Tampilkan postingan dengan label Refleksi Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi Budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Juli 2010

Apa Kabar Pengajaran Sastra di Sekolah?


Tapi lihatlah, di tengah kekejaman dan kesedihan itu nampak anak-anak kera dan anak-anak raksasa riang bermain bersama-sama. Sepasang-sepasang, anak raksasa menggendong seekor anak kera. Lalu berlombalah mereka sampai terengah-engah nafasnya.
(Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin)



Keprihatinan terhadap kondisi kritik sastra dan arah perkembangan sastra Indonesia dewasa ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebelum milenium ini berlangsung, katakanlah, sudah terlaksana beberapa lokakarya, seminar, workshop yang membahas beberapa strategi dan taktik agar keduanya dapat berkembang secara sinergis. Pemikiran-pemikiran cemerlang yang dilontarkan oleh para pemerhati dan intelektual sastra kita pada saat itu masih dapat kita temukan dalam berbagai tulisan. Namun, sampai saat ini, perkembangan yang diharapkan itu masih berada di jalur yang meresahkan dan bahkan sangat kritis. Hasil-hasil diskusi dan pemikiran yang telah dicapai hanya berlalu begitu saja sebagai sebuah peristiwa dan hidup sebagai buku usang yang tertutup. Dalam tulisan singkat ini saya mencoba untuk mempertajam kembali sejauh manakah pengajaran sastra yang diterapkan di kelas-kelas sastra baik di universitas maupun di sekolah-sekolah kita berjalan.

PENGAJARAN SASTRA: SEBATAS PENGETAHUAN?
Secara sadar atau tidak pengajaran sastra hanya terselip dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Seturut dengan perkembangan model kurikulum yang disyaratkan pengajaran sastra hanya mengisi sebagian kecil ruang bahasa. Ada kesan bahwa seolah-olah pengajaran sastra tidak lebih penting daripada pengajaran bahasa itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan pengajaran matematika atau sains yang masih dipuja masyarakat kita, pengajaran sastra benar-benar terpuruk! Kondisi demikian menyebabkan pengajaran sastra menjadi sebuah tanah asing bagi para peserta didik.
Sejauh ini pengajaran sastra juga hanya diperkenalkan dalam sebuah rangkuman mengenai karya-karya kanon yang bermula dari Balai Pustaka, para sastrawan dalam angkatan-angkatan, jenis-jenis genre sastra seperti puisi atau prosa, atau pembacaan puisi dan pantun yang sangat dangkal. Melihat kondisi ruang dan waktu yang sangat terbatas, hal demikian tidak dapat dipersalahkan. Namun, bila kita cermati lagi, maka kita melihat bahwa pengajaran sastra demikian hanya menjadi sebatas pengetahuan (knowledge). Peserta didik hanya diminta untuk menghapal tanpa berusaha diajak untuk melihat sastra sebagai sebuah objek ilmu pengetahuan yang dapat dibandingkan, diaplikasikan, dianalisis, disintesiskan, dan dievaluasi.
Memang ada beberapa strategi yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara pendidikan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya adalah melalui pemisahan pengajaran sastra dengan pengajaran bahasa Indonesia sebagaimana pernah terjadi pada waktu lalu atau mempertahankan program bahasa dan budaya (A4). Namun, hal tersebut pun sangat jarang kita temui pada masa kini karena seolah-olah ada tuntutan “ketertinggalan” dan “status internasional” yang harus sesegera mungkin dijalankan masing-masing sekolah. Selain itu, tuntutan kurikulum mencekik kreativitas bahan-bahan pengajaran. Semakin kurikulum yang disyaratkan pemerintah itu dapat terselesaikan, semakin minimal kekhawatiran para guru bahasa dari kegagalan mereka membawa para murid berhasil dalam Ujian Nasional. Oleh karena itu, dalam kurikulum sehari-hari, pengajaran sastra hanya sesekali disisipkan dalam beberapa kompetensi yang diharapkan seperti membaca, mendengar, menulis, atau berbicara. Namun, apakah hal ini mampu memberikan artikulasi yang bermakna bahwa pengajaran sastra merupakan salah satu strategi budaya untuk semakin memanusiakan manusia? Apakah hal ini mampu menggugah rasa cinta para murid kepada sastra sebagai sebuah dokumen kemanusiaan?
Salah satu strategi yang seringkali dilakukan oleh para guru bahasa yang memiliki idealisme bahwa pengajaran sastra merupakan pengajaran yang khas adalah dengan mengadakan diskusi tentang karya sastra kontemporer. Strategi demikian memang dapat memudahkan mengalirnya beberapa gagasan dari para murid yang seringkali tidak disangka-sangka. Ruang kelas dapat lebih hidup.Pembicaraan mengenai karya sastra akan menjadi ruang pembicaraan tentang kehidupan karena aspek-aspek dalam kehidupan akan tersentuh dengan sendirinya. Kendati begitu, strategi ini memiliki sejumlah konsekuensi yang harus dicermati.
Pertama, guru sebagai fasilitator diskusi, mau tidak mau, harus memiliki wawasan yang luas baik dalam karya itu sendiri maupun aspek-aspek sosiologis, filosofis, politis, agama, atau psikologis yang terkait. Hal ini berarti bahwa diskusi yang difasilitasinya bukanlah sebuah pembicaraan struktural mengenai unsur internal karya sastra itu semata, tetapi bersama-sama melihat sastra sebagai sebuah teks kebudayaan.
Kedua, para murid diandaikan telah membaca karya tersebut sebelumnya. Tanpa pengalaman membaca, proses diskusi ini hanya akan menjadi omong kosong karena akan ada kecenderungan pada guru untuk mendominasi diskusi pada akhirnya.
Ketiga, strategi diskusi ini harus mempertimbangkan karya sastra yang dibicarakan sesuai perkembangan psikologis peserta didik. Diskusi ini sama sekali tidak bersifat sebagai diskusi yang arbitrer (mana suka). Sebagai contoh, apakah tepat jika pembicaraan mengenai Saman karya Ayu Utami atau Orang-orang Bloomington karya Budi Darma menjadi topik diskusi bagi anak kelas enam sekolah dasar? Dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian pertama-tama adalah bobot permasalahan yang ditampilkan dalam karya sastra itu, bukan alusi erotisme atau kekerasan yang dikhawatirkan memberikan pengaruh negatif. Untuk memberikan stimulus agar anak dapat menyukai pembacaan karya sastra, bobot permasalahan karya sastra memang harus diperhatikan sesuai dengan dunia yang dihidupi oleh anak.
Keempat, diskusi ini ditujukan bukan untuk mencari penafsiran yang monolitik melainkan penafsiran yang plural dari berbagai dimensi. Sekali lagi, guru sebagai fasilitator, sama sekali tidak berwenang untuk mematenkan penafsirannya sendiri. Ia hanya merangkum seluruh hasil diskusi sebagai sebuah mosaik yang bermakna. Terakhir, ada baiknya jika diskusi yang lebih menampilkan kemampuan lisan ini diiringi pula dengan kemampuan menulis.
Salah satu strategi dalam pengajaran sastra yang tampaknya belum populer di Indonesia adalah lingkar sastra (literature circles). Strategi pengajaran ini sangat potensial dalam ruang-ruang kelas sekolah dasar sampai menengah di Amerika. Pada awalnya lingkar sastra ini hanya terlihat sebagai sebuah strategi bagaimana program membaca secara lengkap dapat dilakukan. Akan tetapi, bila dicermati lebih dalam, strategi ini justru menawarkan kemampuan berpikir yang dapat dikembangkan secara kreatif oleh murid sendiri. Mereka tidak hanya dapat membaca atau mengidentifikasi informasi dan cerita sebagai sebuah pengetahuan saja tetapi juga mampu membuat korelasi dengan berbagai aspek di sekitar mereka, mengadakan perbandingan melalui prediksi dan penjelasan, menerapkan, menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi informasi yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Rangkaian ini sebenarnya bertujuan untuk membangun apresiasi pada sastra, gaya, dan maksud pengarang yang tercermin dalam cerita, dan untuk menilai selera pribadi atas sebuah cerita. Lingkar sastra ini terbangun melalui kerja kelompok. Dalam setiap kelompok setiap murid memiliki tugasnya masing-masing untuk melakukan sejumlah perbandingan, sintesis, atau evaluasi. Dari sini saja kita dapat melihat bahwa strategi demikian tidak hanya melulu mengarahkan murid kepada pemahaman teks, tetapi juga memunculkan leadership, tanggung jawab, dan penghargaan pada pemikiran setiap individu di antara mereka.

PENGAJARAN SASTRA: MESTIKAH DISINGKIRKAN?
Tampaknya bila kita hanya berkutat pada permasalahan bahwa ada kemandulan dalam kritik sastra kita saja, maka secara tidak langsung kita sendiri melupakan strategi untuk memberikan dasar kritik sastra yang kuat bagi generasi selanjutnya sejak dini. Oleh karena itu, mau tidak mau, kita harus mengarahkan diri kita kembali kepada strategi pengajaran sastra yang lebih kondusif dan inovatif .
Pada dasarnya kritik sastra yang dapat ditanamkan mula-mula adalah melalui kegiatan membaca, mendengarkan cerita atau dongeng, atau bahkan menonton film yang dapat dilakukan oleh murid-murid sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Untuk menghindari kepasifan mereka dalam meresepsi bacaan, dongeng, atau film tersebut, seorang guru bisa saja meminta mereka untuk menceritakan kembali isinya baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini harus dilakukan secara berulang-ulang dan bertahap sesuai dengan perkembangan psikologis mereka.
Akan tetapi, perlu dicermati pula bahwa pengajaran sastra awal ini tidak harus selalu identik dengan teks-teks tertulis yang terdapat dalam buku-buku saja. Pengadaan material seperti panggung boneka, slide film, kostum drama, dan gambar-gambar menjadi sangat penting bagi mereka untuk menumbuhkan minat pada sebuah cerita. Namun, lagi-lagi di sini kita terbentur pada penyusunan kurikulum yang tidak sensitif pada perkembangan psikologis anak bangsa. Pemerintah tampaknya cenderung mempertahankan kurikulum pengajaran dunia ketiga yang terus-menerus harus mengejar ketinggalannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap kita direkrut untuk langsung masuk pada wilayah melek teknologi tanpa penguasaan yang matang terhadap melek huruf dan melek budaya.
Saya melihat bahwa metode diskusi sebagaimana telah digagas di bagian depan, tampaknya dapat dikatakan sebagai jalan tengah pada masa kini untuk meningkatkan mutu pengajaran sastra kita. Akan tetapi, hal ini kiranya akan sia-sia bila pemerintah, fakultas ilmu budaya di universitas-universitas, lembaga-lembaga yang terkait, atau penerbit buku tidak tanggap pada keprihatinan ini. Tentu saja, strategi demikian tidak mutlak bergantung pada peranan guru bahasa semata-mata melainkan juga pada berbagai kebijakan, penyiapan sumber daya, dan pengadaan material pengajaran yang ada seperti buku-buku yang kondusif.
Sampai hari ini pun saya belum melihat adanya usaha serius untuk mengadakan kembali buku leveling yang kontekstual pada dunia anak dalam buku-buku sastra yang dapat diharapkan cocok dengan perkembangan psikologis peserta didik, walaupun sesungguhnya pada tahun 50-60-an usaha demikian pernah dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Setidak-tidaknya, jika kita hanya sepakat untuk menganggap pengajaran sastra sebatas pengetahuan, maka kita perlu merumuskan sebuah core knowledge yang penting dikuasai oleh peserta didik dalam berbagai level sebagaimana telah dilakukan oleh Core Knowledge Foundations yang dibidani oleh E.D. Hirsch, Jr. di Amerika sejak tahun 1986. Dalam Core Knowledge yang digagas oleh yayasan tersebut sebagai bentuk perhatian dari para guru dan orang tua murid, pengajaran sastra menduduki tempat pertama sebagai basis pengetahuan yang mendasari perkembangan imajinasi dan kreatifitas bagi pengetahuan yang lain. (Paul Heru Wibowo)

******

Jumat, 23 Juli 2010

Menemukan Kembali Masa Lalu



Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.
(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).


Menurut Sindhunata, salah satu tugas sastra Indonesia pascareformasi adalah menemukan kembali masa lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama rezim Orde Baru berkuasa banyak kebenaran masa lalu yang terpendam. Tugas yang diemban oleh ilmu sejarah untuk menguaknya sungguh berat. Karena itu, sejarah membutuhkan partner yang dapat menggali kebenaran tersebut.
Sebagaimana dinyatakan Joachim Fest, seorang filsuf Jerman, masa lalu perlu didekati dengan fantasi, intuisi, dan rasa ingin tahu yang manusiawi, selain penggalian sumber-sumber sejarah secara ilmiah. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu sesungguhnya tidak dapat dilacak di dalam sejarah sebab kebenaran yang asli dan sejati hanya terdapat di dalam roman.
Sastra memiliki tugas yang sama dengan sejarah yaitu mengingat masa lalu agar bisa ditemukan kebenaran di dalamnya. Sindhunata menyatakan bahwa aktivitas mengingat sangatlah penting, terutama dalam konteks pembentukan bangsa. Ini pun bukanlah tugas yang mudah. Hal demikian dapat dipahami karena masa lalu manusia Indonesia begitu gelap dan sulit ditembus. Selama rezim Orde Baru data-data sejarah sama sekali tidak dapat transparan.
Dalam beberapa hal, faktor ingatan jugalah yang menuntun Sindhunata untuk menuliskan sebuah novel yang berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga, dan Telegram Duka. Novel ini terinspirasi oleh lukisan Djoko Pekik yang berjudul Indonesia Tahun 2000: Berburu Celeng. Dalam lukisan itu digambarkan bagaimana seekor celeng raksasa tertangkap, dipikul oleh dua orang kurus kering, yang menjadi simbol dari wong cilik, dan disaksikan oleh sekian banyak rakyat.
Dalam novel itu Sindhunata menengarai bahwa celeng bukanlah binatang biasa melainkan makhluk yang kerasukan roh jahat sehingga ia menjadi serakah, rakus, bengis, dan haus kuasa. Setelah mengamati dengan saksama lukisan Djoko Pekik itu, ia begitu terkejut dan sampai kepada sebuah simpulan bahwa kejahatan celeng ternyata tidak dapat mati. Daya roh jahat yang dimilikinya membuat kejahatannya justru semakin lebih hidup, berlipat ganda, dan menulari siapa saja. Reformasi 1998 yang berniat membunuh celeng justru menghidupkannya kembali dan bahkan merasuki sekian banyak orang yang berniat merajamnya. Untuk menggambarkan situasi ini, Sindhunata mengutip lakon wayang yang dipentaskan oleh Ki Dhalang Manteb Soedharsono, Lengji Lengbeh (Celeng Siji, Celeng Kabeh, Satu Celeng, Semuanya Celeng). Karena hal itu, celeng dianggapnya bukan lagi mewakili sebuah simbol dalam sebuah penulisan sastra, melainkan suatu ingatan sejarah dan kultur bahwa bangsa ini akan terus terancam oleh nafsu, egoisme, rakus, serakah, haus kuasa, kejam, dan bengis.
Kendati begitu, Sindhunata juga tidak dapat menyangkal bahwa menghadapi dan mengolah ingatan-ingatan kultural bukanlah sesuatu yang mudah. Sejauh ini isi, makna, dan historitas idiom kultural seringkali tidak mudah dikupas. Selain itu, sarana, refleksi, dan catatan mengenai hal itu sama sekali tidak tersedia. Sindhunata mengakui bahwa warisan kultural itu sudah lama tidak ditangani dan hanya hidup sebagai ideologi belaka dalam pemerintahan Orde Baru.
Karena itu, untuk membuka kembali warisan kultural tersebut, sastra harus mengandalkan kekuatannya sendiri, yaitu bahasa atau kata-kata. Bahasa bukanlah sekadar sebuah sarana tetapi justru menjadi tujuan karena bukan hanya “dengan bahasa” melainkan juga “dalam bahasa-lah” ingatan kultural itu tercipta sebagai realitas yang baru. Pendek kata, sastra dan bahasanya menjadi pembebas bagi ingatan kultural yang terbelenggu itu.Dalam hal ini, kebebasan yang hendak dicapai sastra, menurut Sindhunata, berkaitan erat dengan manusia dan kemanusiaanya. Wilayah kebebasan demikian jauh lebih luas dan tinggi daripada kebebasan yang diimpikan politik, ekonomi, dan kehidupan intelektual.

********

Jumat, 07 Agustus 2009

Jacko, Surip, dan Rendra









Jacko, Surip, dan Rendra



“Dalam berkarya, tidak pernah saya mengkonsentrasikan diri terhadap orisinalitas atau kebaruan tetapi konsentrasi saya kerahkan untuk setia pada hati nurani saya dan kepada hidup.”

(WS Rendra, “Mempertimbangkan Tradisi”)



T

idak ada seorang pun yang menyangka bahwa dalam dua bulan terakhir ini, kita kehilangan tiga nama populer dalam dunia kesenian. Pada awal bulan Juli,dunia dikejutkan oleh kematian the king of pop, Michael Jackson. Hal ini sungguh menyentak jutaan penggemarnya. Pasalnya, Jacko pernah menjanjikan bahwa di tahun ini pula ia akan kembali menghibur para penggemarnya dengan energi dan performance yang lebih segar. Konon, karena itu pula, tiket rencana pertunjukannya telah diburu habis oleh para penggemarnya di belahan Eropa.

Belum kering air mata, di bulan Agustus ini, kita kehilangan lagi dua nama sekaligus; Mbah Surip dan WS Rendra. Di tengah ketenarannya yang fenomenal, Mbah Surip, pelantun tembang Tak Gendong dan Bangun Tidur, justru menghadap yang Mahakuasa. Kemunculannya di dunia hiburan ternyata cukup singkat. Masyarakat tidak dapat mendengarkan celotehnya yang jenaka dan gaya tawanya yang khas.

Sementara itu, Rendra yang kita kenal sebagai salah satu penyair besar Indonesia, selain Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri, sehari setelah kematian Mbah Surip, meninggalkan dunia ini selamanya. Padahal, konon kabarnya, menjelang tanggal 17 Agustus nanti, penyair yang dijuluki sebagai si burung merak itu masih berpartisipasi bersama Kantata Takwa dalam pagelaran konser kemerdekaan.

Bagi saya, baik Jacko, Surip,maupun Rendra adalah tiga nama yang patut dicatat dalam sejarah kebudayaan manusia modern. Di satu sisi, mereka adalah para public figure yang sukses dalam panggung kesenian modern. Oleh masyarakat, mereka dianggap sebagai orang-orang yang memiliki pesona dan kharisma tersendiri di atas panggung kesenian. Kendati demikian, perlu diakui bahwa kesuksesan yang mereka peroleh itu bukanlah sebuah hal yang didapat secara instan. Mereka adalah wajah manusia modern yang mau tekun untuk bekerja keras. Setiap mereka memiliki sejumlah kisah pahit di balik ketenaran nama mereka.

Ketenaran Jacko bukanlah dimulai ketika ia berusia 25 tahun atau 30 tahun. Ia memulai karirnya sejak usianya masih begitu muda. Bersama saudara-saudaranya, ia berlatih sebagai seorang penghibur sejati. Jalan yang ia tempuh ini pun tidak mudah. Ia harus menempa dirinya dalam disiplin keras dan kasar yang diterapkan sang ayah. Tidak jarang, sebagai anak, ia harus merelakan hak-haknya diperkosa sang ayah. Sebagai remaja, ia harus merelakan sebagian hidupnya untuk diperas habis oleh kapitalisme hiburan yang memandang dirinya sebagai mesin uang baru. Setelah MTV berdiri pada tanggal 1 Agustus 1981, Jacko, boleh dibilang, telah menjual seluruh dirinya.Sejak saat itu, Jacko hadir bagai sebuah bom bagi dunia hiburan. Suara, goyang badannya, tangan, dan kakinya telah menguras isi hati dan air mata penggemarnya. Tiba-tiba saja Jacko muncul sebagai seorang dewa hiburan di jagad ini. Karena itu, bukan tempatnya jika kita menyalahkannya karena secara tiba-tiba Jacko yang hitam, pesek, dan kribo itu bermetamorfosis sebagai penyanyi berkulit putih, berhidung mancung, dan berdagu belah. Itu adalah tuntutan kapitalisme hiburan a la Amerika yang harus dilakoni Jacko sampai akhir hayatnya. Ia harus terus bersandiwara dengan identitasnya yang sejati..

Mbah Surip pun bernasib sama. Identitasnya tidak diketahui, sesungguhnya. Namun, kisah kehidupannya begitu getir. Konon, selama duapuluh tahun lebih dia tidak pernah memiliki rumah untuk bernaung dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam. Ia sudah lama menjadi duda karena sang istri begitu kecewa kepadanya. Cintanya kandas, meski ia begitu menyayangi anak-anaknya. Kisahnya yang tragis begitu mirip dengan lagu-lagu blues yang dinyanyikan musikus New Orleans setelah Perang Dunia II. Setelah lama hidup di jalanan ibukota, ia mulai beradaptasi. Gitar dipilihnya sebagai jalan hidupnya. Bersama gitar yang selalu disandangnya siang dan malam ini, ia justru mulai keluar dari persoalan dirinya sendiri. Surip yang tragis mulai menjelma sebagai Surip yang tegar. Hampir sebagian besar lagu-lagunya yang tenar menggambarkan semangat hidupnya yang tak kenal menyerah. Ia berjalan di atas hukum reggae yang berbeda jauh dengan hukum rimba yang semakin marak di jalanan Jakarta. Ia hanya tertawa dan menyanyi, selain merokok Djie Sam Soe dan menyeruput puluhan gelas kopi hitam setiap harinya. Ketika industri musik populer Indonesia memasuki fase monoton, Mbah Surip, pengamen reggae jalanan ini, tiba-tiba tampil sebagai seorang hero.

Bukan hal yang kebetulan pula jika pada masa Orde Baru, Rendra dikenal sebagai seorang hero dalam dunia kepenyairan di Indonesia. Puisi-puisinya tajam dan menggigit sehingga membuat resah para pejabat dan politisi yang mengaku peduli pada rakyat. Puisi-puisinya menelanjangi siapa saja yang bernaung teduh dalam kekuasaan. Secara kritis, kata-kata dalam setiap baris dan baitnya mempermasalahkan ketidakadilan dalam pembangunan, kegagalan peran pemerintah, kehancuran budaya karena pariwisata, kemalangan yang menimpa dunia pendidikan, dan konsekuensi yang tidak dapat diantisipasi masyarakat modern. Sejak masa mudanya, Rendra memang telah banyak berlatih menulis, selain berteater. Namun, jalan menulis pun bukanlah jalan yang mudah. Pada awalnya, sejumlah tulisannya ditolak mentah-mentah oleh beberapa majalah kesusasteraan. Namun ia tidak pernah menyerah. Ia tetap rajin mengirimkan puisi-puisi yang diciptakannya dengan sepenuh hati. Konon kabarnya, karena kegigihannya itu, almarhum Pater Dick Hartoko, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala redaksi majalah Basis, sebuah majalah kebudayaan di Yogyakarta, mulai memuat beberapa karya Rendra yang tertumpuk di meja redaksinya. Namun, Rendra bukanlah tipe sastrawan yang mudah berpuas hati. Sejak namanya diperhitungkan, ia terus bekerja keras. Kesempatan studi di Amerika, misalnya, tidak disia-siakan. Bahkan ia mengamalkan studinya itu melalui teater mini kata yang sangat fenomenal di pertengahan tahun 1970-an. Rendra memberikan perubahan dan warna yang baru di dalam dunia kesusasteraan Indonesia yang secara diam-diam telah terkooptasi oleh ideologi pembangunanisme Orde Baru. Ia berteriak melalui sajak-sajak pamflet yang ia tulis dan sampaikan secara memukau agar masyarakat tersadar dari mimpi-mimpi yang dijanjikan pemerintah.

Namun, di balik kisah kehidupan mereka yang heroik itu, hal yang sangat tragis terjadi. Setelah kematian mereka, kita dapat melihat bahwa mereka bertiga bukanlah lagi ikon-ikon perlawanan terhadap modernitas yang kaku. Jacko bukanlah lagi ikon penentang rasialisme yang sangat kental seperti tercermin dalam lagunya Black and White.Mbah Surip bukanlah lagi penentang sikap masyarakat Jakarta yang masa bodoh dan tidak peduli kepada sesamanya seperti tercermin dalam lagu Tak Gendong. Rendra bukanlah lagi penentang kondisi pendidikan Indonesia yang mengalami disorientasi seperti diungkapkannya dalam Sajak Sebatang Lisong atau Sajak Seonggok Jagung. Jacko, Mbah Surip, dan Rendra telah menjadi korban media massa yang dalam beberapa hal juga telah mencuatkan mereka sebagai selebritis kultural.

Sampai peti matinya tertutup, Jacko masih tereksploitasi. Ia masih menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam berita-berita gossip seolah-olah kematiannya hanyalah sebuah sandiwara yang biasa ditayangkan dalam program reality show. Oleh media, kematiannya diarahkan sebagai sebuah tindakan yang tidak wajar. Akibatnya ada semacam kesan yang terbentuk di dalam masyarakat bahwa kematiannya seolah-olah disangsikan. Berita mengenai munculnya hantu Jacko ini pun menjadi klimaks menjelang pemakamannya

Hal yang sama terjadi pula pada Mbah Surip. Sampai hari ini, jenazah Mbah Surip masih menjadi komoditas yang menarik. Kisah kehidupannya terus diulang-ulang dalam berbagai tayangan televisi swasta. Bahkan untuk memperoleh informasi yang akurat tentang dirinya, dihadirkan sejumlah tokoh dari seniman sampai politisi. SBY pun tiba-tiba saja “urun rembug” memberikan opini tentang Mbah Surip. Sebagai kabar terakhir, makamnya saat ini menjadi tempat yang sangat sakral lengkap dengan juru kunci dan jam kunjung bagi sejumlah orang yang masih bergelut dengan togel dan korupsi.

Sementara itu, Rendra menjadi tokoh yang paling bernasib tragis. Di saat dunia sastra Indonesia menurun, Rendra sama sekali bukanlah tokoh yang populer. Siswa-siswa SMP dan SMA sekarang mulai tidak mengenali namanya apalagi karya-karyanya.Sajak-sajak pamfletnya yang dulu membakar ratusan mahasiswa untuk bergerak dalam arus reformasi telah padam. Rendra tua hanya teronggok dalam padepokan bengkel teaternya yang semakin renta. Sebelum hari kematiannya, Rendra mempersilahkan agar Mbah Surip yang sungguh dikenalinya sebagai sahabat, dikuburkan di lokasi padepokan teaternya. Namun, celakanya, jenazah Mbah Surip lebih menarik daripada figur si burung merak yang sebenarnya sedang menderita sakit menahun. Pada hari itu, media massa rupanya telah melupakannya. Media massa secara diam-diam telah membunuh karakter dermawan sang penyair ini karena penonton memang lebih menyukai untuk merayakan kematian daripada kebaikan hati sang tokoh.

Jacko, Mbah Surip, dan Rendra adalah ikon korban peradaban masyarakat modern yang terlanjur maruk dengan media massa .Lalu, untuk siapa, mereka sesungguhnya berkarya? Semoga Sang Seniman Agung memberikan panggung yang terindah bagi kalian bertiga. Ber-moonwalk, berpuisi, dan gendong-menggendong bersama di Firdaus abadi. (Paul Heru Wibowo)

********

Senin, 12 Mei 2008

Mencari Kembali Kriteria Independen Seni

“Art is not genuine art until it has thus liberated itself ”
-Hegel



1. Prolegomena
Dalam setiap zaman, tidak dapat dipungkiri bahwa seni seringkali menampakkan kecenderungannya untuk menjadi sosok yang otonom, mandiri, unik, dan eksklusif dari bidang-bidang yang lain. Sebagai buah dari proses imajinasi dan semangat creatio, kecenderungan itu seringkali menyebabkan keberadaan seni dibedakan dari aktivitas kehidupan sehari-hari yang wajar kita sebut sebagai aktivitas ekonomi, misalnya. Hal demikian dapat kita tengok dalam kerangka Marxisme klasik bahwa seni hanya menduduki sisi superstruktur yang menjadi bagian dari ide-ide abstrak dan tidak berguna bagi pengembangan mode of production. Produksi seni dan produksi ekonomi menjadi dua kutub yang saling berbeda. Akan tetapi, secara historis, kemandirian ini ternyata memberikan implikasi yang cukup paradoks.

Tidak jarang, kemandirian ini ternyata mampu membuat seni menjadi monumen prestise yang cukup arogan. Karena sifatnya yang seringkali dibahasakan sebagai “kehalusan budi”, “imajinasi luhur”, dan “pembentuk peradaban”, keberadaan seni pada masa lalu (misal: Renaissance) pernah sangat dihormati dan bahkan seringkali menjadi syarat mutlak bagi kurikula kepriyayian para noble men. Tanpa seni, orang dianggap tidak beradab (barbar). Tanpa seni, tidak pernah ada peradaban. Semangat seni untuk seni yang pernah berlaku pada abad pertengahan menjadi pertanda yang lain bagaimana kemandirian yang dimaksud itu dipuja dalam kerangka Narcicis. Kemandirian seni, tidak dapat dipungkiri, pun turut merayakan kejayaan kaum borjuis dan aristokrat secara tidak langsung. Karena bagaimanapun juga, secara genealogis seni muncul dan berkembang dari pusat-pusat peradaban seperti istana dan biara. Sebuah daya cipta imajinasi justru dapat disebut sebagai seni setelah ia secara khusus diakui, dinilai, dan diadopsi oleh pihak-pihak yang tentunya tidak berada di luar kedua wilayah tersebut. Seni menjadi kekayaan budaya urban yang sangat mahal. Keadaan ini dengan sendirinya malah membuat seni terlibat dalam beberapa hal yang berada di luar seni. Ia menjadi tidak mandiri. Ia berada dalam heteronomi yang timbal balik. Seni melahirkan kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat melahirkan seni. Hal ini sesuai sebagaimana pernah dinyatakan oleh Madame de Stael dan Hippolyte Taine, kedua-duanya penulis dari Perancis, bahwa karya sastra, misalnya, dinyatakan sebagai sebuah hasil seni yang tergantung pada institusi sosial, ras, zaman, dan lingkungannya.

Meskipun demikian, dalam perkembangannya, tidak dapat disangkal bahwa pencarian atas kemandirian dan otonomi dalam seni masih tetap berlangsung. Dari beberapa panorama di atas, tampaknya, kecil sekali kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita kemandirian ini. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba untuk memeriksa kembali kecenderungan seni sebagai sosok yang otonom, mandiri, alias independen. Bahkan, perlu juga diperhatikan bagaimana perkembangan kata kemandirian atau independen itu menemukan tempatnya dalam seni. Dalam hal demikian, tulisan ini mencoba untuk memeriksa ulang pemikiran mengenai kecenderungan kemandirian dalam perkembangan seni yang ada sampai hari ini.


2.Kemandirian sebagai Agony
Sejak awal, kemandirian seni itu tidak selalu datang dari dirinya sendiri. Kemandirian yang dimaksud seringkali merupakan buah dari pengasingan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang menganggap seni sebagai musuh masyarakat. Seni dianggap sebagai sebuah anomali dan bahkan entropi dari peradaban yang meletakkan kehalusan budi dan ekspresi di luar prioritasnya, yaitu menaklukkan dan memerintah sebagaimana terlihat pada dominasi yang dilakukan oleh Sparta atas Athena. Bahkan filsuf besar seperti Plato yang sangat menjunjung ide sebagai sesuatu yang asli dalam kehidupan manusia, tidak pernah menyesal untuk mengatakan bahwa penyair adalah musuh masyarakat. Menurutnya, posisi penyair tidak berbeda dengan candu yang dapat membius masyarakat.Kemandirian seperti ini tentu saja merupakan kemandirian semu atau kemandirian yang ditentukan. Ia tidak dapat bebas untuk mencari kemandirian itu sendiri karena kemandirian yang dialami hanya merupakan sebuah conditioning. Dengan cara seperti ini, kemandirian menjadi kata lain dari pengasingan dan pengucilan seni dalam masyarakat. Seni tidak diletakkan dalam terang estetika melainkan etika. Bagi seni, hal ini adalah sebuah agony. Ia diberi status (esensi), tetapi eksistensinya tidak diakui.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk menentukan conditioning demikian. Cara pertama adalah sensor. Secara historis, keberadaan sensor semakin penting tatkala etika menjadi perangkat tegas untuk mewujudkan keteraturan dalam masyarakat. Ini berlaku setelah gerak monoteisme menemukan jalannya. Seni seringkali menjadi pihak tersangka utama yang ditengarai membawa kekacauan bagi masyarakat sebelum teknologi teradopsi dengan luas. Pandangan etika awal yang biasanya bersumber dari kitab-kitab suci itu berusaha untuk menahan laju gerak ekspresi dalam seni yang seringkali muncul dalam rupa yang sangat kontradiktif bagi traktat dogmatis itu. Padahal sebelumnya, segi-segi religiositas seringkali diekspresikan dalam seni. Kita tahu bagaimana patung berhala yang tentunya dibuat dan dipersiapkan secara estetis itu dihujat oleh para nabi sebagaimana terlihat pada perikop yang agak panjang (Kebijaksanaan Salomo, 13:10-16) tentang berhala-berhala dan pemujaannnya sebagai berikut.

10. Tetapi celakalah orang yang menaruh harapannya pada benda mati yang mendewakan buatan tangan manusia, yaitu emas dan perak, karya seni, dan gambaran macam-macam binatang, ataupun batu yang tidak berfaedah, buatan tangan zaman kuno.
11. Misalkan seorang tukang kayu menggergaji pohon kayu yang mudah dikerjakan, kemudian membuang dengan cermat seluruh kulitnya, mengerjakannya sebagai mestinya, akhirnya membuatnya jadi perkakas yang berguna bagi keperluan hidup.
12. Lalu bagian-bagian yang terbuang dari buatannya itu dipakainya untuk menyediakan makanan dan ia pun menjadi kenyang.
13. Tetapi apa yang tak berguna dari bagian-bagian terbuang itu, yang tidak ada gunanya sama sekali, yaitu sepotong kayu bengkok yang banyak bonggolnya, diambilnya dan diukirnya pada waktu terluang, dan dengan tangkas dibentuknya di waktu istirahat serta dibuatnya jadi rupa manusia
14. atau diserupakannya dengan seekor binatang yang hina. Lalu disapunya dengan sedelinggam, dimerahinya kulitnya dengan cat dan dilumasnya setiap noda yang ada padanya.
15. Lalu dibuatkannya baginya rumah-rumahan yang serasi dan ditempatkannya pada dinding serta dilekatkannya dengan paku.
16. Dijaganya pula agar jangan jatuh, sebab ia insaf bahwa patung itu tidak mampu menolong dirinya karena hanya patung sajalah itu dan memerlukan pertolongan.

Dari perikop tersebut, terlihat bahwa segala kreasi seni yang diusahakan oleh manusia dapat dinyatakan sebagai berhala. Ini dapat dipahami karena dalam pandangan monoteisme awal, kedaulatan Tuhan sebagai satu-satunya pencipta isi bumi memang sangat diagungkan. Ini juga berarti bahwa tidak ada penciptaan di luar Tuhan , dan tidak ada tuhan-tuhan lain yang diciptakan oleh manusia selain diri-Nya yang menjadi causa prima. Mungkin perikop di atas dapat dianggap sebagai teori sensor pertama yang terjadi di dunia. Akan tetapi, dalam perkembangannya kategori sebagaimana ditampakkan oleh kitab suci itu pun mengalami pelunakan. Pelunakan atas sensor ini terjadi seiring dengan berkembangnya pemikiran mengenai etika yang tidak hanya dipahami dalam kerangka teologi saja melainkan campur tangan filsafat yang sudah berani menolak statusnya sebagai ancillary of theology. Walaupun dalam gereja Katolik, misalnya tetap diberlakukan nihil obstat pada beberapa karya tulis sebagai penanda bahwa karya tersebut telah lolos sensor, tetapi ini pun diatur secara diplomatis agar tidak terjadi kekacauan yang dapat ditimbulkan oleh karya itu di kemudian hari.

Dalam panorama Indonesia pada masa kolonial sampai Orde Baru berakhir, kecenderungan yang sama pun dapat terlihat. Kemandirian sebuah seni dapat terelaborasi ketika ia menjadi seni yang mampu menyesuaikan dirinya dengan etika sosial dan etika penguasa. Dalam etika sosial, kemandiriannya dapat berfungsi sejauh ia tidak menampilkan gagasan-gagasan yang memancing keresahan masyarakat seperti pornografi dan permasalahan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan)[1]. Sementara itu, dalam etika penguasa, kemandiriannya terukur jika ia mau tunduk dan patuh pada asas-asas dan rambu-rambu peraturan yang telah ditetapkan oleh penguasa. Kepatuhannya secara kongkret dapat diamati jika ia tidak secara terang-terangan atau laten memberikan kritik, menghasut, atau bahkan menghujat. Dalam keadaan ini, seni diletakkan hanya sebagai penghibur masyarakat, amusement, dalam pola ranah estetika, yang tidak jarang ditetapkan pula oleh penguasa. Ini misalnya terlihat pada peri kehidupan seni yang dikembangkan oleh LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Setiap bentuk seni yang ditampilkan harus mencerminkan pandangan realisme sosialis. Akan tetapi, realisme sosialis yang dimaksud di sini pun harus sesuai dengan garis kebijaksanaan partai. Kemandirian pada akhirnya tidak diatur oleh dirinya sendiri, melainkan di luar dirinya. Untuk mencapai kemandirian seperti ini, sensor, sekali lagi, mutlak diperlukan dengan dalih etika yang telah dirasionalisasi.

Cara kedua adalah dengan didirikannya gedung-gedung kesenian dan galeri-galeri. Disadari atau tidak, kedua dimensi ruang demikian secara tidak langsung telah membawa seni pada kemandirian yang ditentukan. Kedua-duanya menjadi bagian dari strategi politik penguasa untuk mengalokasikan seni agar ia jauh dari masyarakat banyak dan hanya menjadi milik dari komunitas tertentu yang tentu saja telah terpilih dan terseleksi dengan sendirinya. Baik gedung kesenian maupun galeri secara sosiologis telah memberikan efek seleksi yang cukup kuat. Dalam peradaban borjuis, hanya mereka yang memiliki kelebihan finansial dan leisure time sajalah yang mampu menikmati karya seni seperti concerto, opera, dan mencicipi keindahan lukisan atau pahatan dari para maestro di pusat-pusat peradaban Eropa seperti di Venice, London, atau Versailles. Selain itu, dengan conditioning dalam ruang, suara-suara yang tidak enak terdengar bagi penguasa, seperti kritik atau protes sosial, hanya berakhir pada dinding-dinding bangunan tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Mozart dalam operanya yang berjudul The Marriage of Figaro [2]. Meskipun opera ini dinilai cukup berani pada masa itu (1786) untuk mengkritik kaum bangsawan, tetapi ia pun hanya berakhir di dalam panggung dan tidak dapat menghujam sanubari masyarakat di luar gedung pertunjukan satu per satu. Ia telah diredam dengan sendirinya.

Dalam gedung kesenian memang tidak ada sensor seperti yang tercantum dalam nihil obstat, tetapi gedung kesenian itu sendiri sudah merupakan bagian dari panoptikon dan mekanisasi sistem sensor yang dilakukan oleh penguasa. Tidak semua karya seni dan bentuk ekspresi seni mampu tampil di dalam gedung-gedung kesenian dan galeri-galeri. Hal seperti ini biasanya dengan mudah kita temukan pada peradaban Eropa abad ke-17. Pada saat itu pertunjukan seni yang mampu hadir dalam gedung-gedung pertunjukan adalah pertunjukan yang disewa secara khusus oleh penguasa. Tentu saja ia disewa untuk mewartakan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Inggris dalam The Siege of Rhodes. Opera yang pertama kali ditampilkan pada tahun 1656 ini merupakan perayaan besar untuk menghormati Oliver Cromwell dan sekaligus menjadi simbol kebanggaan Inggris pada saat itu.Namun, pertunjukan seni itu pun tidak selalu dimaksudkan secara politis. Ada kalanya karena kegemarannya terhadap repertoire seni tertentu, seorang penguasa sanggup menampilkan pertunjukan seni yang spektakuler sebagaimana sering dilakukan oleh Raja Louis XIII dan putranya Louis XIV. Dari sini kita dapat melihat bahwa gedung-gedung kesenian itu pada awalnya hanya diperuntukkan bagi seni-seni dan sekaligus seniman-seniwati yang mau mengikuti alur politik dan kesukaan penguasa. Seniman seperti Ludwig van Beethoven telah merasakan kegetiran, agony yang tiada terperi ketika selama beberapa tahun lamanya ia tidak dapat menampilkan komposisinya di dalam gedung-gedung pertunjukan karena telah menentang selera penguasa.

3. Kemandirian sebagai Self-Reliance
Berbeda dari yang pertama, kemandirian di sini berasal dari kepercayaan diri bahwa seni pada dasarnya merupakan sosok yang otonom, yang terlepas dari berbagai matra kehidupan yang lain. Seni mendahului eksistensi yang dimiliki oleh segala yang ada di bumi. Dalam pandangan beberapa agama arkhais, pra monoteisme, yang terdapat di Assyria dan India, misalnya, penciptaan alam semesta bahkan dilakukan ketika Sang Pengada Alam itu menari. Seni di sini pada akhirnya bukan sekedar menunjukkan ekspresi, tetapi juga mewakili sesuatu yang sublime. Seni menjadi bentuk sakral yang dengan serta merta harus selalu direpresentasikan dalam setiap pribadi. Ini berarti bahwa segala ekspresi seni adalah sah, tidak seperti yang terdapat pada kemandirian semu. Kemandiriannya seolah-olah merupakan sesuatu yang sekonyong-konyong jatuh dari langit. Pandangan demikian ternyata menghasilkan hubungan seni dengan karisma. Seorang seniman, entah ia seorang penyair atau pelukis, seringkali dianggap sebagai manusia setengah dewa. Ia memiliki karisma dan pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat.Dalam masyarakat Melayu, misalnya, keadaan demikian dapat terlihat pada penyebutan ‘pujangga’ kepada para penyair. Kata ini memiliki arti yang sama dengan ‘Kawi’ dalam khazanah sastra Jawa Kuno[3].

Kemandirian ini pun tidak terlepas dari kecenderungan pemujaan atas keindahan. Walaupun keindahan itu mengalami revolusi yang sangat cepat, tetapi tetap saja ada benang merah yang dapat ditarik bahwa keindahan itu berasal dari pandangan antropomorfis. Pandangan demikian melihat manusia sebagai proyek ideal alam yang tidak berbeda dengan dewa-dewa sebagaimana dikisahkan dalam mitologi Yunani. Antropomorfisme ini memuncak pada masa Renaissance yang menjadi tonggak dasar perkembangan sejarah dunia.

Kemandirian ini seringkali tercipta pula melalui daya kreasi yang bersifat unik. Dalam seni, selalu saja ada inovasi dan kreasi yang jauh lebih variatif. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal bahwa ada kalanya semangat zaman tertentu membuat perkembangan seni menjadi sangat seragam sebagaimana misalnya terlihat pada masa Romantik dalam musik yang berlangsung selama 90 tahun (1810-1900). Dalam rentang waktu yang tidak pendek itu, public concert, misalnya, menjadi sangat populer dalam masyarakat Eropa. Seolah-olah masa Romantik ini menjadi momen awal bagi munculnya kebudayaan populer di Eropa yang serba seragam.

Ada kalanya pula dalam suatu masa yang sama bentuk seni yang satu mendukung bentuk seni yang lain sehingga menuju kemandirian bersama. Sekilas kemandirian ini hanya menjadi kemandirian yang bersifat kompromistis di antara kedua bentuk seni itu. Namun, bagaimanapun juga. Koesksistensi dalam seni pasti dapat terjadi sebagaimana terjadi di Perancis sekitar tahun 1850-1920. Pada masa itu, perkembangan seni musik berjalan beriringan dengan gerakan Impressionis dalam seni lukis. Hal demikian, misalnya, dapat dilihat pada lembar desain program yang menampilkan lukisan Impressionistik untuk repertoire ballet L’Après-Midi D’Un Faune karya Debussy.

4. Kemandirian sebagai Counter Action
Kemandirian dapat pula merupakan efek dari perlawanan atas seni yang bersifat kanon, grand, atau mayor, baik dalam teknik maupun penampilannya. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat melihat perkembangan yang dimaksud dalam kerangka dialektika Hegel. Efek perlawanan sebagai sebuah antitesis sebenarnya mencerminkan bahwa perkembangan seni tidak lahir dari kekosongan budaya. Kemandirian seni itu tidak dapat terlepas an sich dari kerangka mimetik. Bahkan perlawanan yang dilakukan oleh seni itu pun jelas memuat aspek-aspek ideologis dari sistem simbol yang dipergunakan untuk membenarkan kepentingan sempit kelompok-kelompok tertentu. Ini berarti bahwa seni pun tidak pernah sepenuhnya selalu beraksi dalam atmosfer dirinya. Seni justru seringkali merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan di luar seni, entah politis maupun ekonomis, sebagaimana terjadi pula pada agama dan ilmu pengetahuan. Di sinilah, kemandirian seni itu pada hakikatnya tidak terlepaskan pula dari medan pertarungan dan war of position.

Saya akan memberikan contoh singkat yang cukup menarik bagaimana kemandirian seni itu seringkali harus mengalami krisis dan agony yang selalu bersifat dialektis di medan kepentingan. Contoh ini saya ambil dari dua tulisan mengenai khazanah perkembangan seni film dan seni sastra di Indonesia beberapa dekade terakhir sebagai jejak-jejak yang perlu diperiksa kembali. Tulisan pertama saya ambil dari Salim Said yang berjudul “Dari Dua Pola ke Wajah Indonesia”[4]. Dalam tulisan itu, Said menyatakan bahwa seni film di Indonesia tidak bisa secara mandiri melukiskan wajah masyarakat Indonesia karena selalu terjadi krisis interest di dalamnya. Sejak awal kemunculannya di tahun 1926, tatkala Hueveldop dan Krueger membentuk Java Film Company di Bandung, seni film di Indonesia hanya menjadi komoditi dagang. Ini semakin terlihat ketika modal pembuatan film di Indonesia ditangani oleh orang Tionghoa seperti Tan’s Film Coy. Dikatakan bahwa sebagai orang Timur Asing pada masa itu, tidak banyak yang diharapkan oleh orang Tionghoa untuk membuat film yang memiliki keterlibatan sosial apalagi politik, kendati pada masa itu iklim pergerakan nasional sedang berada di atas angin. Oleh karena itu, segi komersial akhirnya menjadi alasan dan tujuan yang tidak dapat terelekkan. Namun, setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail sebagai putra pribumi memulai suatu tradisi yang sama sekali baru dalam dunia seni perfilman di Indonesia. Ia memberikan bentuk kemandirian seni film Indonesia sebagai manifestasi dari perlawanannya terhadap komersialisasi, industrialisasi, dan kapitalisasi sebagaimana dilakukan oleh perusahaan film Tionghoa pada saat itu. Melalui Perusahaan Film Nasional yang didirikannya, film yang dibuat berdasarkan cerita-cerita yang mencerminkan kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat Indonesia. Dari sudut ini, Said menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Usmar Ismail memiliki homology dengan gerakan Neo Realisme Italia yang lahir sebagai reaksi atas pola Hollywood yang mementingkan segi komersialisasi dan yang hampir tidak memberikan kesempatan berekspresi pada si pembuat film. Meskipun begitu, kemandirian yang dicanangkan oleh Usmar Ismail itu harus runtuh karena kekurangan modal, sikap masyarakat yang belum siap menerima kenyataan tentang dirinya sendiri, dan sensor yang terlalu ketat. Setelah itu, seni film di Indonesia kembali lagi kepada kebiasaan lama, yaitu sebagai alat komersial.

Tulisan yang lain berasal dari Emha Ainun Nadjib tentang “Sastra Independen”[5]. Dalam tulisan itu, Nadjib melihat kemandirian berasal dari pembebasan terhadap hal-hal yang bersifat mengekang sebagaimana pernah dilakukan oleh Chairil Anwar[6]. Namun, untuk menggariskan kembali makna kemandirian yang dimaksudnya itu, Nadjib pun mempertanyakan apakah sejarah seni sastra Indonesia memiliki kaitan yang erat dan koeksisten dengan sejarah masyarakat dan negara Indonesia. Pertanyaan demikian semakin dipertajam dengan kenyataan yang terjadi bahwa konvensi seni sastra Indonesia makin menuju kepada suatu tata nilai yang cenderung membisu. Seni sastra Indonesia diproteksi dari kaitannya dengan disiplin-disiplin lainnya sehingga melahirkan suatu paradigma yang menyatakan bahwa eksistensi seorang sastrawan adalah puisi atau prosanya. Dengan demikian, keberadaan karya sastra sebagai bagian dari proses dan protes sosial ditolak seperti yang ditegaskan oleh Sapardi Djoko Damono[7], Sutardji Calzoum Bachri, dan Abdul Hadi WM dalam Forum Penyair Muda Jakarta tahun 1982. Dalam proses demikian, seni sastra, mau tidak mau, harus tunduk pada struktur-struktur kekuasaan yang melakukan conditioning yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dalam ruang ekspresi. Oleh karena itu, Nadjib menawarkan sebuah paradigma sastra independen yang memunculkan kemampuan untuk tetap mandiri di tengah berbagai praktik sosial dalam masyarakat dan negara. Kemandirian itu harus direpresentasikan walaupun mungkin harus bertabrakan dengan kekuatan-kekuatan yang mengitarinya.

5. Burung Tanpa Sayap
Jika dalam beberapa tahun terakhir ini, publik seni Indonesia mendengar kembali istilah seni independen dalam beberapa bentuk seni seperti film atau musik, maka itu tidak berarti bahwa segi independen yang ditampilkannya memiliki kemiripan persoalan dengan krisis dan agony dari kemandirian yang dimaksud sebelumnya. Adagium bahwa “setiap perkembangan adalah unik” harus tetap dipegang. Hal demikian dapat kita baca bahwa konsep atas kemandirian itu pada dasarnya berhubungan erat dengan diskontinyuitas. Ia tidak dapat dialurkan begitu saja dalam sebuah tata kronologis yang seragam dan bersamaan. Bahkan keberadaannya sendiri bisa jadi bukanlah sebuah evolusi atau revolusi melainkan involusi yang berputar.

Kendati demikian, kemandirian tidak harus ditinggalkan. Ia harus mengalami proses probasi, trial, percobaan dalam proses komutasinya untuk menemukan kematangannya. Sebagaimana sebuah organisme, kemandirian dalam seni pun harus mengalami pergantian musim yang seringkali tidak dapat diramalkan secara pasti. Oleh karena itu, sangat naiflah bila kita menggunakan proses generalisasi yang deduktif. Dalam hal ini, basis ilmu sosial kemanusiaan yang bersifat induktif mencoba untuk terus-menerus membaca transformasi sosial dari berbagai sudut pandang, termasuk membaca konsep kemandirian seni yang selalu berubah-ubah baik secara estetis, sosiologis dan historis. Tentu saja, sebagai sebuah konsep, kemandirian ini akan berkembang, tetapi sebagai sebuah proses probasi yang potensial, kemandirian seni ini harus selalu diaktualkan, entah sebagai perlawanan, pembebasan, partikularisasi, populisasi, atau bahkan pluralisasi. Dari panorama ini, kemandirian seni bukanlah sebuah donnè (ada begitu saja sebagai sesuatu yang sudah diberikan) atau sikap mauvaisse foi (bad faith) yang dipaksakan. Tanpa kemandirian, seni hanyalah burung tanpa sayap.

Catatan Akhir


[1] Kecenderungan ini menyeruak ketika Balai Pustaka yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai Komisi Bacaan Rakyat menetapkan beberapa syarat yang harus dipatuhi oleh setiap karya sastra dan sekaligus pengarang yang berkeinginan terjun di dalamnya. Pornografi dan SARA menjadi beberapa hal yang harus dihindari, selain opini terhadap pemerintah Hindia Belanda. Belenggu karya Armijn Pane, misalnya, pernah menjadi buku yang termasuk dalam black list Balai Pustaka karena menampilkan segi sensualitas antara tokoh Tono dan Rohayah. Padahal dari kaca mata masa kini, apa yang dianggap sebagai sensualitas sebagaimana dipahami oleh Balai Pustaka dapat diperiksa kembali.
[2] Pada awalnya The Marriage of Figaro merupakan novel yang dikarang oleh Beaumarchais. Novel ini sebenarnya menyuarakan protes dan sindiran yang berasal dari kaum proletar sebagaimana diwakili oleh Figaro kepada para bangsawan dan pemerintah yang semena-mena yang diwakili oleh Count Almaviva. Dalam novel atau opera, kalimat seperti “ Count, qu’avez-vous fait pour tant de biens? Vous vous êtes donnè la peine de naitre!” (Count, apa yang telah kamu perbuat untuk kebaikan-kebaikan yang demikian banyak itu? Kamu telah mempersukar diri lahir ke dunia!”) menjadi kalimat sakti yang ditunggu-tunggu oleh pembaca atau penonton sebagai bentuk sindiran yang paling keras. Vide. Crane Brinton, Anatomi Revolusi (Jakarta: Bhratara, 1962) hlm. 85-6
[3] Pembicaraan mengenai ‘Kawi’ ini dapat dilihat pada pembahasan mendetil yang dilakukan oleh Pater Zoetmulder dalam Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta : Djambatan, 1983) hlm. 179-218
[4] Pernah dimuat dalam Prisma, 6Juni 1977, hlm. 65-75
[5] Pernah dimuat dalam Basis, Juli 1982, hlm. 259-265
[6] Ibid. Menurut Nadjib, Chairil Anwar telah menancapkan tiga tonggak penting . Pertama, pembebasan dari konvensi puisi lama. Kedua, pembebasan dari tekanan kepentingan propaganda politik. Ketiga, perjuangan menegakkan kemerdekaan kreativitas yang termanifestasikan dalam pemasyarakatan puisi dan pembebasan kata dari makna (cetak tebal dari saya).
[7] Konsensus demikian tampaknya tidak mencerminkan diri Sapardi Djoko Damono sebagai seorang penyair dan kritikus sastra sebagaimana pernah tercermin dalam tulisannya yang berjudul “ Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia; Lebah Tanpa Sengat” (Prisma 10 Oktober 1977, hlm. 51-61). Saya kutipkan beberapa pernyataannya dalam tulisan tersebut, yang sangat kontradiktif dan inkonsisten dengan pandangannya dalam Forum Penyair yang disebut Nadjib.
“Satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih sungguh-sungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya. Hanya kesungguhan itulah yang bisa menghasilkan karya yang baik. Ia harus berusaha terus untuk menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial, untuk kemudian menyusun kritiknya. Hanya dengan begitu, sastra bisa dipergunakan untuk mengukur sikap manusia terhadap persoalan masyarakat di sekitarnya” Ibid., hlm. 61