Jumat, 23 Mei 2008

Satu Nama Saja!


Influence, like those other categories, is subjective. Inilah kalimat kedua yang ditulis oleh Richard Stengel, Managing Editor majalah TIME untuk edisi 100, The Most Influental People in the World (http://www.time.com/). Memang menarik untuk menyimak mengapa majalah ini punya tradisi untuk menghadirkan 100 orang yang paling berpengaruh di dunia. Ternyata, seperti kata Stengel, TIME lebih meyakini bahwa pengaruh lebih kuat daripada kekuasaan. Kekuasaan, entah tampil dalam bentuk kepandaian atau kekayaan, mungkin dapat menindas. Namun, pengaruh lebih menjadi jembatan emas yang natural bagi potensialitas manusia.

Ternyata, hampir semua profil tokoh yang dikupas TIME ditulis pula oleh tokoh-tokoh yang mumpuni di bidang lain. Misalnya, Madeleine Albright, mantan Sekneg Amerika Serikat, menulis profil Vladimir Putin. Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia, bertutur tentang profil sahabatnya, George W. Bush. Secara menarik, profil pasangan Brad Pitt dan Angeline Jolie dibicarakan oleh George Clooney. Sedangkan Michelle Obama, istri Barack Obama, mengupas profil Oprah Winfrey Meski tampak seperti testimoni, profil-profil tokoh itu jadi terlihat manis bak surat cinta kekasih di pagi hari.Membaca profil 100 tokoh adalah juga membaca kisah persahabatan dan komunikasi yang unik.

Namun, apakah hanya atas nama persahabatan, semua profil yang ditulis harus tampak positif ? Adakah di dalamnya terpetik pula sedikit kekhawatiran bahwa suatu saat persahabatan itu menjadi sebuah tirani yang tidak dapat mereka kendalikan? Dan pada akhirnya mereka tidak dapat mengenali lagi apa artinya menjadi sahabat?

TIME memang tidak ingin menampilkan paradoks ini. Pasalnya, membicarakan orang dengan kacamata positif ternyata jauh lebih berharga. Jauh lebih bermartabat. Meski ada semacam kepanikan kecil di sana, paradoks itu adalah sebuah risiko yang wajar. Meski perlu diakui bahwa pengaruh cenderung membimbing orang pada satu garis yang sama dan lurus. Secara diam-diam, karena pengaruh, akhirnya orang pun dapat pula tidak kritis. Dapat tidak mawas diri. Dapat melupakan dirinya dan tidak dapat memandang dengan jernih bahwa dalam pengaruh, tetap ada persilangan berbagai prinsip yang berbeda.

Akan tetapi, dalam tataran ideal, pengaruh seharusnya menghasilkan aksi nyata. Pengaruh baik menghasilkan kebaikan. Pengaruh juga harus selalu menginspirasi potensialitas. Homerus menginspirasi Shakespeare muda untuk menulis tragedi. Karena itu, sesungguhnya, pengaruh tidak dapat menyesatkan, apalagi membunuh, dan menghancurkan. Pengaruh adalah mesin penggerak peradaban. Konon, tanpanya, kita ini bergerak seperti burung tanpa sayap.

Dua tahun sudah, masyarakat Lapindo tidak bergerak dalam detak peradaban. Sayap-sayapnya patah. Eksistensinya tidak dibingkai lagi dalam sepucuk surat cinta. Mereka terkatung-katung tanpa pengharapan.Harga diri mereka mulai terkikis dan kandas. Karena penderitaan, masa depan anak-anak mereka mulai menjadi ilusi dan omong kosong yang terus dirayakan dalam media massa.

Sampai hari ini, pemerintah belum juga tergerak untuk segera menyelesaikan derita mereka dengan cara yang lebih bermartabat. Seolah-olah Lapindo menjadi sebuah gugusan lain di luar peta bumi nusantara. Bukankah alamnya telah diperkosa habis-habisan oleh mesin-mesin industri? Bukankah peluh mereka tertetes untuk menyejahterakan segelintir orang di Jakarta? Maka tak heran bila kepedihan mereka hanya di jatuh di bawah kaki mereka sendiri. Dua tahun Lapindo seakan-akan tidak punya pengaruh yang signifikan dalam agenda nurani pemerintah.

Selama itu pula, kita semua bisa mencatat bahwa Lapindo adalah sebuah testimoni kegagalan sebuah negara dalam menjamin kesejahteraan dan keselamatan penduduknya. Tidak ada aksi nyata, selain ratusan himbauan agar mereka bersabar. Tidak ada aksi nyata, selain hukuman bagi para demonstran. Rasanya, sudah habis kata untuk mengatakan ini. Enough is enough! Pemerintah sudah keterlaluan!

Dari 200 juta orang di negara ini, ada ratusan dan bahkan ribuan orang di gedung parlemen. Saya ingin bertanya apakah Stengel dan TIME mampu menambahkan satu nama saja anggota parlemen sebagai tokoh ke-101. Ya, satu nama saja yang mampu beri harapan untuk bersyukur bahwa kita bukan bangsa pengecut dan biadab! Bahwa kita bangsa yang peduli. Bahwa kita bangsa yang tidak tuli. Tuli budi dan nurani! Ya Tuhan, satu nama saja!

2 komentar:

sigit mengatakan...

Satu nama itu mungkin adalah namaku Her.... hehehe....

The Dodo mengatakan...

wow pak heru

sangat disayangkan bahwa bukan lapindo saja peristiwa yang terjadi karena negligence pemerintah. banyak kejadian serupa di daerah telah terjadi tanpa sedikitpun berita yang diulas.

tapi penderitaan yang sama.