolnya, diambilnya dan diukirnya pada waktu terluang, dan dengan tangkas dibentuknya di waktu istirahat serta dibuatnya jadi rupa manusia
14. atau diserupakannya dengan seekor binatang yang hina. Lalu disapunya dengan sedelinggam, dimerahinya kulitnya dengan cat dan dilumasnya setiap noda yang ada padanya.
15. Lalu dibuatkannya baginya rumah-rumahan yang serasi dan ditempatkannya pada dinding serta dilekatkannya dengan paku.
16. Dijaganya pula agar jangan jatuh, sebab ia insaf bahwa patung itu tidak mampu menolong dirinya karena hanya patung sajalah itu dan memerlukan pertolongan.

Dari perikop tersebut, terlihat bahwa segala kreasi seni yang diusahakan oleh manusia dapat dinyatakan sebagai berhala. Ini dapat dipahami karena dalam pandangan monoteisme awal, kedaulatan Tuhan sebagai satu-satunya pencipta isi bumi memang sangat diagungkan. Ini juga berarti bahwa tidak ada penciptaan di luar Tuhan , dan tidak ada tuhan-tuhan lain yang diciptakan oleh manusia selain diri-Nya yang menjadi causa prima. Mungkin perikop di atas dapat dianggap sebagai teori sensor pertama yang terjadi di dunia. Akan tetapi, dalam perkembangannya kategori sebagaimana ditampakkan oleh kitab suci itu pun mengalami pelunakan. Pelunakan atas sensor ini terjadi seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai etika yang tidak hanya dipahami dalam kerangka teologi saja melainkan campur tangan filsafat yang sudah berani menolak statusnya sebagai ancillary of theology. Walaupun dalam gereja Katolik, misalnya tetap diberlakukan nihil obstat pada beberapa karya tulis sebagai penanda bahwa karya tersebut telah lolos sensor, tetapi ini pun diatur secara diplomatis agar tidak terjadi kekacauan yang dapat ditimbulkan oleh karya itu di kemudian hari.

Dalam panorama Indonesia pada masa kolonial sampai Orde Baru berakhir, kecenderungan yang sama pun dapat terlihat. Kemandirian sebuah seni dapat terelaborasi ketika ia menjadi seni yang mampu menyesuaikan dirinya dengan etika sosial dan etika penguasa. Dalam etika sosial, kemandiriannya dapat berfungsi sejauh ia tidak menampilkan gagasan-gagasan yang memancing keresahan masyarakat seperti pornografi dan permasalahan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan)[1]. Sementara itu, dalam etika penguasa, kemandiriannya terukur jika ia mau tunduk dan patuh pada asas-asas dan rambu-rambu peraturan yang telah ditetapkan oleh penguasa. Kepatuhannya secara kongkret dapat diamati jika ia tidak secara terang-terangan atau laten memberikan kritik, menghasut, atau bahkan menghujat. Dalam keadaan ini, seni diletakkan hanya sebagai penghibur masyarakat, amusement, dalam pola ranah estetika, yang tidak jarang ditetapkan pula oleh penguasa. Ini misalnya terlihat pada peri kehidupan seni yang dikembangkan oleh LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Setiap bentuk seni yang ditampilkan harus mencerminkan pandangan realisme sosialis. Akan tetapi, realisme sosialis yang dimaksud di sini pun harus sesuai dengan garis kebijaksanaan partai. Kemandirian pada akhirnya tidak diatur oleh dirinya sendiri, melainkan di luar dirinya. Untuk mencapai kemandirian seperti ini, sensor, sekali lagi, mutlak diperlukan dengan dalih etika yang telah dirasionalisasi.

Cara kedua adalah dengan didirikannya gedung-gedung kesenian dan galeri-galeri. Disadari atau tidak, kedua dimensi ruang demikian secara tidak langsung telah membawa seni pada kemandirian yang ditentukan. Kedua-duanya menjadi bagian dari strategi politik penguasa untuk mengalokasikan seni agar ia jauh dari masyarakat banyak dan hanya menjadi milik dari komunitas tertentu yang tentu saja telah terpilih dan terseleksi dengan sendirinya. Baik gedung kesenian maupun galeri secara sosiologis telah memberikan efek seleksi yang cukup kuat. Dalam peradaban borjuis, hanya mereka yang memiliki kelebihan finansial dan leisure time sajalah yang mampu menikmati karya seni seperti concerto, opera, dan mencicipi keindahan lukisan atau pahatan dari para maestro di pusat-pusat peradaban Eropa seperti di Venice, London, atau Versailles. Selain itu, dengan conditioning dalam ruang, suara-suara yang tidak enak terdengar bagi penguasa, seperti kritik atau protes sosial, hanya berakhir pada dinding-dinding bangunan tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Mozart dalam operanya yang berjudul The Marriage of Figaro [2]. Meskipun opera ini dinilai cukup berani pada masa itu (1786) untuk mengkritik kaum bangsawan, tetapi ia pun hanya berakhir di dalam panggung dan tidak dapat menghujam sanubari masyarakat di luar gedung pertunjukan satu per satu. Ia telah diredam dengan sendirinya.

Dalam gedung kesenian memang tidak ada sensor seperti yang tercantum dalam nihil obstat, tetapi gedung kesenian itu sendiri sudah merupakan bagian dari panoptikon dan mekanisasi sistem sensor yang dilakukan oleh penguasa. Tidak semua karya seni dan bentuk ekspresi seni mampu tampil di dalam gedung-gedung kesenian dan galeri-galeri. Hal seperti ini biasanya dengan mudah kita temukan pada peradaban Eropa abad ke-17. Pada saat itu pertunjukan seni yang mampu hadir dalam gedung-gedung pertunjukan adalah pertunjukan yang disewa secara khusus oleh penguasa. Tentu saja ia disewa untuk mewartakan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Inggris dalam The Siege of Rhodes. Opera yang pertama kali ditampilkan pada tahun 1656 ini merupakan perayaan besar untuk menghormati Oliver Cromwell dan sekaligus menjadi simbol kebanggaan Inggris pada saat itu.Namun, pertunjukan seni itu pun tidak selalu dimaksudkan secara politis. Ada kalanya karena kegemarannya terhadap repertoire seni tertentu, seorang penguasa sanggup menampilkan pertunjukan seni yang spektakuler sebagaimana sering dilakukan oleh Raja Louis XIII dan putranya Louis XIV. Dari sini kita dapat melihat bahwa gedung-gedung kesenian itu pada awalnya hanya diperuntukkan bagi seni-seni dan sekaligus seniman-seniwati yang mau mengikuti alur politik dan kesukaan penguasa. Seniman seperti Ludwig van Beethoven telah merasakan kegetiran, agony yang tiada terperi ketika selama beberapa tahun lamanya ia tidak dapat menampilkan komposisinya di dalam gedung-gedung pertunjukan karena telah menentang selera penguasa.

3. Kemandirian sebagai Self-Reliance
Berbeda dari yang pertama, kemandirian di sini berasal dari kepercayaan diri bahwa seni pada dasarnya merupakan sosok yang otonom, yang terlepas dari berbagai matra kehidupan yang lain. Seni mendahului eksistensi yang dimiliki oleh segala yang ada di bumi. Dalam pandangan beberapa agama arkhais, pra monoteisme, yang terdapat di Assyria dan India, misalnya, penciptaan alam semesta bahkan dilakukan ketika Sang Pengada Alam itu menari. Seni di sini pada akhirnya bukan sekedar menunjukkan ekspresi, tetapi juga mewakili sesuatu yang sublime. Seni menjadi bentuk sakral yang dengan serta merta harus selalu direpresentasikan dalam setiap pribadi. Ini berarti bahwa segala ekspresi seni adalah sah, tidak seperti yang terdapat pada kemandirian semu. Kemandiriannya seolah-olah merupakan sesuatu yang sekonyong-konyong jatuh dari langit. Pandangan demikian ternyata menghasilkan hubungan seni dengan karisma. Seorang seniman, entah ia seorang penyair atau pelukis, seringkali dianggap sebagai manusia setengah dewa. Ia memiliki karisma dan pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat.Dalam masyarakat Melayu, misalnya, keadaan demikian dapat terlihat pada penyebutan ‘pujangga’ kepada para penyair. Kata ini memiliki arti yang sama dengan ‘Kawi’ dalam khazanah sastra Jawa Kuno[3].

Kemandirian ini pun tidak terlepas dari kecenderungan pemujaan atas keindahan. Walaupun keindahan itu mengalami revolusi yang sangat cepat, tetapi tetap saja ada benang merah yang dapat ditarik bahwa keindahan itu berasal dari pandangan antropomorfis. Pandangan demikian melihat manusia sebagai proyek ideal alam yang tidak berbeda dengan dewa-dewa sebagaimana dikisahkan dalam mitologi Yunani. Antropomorfisme ini memuncak pada masa Renaissance yang menjadi tonggak dasar perkembangan sejarah dunia.

Kemandirian ini seringkali tercipta pula melalui daya kreasi yang bersifat unik. Dalam seni, selalu saja ada inovasi dan kreasi yang jauh lebih variatif. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal bahwa ada kalanya semangat zaman tertentu membuat perkembangan seni menjadi sangat seragam sebagaimana misalnya terlihat pada masa Romantik dalam musik yang berlangsung selama 90 tahun (1810-1900). Dalam rentang waktu yang tidak pendek itu, public concert, misalnya, menjadi sangat populer dalam masyarakat Eropa. Seolah-olah masa Romantik ini menjadi momen awal bagi munculnya kebudayaan populer di Eropa yang serba seragam.

Ada kalanya pula dalam suatu masa yang sama bentuk seni yang satu mendukung bentuk seni yang lain sehingga menuju kemandirian bersama. Sekilas kemandirian ini hanya menjadi kemandirian yang bersifat kompromistis di antara kedua bentuk seni itu. Namun, bagaimanapun juga. Koesksistensi dalam seni pasti dapat terjadi sebagaimana terjadi di Perancis sekitar tahun 1850-1920. Pada masa itu, perkembangan seni musik berjalan beriringan dengan gerakan Impressionis dalam seni lukis. Hal demikian, misalnya, dapat dilihat pada lembar desain program yang menampilkan lukisan Impressionistik untuk repertoire ballet L’Après-Midi D’Un Faune karya Debussy.

4. Kemandirian sebagai Counter Action
Kemandirian dapat pula merupakan efek dari perlawanan atas seni yang bersifat kanon, grand, atau mayor, baik dalam teknik maupun penampilannya. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat melihat perkembangan yang dimaksud dalam kerangka dialektika Hegel. Efek perlawanan sebagai sebuah antitesis sebenarnya mencerminkan bahwa perkembangan seni tidak lahir dari kekosongan budaya. Kemandirian seni itu tidak dapat terlepas an sich dari kerangka mimetik. Bahkan perlawanan yang dilakukan oleh seni itu pun jelas memuat aspek-aspek ideologis dari sistem simbol yang dipergunakan untuk membenarkan kepentingan sempit kelompok-kelompok tertentu. Ini berarti bahwa seni pun tidak pernah sepenuhnya selalu beraksi dalam atmosfer dirinya. Seni justru seringkali merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan di luar seni, entah politis maupun ekonomis, sebagaimana terjadi pula pada agama dan ilmu pengetahuan. Di sinilah, kemandirian seni itu pada hakikatnya tidak terlepaskan pula dari medan pertarungan dan war of position.

Saya akan memberikan contoh singkat yang cukup menarik bagaimana kemandirian seni itu seringkali harus mengalami krisis dan agony yang selalu bersifat dialektis di medan kepentingan. Contoh ini saya ambil dari dua tulisan mengenai khazanah perkembangan seni film dan seni sastra di Indonesia beberapa dekade terakhir sebagai jejak-jejak yang perlu diperiksa kembali. Tulisan pertama saya ambil dari Salim Said yang berjudul “Dari Dua Pola ke Wajah Indonesia”[4]. Dalam tulisan itu, Said menyatakan bahwa seni film di Indonesia tidak bisa secara mandiri melukiskan wajah masyarakat Indonesia karena selalu terjadi krisis interest di dalamnya. Sejak awal kemunculannya di tahun 1926, tatkala Hueveldop dan Krueger membentuk Java Film Company di Bandung, seni film di Indonesia hanya menjadi komoditi dagang. Ini semakin terlihat ketika modal pembuatan film di Indonesia ditangani oleh orang Tionghoa seperti Tan’s Film Coy. Dikatakan bahwa sebagai orang Timur Asing pada masa itu, tidak banyak yang diharapkan oleh orang Tionghoa untuk membuat film yang memiliki keterlibatan sosial apalagi politik, kendati pada masa itu iklim pergerakan nasional sedang berada di atas angin. Oleh karena itu, segi komersial akhirnya menjadi alasan dan tujuan yang tidak dapat terelekkan. Namun, setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail sebagai putra pribumi memulai suatu tradisi yang sama sekali baru dalam dunia seni perfilman di Indonesia. Ia memberikan bentuk kemandirian seni film Indonesia sebagai manifestasi dari perlawanannya terhadap komersialisasi, industrialisasi, dan kapitalisasi sebagaimana dilakukan oleh perusahaan film Tionghoa pada saat itu. Melalui Perusahaan Film Nasional yang didirikannya, film yang dibuat berdasarkan cerita-cerita yang mencerminkan kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat Indonesia. Dari sudut ini, Said menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail memiliki homology dengan gerakan Neo Realisme Italia yang lahir sebagai reaksi atas pola Hollywood yang mementingkan segi komersialisasi dan yang hampir tidak memberikan kesempatan berekspresi pada si pembuat film. Meskipun begitu, kemandirian yang dicanangkan oleh Usmar Ismail itu harus runtuh karena kekurangan modal, sikap masyarakat yang belum siap menerima kenyataan tentang dirinya sendiri, dan sensor yang terlalu ketat. Setelah itu, seni film di Indonesia kembali lagi kepada kebiasaan lama, yaitu sebagai alat komersial.

Tulisan yang lain berasal dari Emha Ainun Nadjib tentang “Sastra Independen”[5]. Dalam tulisan itu, Nadjib melihat kemandirian berasal dari pembebasan terhadap hal-hal yang bersifat mengekang sebagaimana pernah dilakukan oleh Chairil Anwar[6]. Namun, untuk menggariskan kembali makna kemandirian yang dimaksudnya itu, Nadjib pun mempertanyakan apakah sejarah seni sastra Indonesia memiliki kaitan yang erat dan koeksisten dengan sejarah masyarakat dan negara Indonesia. Pertanyaan demikian semakin dipertajam dengan kenyataan yang terjadi bahwa konvensi seni sastra Indonesia makin menuju kepada suatu tata nilai yang cenderung membisu. Seni sastra Indonesia diproteksi dari kaitannya dengan disiplin-disiplin lainnya sehingga melahirkan suatu paradigma yang menyatakan bahwa eksistensi seorang sastrawan adalah puisi atau prosanya. Dengan demikian, keberadaan karya sastra sebagai bagian dari proses dan protes sosial ditolak seperti yang ditegaskan oleh Sapardi Djoko Damono[7], Sutardji Calzoum Bachri, dan Abdul Hadi WM dalam Forum Penyair Muda Jakarta tahun 1982. Dalam proses demikian, seni sastra, mau tidak mau, harus tunduk pada struktur-struktur kekuasaan yang melakukan conditioning yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam ruang ekspresi. Oleh karena itu, Nadjib menawarkan sebuah paradigma sastra independen yang memunculkan kemampuan untuk tetap mandiri di tengah berbagai praktik sosial dalam masyarakat dan negara. Kemandirian itu harus direpresentasikan walaupun mungkin harus bertabrakan dengan kekuatan-kekuatan yang mengitarinya.

5. Burung Tanpa Sayap
Jika dalam beberapa tahun terakhir ini, publik seni Indonesia mendengar kembali istilah seni independen dalam beberapa bentuk seni seperti film atau musik, maka itu tidak berarti bahwa segi independen yang ditampilkannya memiliki kemiripan persoalan dengan krisis dan agony dari kemandirian yang dimaksud sebelumnya. Adagium bahwa “setiap perkembangan adalah unik” harus tetap dipegang. Hal demikian dapat kita baca bahwa konsep atas kemandirian itu pada dasarnya berhubungan erat dengan diskontinyuitas. Ia tidak dapat dialurkan begitu saja dalam sebuah tata kronologis yang seragam dan bersamaan. Bahkan keberadaannya sendiri bisa jadi bukanlah sebuah evolusi atau revolusi melainkan involusi yang berputar.

Kendati demikian, kemandirian tidak harus ditinggalkan. Ia harus mengalami proses probasi, trial, percobaan dalam proses komutasinya untuk menemukan kematangannya. Sebagaimana sebuah organisme, kemandirian dalam seni pun harus mengalami pergantian musim yang seringkali tidak dapat diramalkan secara pasti. Oleh karena itu, sangat naiflah bila kita menggunakan proses generalisasi yang deduktif. Dalam hal ini, basis ilmu sosial kemanusiaan yang bersifat induktif mencoba untuk terus-menerus membaca transformasi sosial dari berbagai sudut pandang, termasuk membaca konsep kemandirian seni yang selalu berubah-ubah baik secara estetis, sosiologis dan historis. Tentu saja, sebagai sebuah konsep, kemandirian ini akan berkembang, tetapi sebagai sebuah proses probasi yang potensial, kemandirian seni ini harus selalu diaktualkan, entah sebagai perlawanan, pembebasan, partikularisasi, populisasi, atau bahkan pluralisasi. Dari panorama ini, kemandirian seni bukanlah sebuah donnè (ada begitu saja sebagai sesuatu yang sudah diberikan) atau sikap mauvaisse foi (bad faith) yang dipaksakan. Tanpa kemandirian, seni hanyalah burung tanpa sayap.

Catatan Akhir


[1] Kecenderungan ini menyeruak ketika Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai Komisi Bacaan Rakyat menetapkan beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh setiap karya sastra dan sekaligus pengarang yang berkeinginan terjun di dalamnya. Pornografi dan SARA menjadi beberapa hal yang harus dihindari, selain opini terhadap pemerintah Hindia Belanda. Belenggu karya Armijn Pane, misalnya, pernah menjadi buku yang termasuk dalam black list Balai Pustaka karena menampilkan segi sensualitas antara tokoh Tono dan Rohayah. Padahal dari kaca mata masa kini, apa yang dianggap sebagai sensualitas sebagaimana dipahami oleh Balai Pustaka dapat diperiksa kembali.
[2] Pada awalnya The Marriage of Figaro merupakan novel yang dikarang oleh Beaumarchais. Novel ini sebenarnya menyuarakan protes dan sindiran yang berasal dari kaum proletar sebagaimana diwakili oleh Figaro kepada para bangsawan dan pemerintah yang semena-mena yang diwakili oleh Count Almaviva. Dalam novel atau opera, kalimat seperti “ Count, qu’avez-vous fait pour tant de biens? Vous vous êtes donnè la peine de naitre!” (Count, apa yang telah kamu perbuat untuk kebaikan-kebaikan yang demikian banyak itu? Kamu telah mempersukar diri lahir ke dunia!”) menjadi kalimat sakti yang ditunggu-tunggu oleh pembaca atau penonton sebagai bentuk sindiran yang paling keras. Vide. Crane Brinton, Anatomi Revolusi (Jakarta: Bhratara, 1962) hlm. 85-6
[3] Pembicaraan mengenai ‘Kawi’ ini dapat dilihat pada pembahasan mendetil yang dilakukan oleh Pater Zoetmulder dalam Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta : Djambatan, 1983) hlm. 179-218
[4] Pernah dimuat dalam Prisma, 6Juni 1977, hlm. 65-75
[5] Pernah dimuat dalam Basis, Juli 1982, hlm. 259-265
[6] Ibid. Menurut Nadjib, Chairil Anwar telah menancapkan tiga tonggak penting . Pertama, pembebasan dari konvensi puisi lama. Kedua, pembebasan dari tekanan kepentingan propaganda politik. Ketiga, perjuangan menegakkan kemerdekaan kreativitas yang termanifestasikan dalam pemasyarakatan puisi dan pembebasan kata dari makna (cetak tebal dari saya).
[7] Konsensus demikian tampaknya tidak mencerminkan diri Sapardi Djoko Damono sebagai seorang penyair dan kritikus sastra sebagaimana pernah tercermin dalam tulisannya yang berjudul “ Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia; Lebah Tanpa Sengat” (Prisma 10 Oktober 1977, hlm. 51-61). Saya kutipkan beberapa pernyataannya dalam tulisan tersebut, yang sangat kontradiktif dan inkonsisten dengan pandangannya dalam Forum Penyair yang disebut Nadjib.
“Satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih sungguh-sungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya. Hanya kesungguhan itulah yang bisa menghasilkan karya yang baik. Ia harus berusaha terus untuk menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial, untuk kemudian menyusun kritiknya. Hanya dengan begitu, sastra bisa dipergunakan untuk mengukur sikap manusia terhadap persoalan masyarakat di sekitarnya” Ibid., hlm. 61

Keluarga Kristiani Pasca Reformasi dan Budaya Kasih


Keluarga Indonesia pasca reformasi tahun 1998 adalah potret keluarga muram yang sedang menderita dan berbeban sikap pesimisme. Potret demikian tidak hanya diwarnai oleh beban ekonomi yang dari hari ke hari semakin berat. Namun, juga dipertegas oleh berbagai tindak ketidakadilan dan kekerasan yang semakin marak di berbagai sektor kehidupan. Setiap hari, media massa menjelaskan situasi tersebut dengan berbagai tayangan yang membuat kita bertanya-tanya apakah manusia memang dilahirkan sebagai makhluk yang keji. Kita bertanya-tanya apakah kekerasan menjadi kodrat yang melekat dalam hidup manusia. Apakah sungguh sulit bagi manusia untuk memperoleh keadilan. Rasanya, ruang bagi kemanusiaan semakin sempit, sedangkan ruang bagi kegilaan semakin terbuka lebar. Dari sektor domestik sampai publik, manusia Indonesia seringkali tampil sebagai makhluk yang mengerikan.

Reformasi 1998 sebagai titik pijak yang disepakati secara konvensional ternyata tidak ubahnya seperti sebuah peristiwa revolusi. Tidak dapat disangkal bahwa dalam momen tersebut terhitung ratusan orang yang menjadi keganasan aparat negara dan amuk massa, termasuk mereka yang dihilangkan secara sengaja dan mereka yang menjadi korban perkosaan massal. Sayangnya, peristiwa reformasi hanya selalu dilihat sebagai sebuah proses politik menuju kehidupan berbangsa yang lebih demokratis. Kita lupa bahwa reformasi juga adalah sebuah tragedi kemanusiaan sebagaimana terjadi pula pada tahun 1965. Di sanalah kita mendengar ratap sedih beratus-ratus ibu dan istri yang menghiba kehadiran orang-orang tercinta. Di sanalah juga kita melihat tatap pedih anak-anak yang mencari belai sayang ayah mereka yang hilang. Entah apa lagi yang terjadi di sana, kemanusiaan kita benar-benar sedang digugat. Kita tidak pernah lupa bahwa kesedihan itu sungguh nyata.

Ketika luka itu masih mengangga dan belum sembuh benar, kita harus menangis sekali lagi. Teror bom merengut orang-orang tercinta dari sisi kita.Dengan dalih keselamatan akhirat, orang rela menghabisi nyawa orang. Bom yang mengguncang Indonesia itu memiliki dampak internasional sehingga kita mulai disudutkan sebagai negara pusat teroris. Hal ini diperparah pula oleh berbagai tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia dan konflik sosial di berbagai daerah yang sebenarnya telah berakar sebelum Orde Baru. Kekerasan negara dalam masyarakat Aceh, konflik antaragama di Maluku, kerusuhan di Sampit, dan anarkisme di Poso membuat sejarah kekerasan yang dilakukan oleh bangsa ini semakin panjang. Ada ribuan bahkan ratusan ribu keluarga yang harus menjadi pengungsi. Mereka harus meninggalkan kampung halaman mereka, tanpa mengerti alasan dan latar belakang yang jelas dari peristiwa itu. Yang mereka lakukan hanyalah menyelamatkan diri. Terakhir, dan mungkin bukan yang paling akhir, adalah bencana alam. Bencana alam yang melampaui batas-batas kesadaran manusia itu datang seperti maling yang tidak diundang. Tsunami merengut banyak orang di Aceh, Nias, dan Yogyakarta. Sekali lagi, keluarga Indonesia harus berkabung.

Berbagai peristiwa itu tampaknya menjadi pekerjaan rumah yang harus kita renungkan. Di tengah-tengah badai konflik antargolongan masyarakat yang berujung pada kekerasan dan di tengah-tengah ratusan ribu pengungsi yang menghuni tempat-tempat penampungan, keluarga Kristiani ditantang. Masih adakah budaya kasih di sana? Masih adakah secuil hati untuk membantu? Masih dapatkah kita memandang wajah Allah dalam berbagai penderitaan itu? Apakah berbagai tragedi kemanusiaan itu justru membuat keluarga Kristiani menjadi semakin eksklusif sebagai manusia-manusia terpilih?

Dalam berbagai keprihatinan itu, tampaknya sangat sulit bagi kita untuk membayangkan keluarga Kristiani sebagai sebuah keluarga yang dilingkupi oleh aura kekudusan sebagaimana digambarkan oleh Gereja Eropa abad pertengahan. Keluarga Kristiani di Indonesia pada hari ini pun merupakan korban dari berbagai tindak ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan dan dibiarkan oleh negara serta bencana alam. Tidak sedikit keluarga Kristiani menghuni tempat-tempat pengungsian. Tidak jarang keluarga Kristiani kehilangan orang-orang yang mereka cintai tanpa penyebab dan latarbelakang yang jelas.

Kondisi yang sangat menyedihkan ini sebenarnya dialami pula keluarga Nazareth. Namun, oleh Gereja Eropa abad pertengahan, keluarga Nazareth ini terlanjur diperkenalkan kepada kita sebagai sebuah keluarga yang tidak pernah mengalami kesengsaraan. Tradisi Natal yang selama ini kita adopsi dan kita rayakan dengan gegap-gempita telah berhasil menutup mata kita untuk memandang bahwa bayi Yesus pun lahir dalam kondisi masyarakat yang carut-marut, penuh dengan kekerasan, pengejaran, dan penganiayaan.Kita lupa bahwa Yosep dan Maria harus rela menjadi pengungsi dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka telah ditolak di tanah mereka dan bahkan sebagai pasangan mereka diharamkan oleh masyarakat Yahudi. Yosep dan Maria adalah kisah getir dari sebuah ketulusan. Maria tulus menerima kehendak Allah untuk mengandung bayi Yesus. Yosep pun tulus menerima dan menemani Maria sebagai orang yang paling dicintainya meskipun hal itu berarti bahwa ia disingkirkan oleh keluarganya yang bertrah Daud. Ketulusan inilah yang menjadi benih tumbuhnya cinta kasih yang sangat kuat dalam keluarga kecil itu meskipun mereka harus menanggung berbagai penderitaan.

Bayi Yesus nan mungil itu lahir dalam kecemasan hidup yang juga mewarnai kehidupan para gembala di sekitar palungan. Kelompok ini,dalam tradisi Yahudi, merupakan kelompok marginal yang hidupnya jauh dari centre of exellence yang dikuasai oleh para ahli kitab dan pedagang. Itulah mengapa kelahiran bayi Yesus menjadi simbol dari kelahiran sebuah dunia baru. Bersama Yosep dan Maria, Yesus belajar banyak mengenai arti sebuah penderitaan. Yesus pun belajar banyak tentang arti sebuah pengorbanan. Orang-orang yang berada di sekitar Yesus, termasuk para gembala itu, menjadi inspirasi, menjadi guru-guru awal bagiNya untuk memuliakan manusia. Memuliakan kemanusiaan berarti memuliakan kebesaran dan keagungan Allah Bapa.

Keluarga Nazareth adalah keluarga yang secara penuh mengerti dan memahami bahwa dalam penderitaan, pengejaran, dan penganiayaan itu, Allah Bapa masih menopang kehidupan mereka. Sikap untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Ilahi menjadi kekuatan utama dalam kehidupan mereka, sebagaimana mereka berdua menyerahkan Yesus kecil ke dalam Bait Allah. Tanpa harus menjejakkan kaki kita ke tanah Yerusalem sekali pun, bahkan kita sebenarnya dapat melihat bahwa inti dari keselamatan adalah penyerahan diri Yesus kepada kehendak Ilahi. Di antara berbagai pilihan yang mungkin dapat Ia lakukan, Yesus memilih penyerahan diri sebagai sesuatu yang tidak dapat dikompromikan lagi.

Masihkah berpikir bahwa keluarga Kristiani hari ini adalah keluarga eksklusif? Tentu saja tidak!Dalam masa pengejaran dan pembantaian umat Kristen di Roma, gereja memperlihatkan keberanian untuk hidup dalam penindasan, tanpa harus kehilangan semangat cinta kasih. Kita memang harus belajar banyak...