Jumat, 07 Agustus 2009

Jacko, Surip, dan Rendra









Jacko, Surip, dan Rendra



“Dalam berkarya, tidak pernah saya mengkonsentrasikan diri terhadap orisinalitas atau kebaruan tetapi konsentrasi saya kerahkan untuk setia pada hati nurani saya dan kepada hidup.”

(WS Rendra, “Mempertimbangkan Tradisi”)



T

idak ada seorang pun yang menyangka bahwa dalam dua bulan terakhir ini, kita kehilangan tiga nama populer dalam dunia kesenian. Pada awal bulan Juli,dunia dikejutkan oleh kematian the king of pop, Michael Jackson. Hal ini sungguh menyentak jutaan penggemarnya. Pasalnya, Jacko pernah menjanjikan bahwa di tahun ini pula ia akan kembali menghibur para penggemarnya dengan energi dan performance yang lebih segar. Konon, karena itu pula, tiket rencana pertunjukannya telah diburu habis oleh para penggemarnya di belahan Eropa.

Belum kering air mata, di bulan Agustus ini, kita kehilangan lagi dua nama sekaligus; Mbah Surip dan WS Rendra. Di tengah ketenarannya yang fenomenal, Mbah Surip, pelantun tembang Tak Gendong dan Bangun Tidur, justru menghadap yang Mahakuasa. Kemunculannya di dunia hiburan ternyata cukup singkat. Masyarakat tidak dapat mendengarkan celotehnya yang jenaka dan gaya tawanya yang khas.

Sementara itu, Rendra yang kita kenal sebagai salah satu penyair besar Indonesia, selain Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri, sehari setelah kematian Mbah Surip, meninggalkan dunia ini selamanya. Padahal, konon kabarnya, menjelang tanggal 17 Agustus nanti, penyair yang dijuluki sebagai si burung merak itu masih berpartisipasi bersama Kantata Takwa dalam pagelaran konser kemerdekaan.

Bagi saya, baik Jacko, Surip,maupun Rendra adalah tiga nama yang patut dicatat dalam sejarah kebudayaan manusia modern. Di satu sisi, mereka adalah para public figure yang sukses dalam panggung kesenian modern. Oleh masyarakat, mereka dianggap sebagai orang-orang yang memiliki pesona dan kharisma tersendiri di atas panggung kesenian. Kendati demikian, perlu diakui bahwa kesuksesan yang mereka peroleh itu bukanlah sebuah hal yang didapat secara instan. Mereka adalah wajah manusia modern yang mau tekun untuk bekerja keras. Setiap mereka memiliki sejumlah kisah pahit di balik ketenaran nama mereka.

Ketenaran Jacko bukanlah dimulai ketika ia berusia 25 tahun atau 30 tahun. Ia memulai karirnya sejak usianya masih begitu muda. Bersama saudara-saudaranya, ia berlatih sebagai seorang penghibur sejati. Jalan yang ia tempuh ini pun tidak mudah. Ia harus menempa dirinya dalam disiplin keras dan kasar yang diterapkan sang ayah. Tidak jarang, sebagai anak, ia harus merelakan hak-haknya diperkosa sang ayah. Sebagai remaja, ia harus merelakan sebagian hidupnya untuk diperas habis oleh kapitalisme hiburan yang memandang dirinya sebagai mesin uang baru. Setelah MTV berdiri pada tanggal 1 Agustus 1981, Jacko, boleh dibilang, telah menjual seluruh dirinya.Sejak saat itu, Jacko hadir bagai sebuah bom bagi dunia hiburan. Suara, goyang badannya, tangan, dan kakinya telah menguras isi hati dan air mata penggemarnya. Tiba-tiba saja Jacko muncul sebagai seorang dewa hiburan di jagad ini. Karena itu, bukan tempatnya jika kita menyalahkannya karena secara tiba-tiba Jacko yang hitam, pesek, dan kribo itu bermetamorfosis sebagai penyanyi berkulit putih, berhidung mancung, dan berdagu belah. Itu adalah tuntutan kapitalisme hiburan a la Amerika yang harus dilakoni Jacko sampai akhir hayatnya. Ia harus terus bersandiwara dengan identitasnya yang sejati..

Mbah Surip pun bernasib sama. Identitasnya tidak diketahui, sesungguhnya. Namun, kisah kehidupannya begitu getir. Konon, selama duapuluh tahun lebih dia tidak pernah memiliki rumah untuk bernaung dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam. Ia sudah lama menjadi duda karena sang istri begitu kecewa kepadanya. Cintanya kandas, meski ia begitu menyayangi anak-anaknya. Kisahnya yang tragis begitu mirip dengan lagu-lagu blues yang dinyanyikan musikus New Orleans setelah Perang Dunia II. Setelah lama hidup di jalanan ibukota, ia mulai beradaptasi. Gitar dipilihnya sebagai jalan hidupnya. Bersama gitar yang selalu disandangnya siang dan malam ini, ia justru mulai keluar dari persoalan dirinya sendiri. Surip yang tragis mulai menjelma sebagai Surip yang tegar. Hampir sebagian besar lagu-lagunya yang tenar menggambarkan semangat hidupnya yang tak kenal menyerah. Ia berjalan di atas hukum reggae yang berbeda jauh dengan hukum rimba yang semakin marak di jalanan Jakarta. Ia hanya tertawa dan menyanyi, selain merokok Djie Sam Soe dan menyeruput puluhan gelas kopi hitam setiap harinya. Ketika industri musik populer Indonesia memasuki fase monoton, Mbah Surip, pengamen reggae jalanan ini, tiba-tiba tampil sebagai seorang hero.

Bukan hal yang kebetulan pula jika pada masa Orde Baru, Rendra dikenal sebagai seorang hero dalam dunia kepenyairan di Indonesia. Puisi-puisinya tajam dan menggigit sehingga membuat resah para pejabat dan politisi yang mengaku peduli pada rakyat. Puisi-puisinya menelanjangi siapa saja yang bernaung teduh dalam kekuasaan. Secara kritis, kata-kata dalam setiap baris dan baitnya mempermasalahkan ketidakadilan dalam pembangunan, kegagalan peran pemerintah, kehancuran budaya karena pariwisata, kemalangan yang menimpa dunia pendidikan, dan konsekuensi yang tidak dapat diantisipasi masyarakat modern. Sejak masa mudanya, Rendra memang telah banyak berlatih menulis, selain berteater. Namun, jalan menulis pun bukanlah jalan yang mudah. Pada awalnya, sejumlah tulisannya ditolak mentah-mentah oleh beberapa majalah kesusasteraan. Namun ia tidak pernah menyerah. Ia tetap rajin mengirimkan puisi-puisi yang diciptakannya dengan sepenuh hati. Konon kabarnya, karena kegigihannya itu, almarhum Pater Dick Hartoko, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala redaksi majalah Basis, sebuah majalah kebudayaan di Yogyakarta, mulai memuat beberapa karya Rendra yang tertumpuk di meja redaksinya. Namun, Rendra bukanlah tipe sastrawan yang mudah berpuas hati. Sejak namanya diperhitungkan, ia terus bekerja keras. Kesempatan studi di Amerika, misalnya, tidak disia-siakan. Bahkan ia mengamalkan studinya itu melalui teater mini kata yang sangat fenomenal di pertengahan tahun 1970-an. Rendra memberikan perubahan dan warna yang baru di dalam dunia kesusasteraan Indonesia yang secara diam-diam telah terkooptasi oleh ideologi pembangunanisme Orde Baru. Ia berteriak melalui sajak-sajak pamflet yang ia tulis dan sampaikan secara memukau agar masyarakat tersadar dari mimpi-mimpi yang dijanjikan pemerintah.

Namun, di balik kisah kehidupan mereka yang heroik itu, hal yang sangat tragis terjadi. Setelah kematian mereka, kita dapat melihat bahwa mereka bertiga bukanlah lagi ikon-ikon perlawanan terhadap modernitas yang kaku. Jacko bukanlah lagi ikon penentang rasialisme yang sangat kental seperti tercermin dalam lagunya Black and White.Mbah Surip bukanlah lagi penentang sikap masyarakat Jakarta yang masa bodoh dan tidak peduli kepada sesamanya seperti tercermin dalam lagu Tak Gendong. Rendra bukanlah lagi penentang kondisi pendidikan Indonesia yang mengalami disorientasi seperti diungkapkannya dalam Sajak Sebatang Lisong atau Sajak Seonggok Jagung. Jacko, Mbah Surip, dan Rendra telah menjadi korban media massa yang dalam beberapa hal juga telah mencuatkan mereka sebagai selebritis kultural.

Sampai peti matinya tertutup, Jacko masih tereksploitasi. Ia masih menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam berita-berita gossip seolah-olah kematiannya hanyalah sebuah sandiwara yang biasa ditayangkan dalam program reality show. Oleh media, kematiannya diarahkan sebagai sebuah tindakan yang tidak wajar. Akibatnya ada semacam kesan yang terbentuk di dalam masyarakat bahwa kematiannya seolah-olah disangsikan. Berita mengenai munculnya hantu Jacko ini pun menjadi klimaks menjelang pemakamannya

Hal yang sama terjadi pula pada Mbah Surip. Sampai hari ini, jenazah Mbah Surip masih menjadi komoditas yang menarik. Kisah kehidupannya terus diulang-ulang dalam berbagai tayangan televisi swasta. Bahkan untuk memperoleh informasi yang akurat tentang dirinya, dihadirkan sejumlah tokoh dari seniman sampai politisi. SBY pun tiba-tiba saja “urun rembug” memberikan opini tentang Mbah Surip. Sebagai kabar terakhir, makamnya saat ini menjadi tempat yang sangat sakral lengkap dengan juru kunci dan jam kunjung bagi sejumlah orang yang masih bergelut dengan togel dan korupsi.

Sementara itu, Rendra menjadi tokoh yang paling bernasib tragis. Di saat dunia sastra Indonesia menurun, Rendra sama sekali bukanlah tokoh yang populer. Siswa-siswa SMP dan SMA sekarang mulai tidak mengenali namanya apalagi karya-karyanya.Sajak-sajak pamfletnya yang dulu membakar ratusan mahasiswa untuk bergerak dalam arus reformasi telah padam. Rendra tua hanya teronggok dalam padepokan bengkel teaternya yang semakin renta. Sebelum hari kematiannya, Rendra mempersilahkan agar Mbah Surip yang sungguh dikenalinya sebagai sahabat, dikuburkan di lokasi padepokan teaternya. Namun, celakanya, jenazah Mbah Surip lebih menarik daripada figur si burung merak yang sebenarnya sedang menderita sakit menahun. Pada hari itu, media massa rupanya telah melupakannya. Media massa secara diam-diam telah membunuh karakter dermawan sang penyair ini karena penonton memang lebih menyukai untuk merayakan kematian daripada kebaikan hati sang tokoh.

Jacko, Mbah Surip, dan Rendra adalah ikon korban peradaban masyarakat modern yang terlanjur maruk dengan media massa .Lalu, untuk siapa, mereka sesungguhnya berkarya? Semoga Sang Seniman Agung memberikan panggung yang terindah bagi kalian bertiga. Ber-moonwalk, berpuisi, dan gendong-menggendong bersama di Firdaus abadi. (Paul Heru Wibowo)

********