Senin, 12 Mei 2008

Ketika Keabadian Menjumpainya


Laju kereta api pagi itu tampak semakin lambat. Sudah lebih dari 10 jam, kereta ini merayap. Tapi, Yogyakarta masih tampak jauh di pelupuk mata. Seharusnya aku sudah tiba di stasiun Tugu, satu jam lalu. Aku menjadi semakin cemas seiring dengan decit kereta yang terus-menerus berhenti. Kutoarjo dan Wates mulai terlewati. Semakin dekat, batinku seperti dikoyak oleh belati yang sangat tajam. Berita yang aku terima semalam membuat aku terjaga di perjalanan. Dan terjaga di dalam kereta seperti ini adalah sebuah penderitaan baru bagiku. Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi, air mata ini tidak pernah mau keluar.
Dua jam setelah itu, kereta mulai menepi. Aku segera lompat keluar dari gerbong yang tidak begitu sesak. Adikku sudah berada di depanku. “Mama sudah menunggu kita di rumah, Mas. Mengapa baru datang?” Aku hanya membisu. Aku lihat guratan biru masih terseka di wajahnya. Aku semakin sedih. Pada saat itu juga kami meninggalkan stasiun. Kami harus sesegera mungkin berada di rumah. Mama pasti sudah menunggu...
Sudah satu setengah tahun, aku tinggalkan rumah. Namun, hawa sejuk dan kibasan cemara yang tumbuh di sepanjang jalan masih menyambutku. Kabut Merapi, meskipun sudah mulai menipis, masih teronggok kokoh di sana. Sisa-sisa bencana yang lalu pun masih menyapa. Namun, tetap saja ada yang hilang. Satu setengah tahun yang lalu, beratus-ratus kilometer aku dan istriku lewati untuk menyambut hari pernikahanku. Kami semua bergembira. Seolah-olah kenangan manis itu menjadi sesuatu yang abadi.
Namun, hari ini, aku mulai belajar bahwa tidak ada sesuatu pun yang abadi. Mobil adikku berhenti tepat di depan rumah. Terlihat banyak orang, sibuk dengan berbagai hal. Seolah-olah kenangan satu setengah tahun lalu berulang kembali. Aku dan istriku disambut dengan kemeriahan dan kegembiraan para tetangga desa. Namun, kali ini sangat berbeda. Mama melihatku dari ruang tamu. Aku benar-benar tidak sanggup melihat kedua bola matanya yang sedih. Aku tidak dapat menggambarkannya karena terlalu sakit untuk sebenarnya dikatakan. Aku hanya dapat berjalan lurus ke arahnya dengan bahu yang lemas. Melihatku, mama masih terdiam. Matanya hanya menunjukkan kepadaku sebuah peti besar yang tertancap di ruang tengah. Tapi, aku langsung memeluk tubuh yang melahirkanku itu. “Ma, aku sudah tahu. Papa pasti sudah bahagia di sana.” Tubuhnya mulai gemetar. Ada isak tangis yang tidak terdengar di sana. Aku tahu bahwa kami telah kehilangan orang yang paling kami cintai.
Aku beranikan diri untuk mendekati peti itu. Tidak pernah terbayangkan bahwa kedatanganku kali ini hanya untuk melepaskan kepergian jenazahnya. Air mataku masih tidak dapat keluar. Inilah kesombongan laki-laki. Namun, wajah di peti itu menyirnakan kesedihanku sesaat. Aku melihat papa tertidur di sana. Sangat tenang. Senyumnya masih terulas di sana. Tangannya kuat memegang rosario yang telah menjadi sahabatnya. Papaku gagah dengan setelan jas dan kemeja yang pernah ia kenakan dalam pernikahanku, meski tanpa sepatu hitam kesayangannya. Mungkin ada yang tertinggal. Mungkin memang harus ada yang ditinggalkan. Meski memang tiada yang abadi, aku percaya, ia telah menjumpai keabadian. Kepergiannya telah mengajariku satu hal lagi yang sangat berharga. Kita semua akan dijumpai oleh keabadian itu. Meski, memang, aku ingin menangis sekeras-kerasnya.

Tidak ada komentar: