Senin, 12 Mei 2008

Antara Dendam dan Trauma


Saya dan istri memelihara tiga ekor ikan dalam akuarium. Dua ekor berasal dari spesies yang sama, sedangkan yang lain berbeda. Pada mulanya, ketiga ekor ikan tersebut sangat rukun. Jika mereka berpapasan, mulut mereka seolah-olah saling menyapa satu sama lain. Kehidupan mereka tampak harmonis. Hal ini membuat kami berdua lebih bersemangat untuk semakin memperhatikan mereka.
Namun, seiring dengan pertumbuhannya, perangai mereka pun mulai berubah. Kami melihat bahwa mereka mulai saling menyakiti. Mulut yang biasa dipergunakan untuk menyapa sekarang dipergunakan untuk saling menggigit. Mereka tidak lagi hidup sebagai sebuah kelompok. Mereka mulai saling menghindar. Tampaknya masing-masing telah menjadi ancaman bagi yang lain.
Istri saya sedih melihat hal itu. Dari pengamatannya ia melihat bahwa ada satu ekor ikan yang ingin menjadi penguasa akuarium. Ia sangat lincah untuk menebar rasa takut kepada kedua ikan yang lain. Oleh karena itu, kami sepakat untuk memisahkan ikan tersebut ke dalam akuarium lain agar setiap hari tidak terlihat kekejaman di sana.
Kejadian seperti ini selalu luput dalam dunia kita. Ia tidak pernah menjadi berita yang besar di media massa. Ia bahkan tidak pernah menjadi topik pembicaraan sehari-hari kita. Namun, bukankah apa yang terjadi di dalam akuarium itu dapat menjadi cermin bagi hidup kita?
Dalam sejarah peradaban manusia, kekerasan dan kekejaman telah terpatri sebagai kenyataan yang tidak terelakkan. Sejarah manusia tidak selalu dipenuhi oleh cerita kepahlawanan yang penuh dengan sorak-sorai. Namun, sejarah manusia pun selalu diisi oleh cerita-cerita sedih dan sakit hati yang abadi. Cinta, kasih sayang, dan keadilan hanya menjadi semboyan hampa yang seringkali dipergunakan sebagai alasan untuk saling menguasai. Jika pun ada, kata-kata itu hanya hidup sebagai sebuah memori dari ajaran agama yang diam-diam sering pula kita pertanyakan kembali dalam kehidupan metropolis ini. Apakah kata-kata itu masih ada ketika persaingan kapital berlaku?
Apapun yang disebabkan oleh tindakan saling menyakiti itu membuat kemanusiaan kita runtuh. Tindakan itu tidak hanya berbuah dendam, melainkan juga trauma yang mempengaruhi semua kejiwaan kita. Dendam dan trauma membuat hidup kita timpang. Hidup tidak lagi menjadi sebuah berkat dan syukur, melainkan derita dan sesal. Karena hal itu juga, tidak jarang kita mulai mempertanyakan kerahiman Tuhan dalam diri kita. Kita bertanya-tanya pada Tuhan mengenai keadilan yang sesungguhnya. “Mengapa, ya Tuhan, mereka yang menoreh luka di hati kami, justru Engkau beri hidup dan berkat yang berlimpah? Sementara, dari hari ke hari kami harus menanggung sakit hati ini?”
Pertanyaan-pertanyaan demikian telah menjadi kisah tersendiri dalam kehidupan iman kita. Melonjaknya biaya kebutuhan pokok, BBM, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya tidak disangkal telah menciutkan semangat kita untuk memandang masa depan dan juga menantang iman kita. Bila ditambah dengan permasalahan pribadi kita masing-masing, beban ini mungkin akan menuntun kita menuju semangat kegilaan dan frustasi yang baru. Namun, apakah segala beban ini menjadi bentuk dari konsekuensi kita sebagai murid-murid yang bersedia memanggul salib? Saya dan istri tidak dapat memastikan jawaban mana yang benar. Walau ada kekerasan dan kekejaman di luar sana, kami berdua sepakat tidak meninggalkan salib itu. Kami berdua sepakat untuk tidak menyangkal teladan-Nya tentang solidaritas dan bela rasa, walau ayam terus berkokok dan terjangkiti virus flu burung. Entah sampai kapan…

********

Tidak ada komentar: