Jumat, 21 November 2008

Sang Guru dan Pohon Filicium


Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang Jebat dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan bertengkar.[1]

A. Prolegomena
Tidak banyak buku yang didedikasikan oleh seorang murid kepada guru-gurunya di masa lalu.Tidak banyak pula buku yang merekam hubungan tulus antara para guru dan murid-muridnya. Seingat saya, Edward Said, seorang profesor sastra, pernah mendedikasikan buku Orientalisme yang pernah ditulisnya secara serius kepada gurunya, Ibrahim Abu-Lughod. Isi buku itu memang tidak pernah secara eksplisit menyinggung hubungan akrab diantara mereka berdua. Namun, apa yang sebenarnya ia tulis diakui sebagai hasil diskusi yang intens dan bermuara dari semangat yang sama di antara mereka berdua. Pada satu kesempatan, Edward Said mau tidak mau harus bersaksi tentang persahabatan yang telah mereka jalin selama 50 tahun. Ia tampaknya merasa tidak betah untuk tidak membeberkan betapa sang guru memiliki andil yang besar dalam karir akademis dan kehidupan pribadinya sekaligus. Ketika sang guru meninggal, Edward Said menulis sebuah eulogi, My Guru, yang sangat menyentuh.[2] Selain itu, saya juga mencatat bagaimana peran murid-murid Ferdinand de Saussure, bapak Linguistik Modern, dalam menerbitkan catatan-catatan kuliahnya yang belum sempat dibukukan dalam A Course in General Linguistics. Tidak ada satupun di antara mereka yang pernah mengklaim bahwa isi buku itu merupakan hasil penafsiran mereka. Mereka sepakat bahwa segala hal yang tertulis adalah hasil pemikiran orisinil sang guru.


Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata Seman bukanlah buku yang ingin menampilkan refleksi teoretis seperti kedua buku tadi, walaupun di sana-sini ditemukan banyak nomenklatur yang beraroma sains. Laskar Pelangi, bagi saya, adalah sebuah refleksi batin dalam bentuk naratif. Refleksi batin itu berbicara kepada saya tentang kekuatan harapan dan semangat untuk berbagi dalam persahabatan. Untuk menyampaikan hal itu, Andrea memilih pendidikan sebagai jalan masuknya. Namun, pendidikan yang dimaksud dibicarakan dengan cara yang berbeda. Ia tidak dibicarakan sebagai sebuah bentuk politik peradaban massa yang di dalam dirinya sendiri seringkali bertentangan. Ia juga tidak dibicarakan sebagai sebuah masalah nasional yang harus segera dipikirkan karena buku ini memang tidak berpretensi sebagai sebuah buku kritik sosial. Pendidikan lebih dipandang secara awam sebagaimana kita menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Papan nama sekolah, senyum ramah para guru, kelakar dan canda para murid, bangku kelas yang usang dan reot, atau raport yang seringkali berwarna merah menjadi beberapa bentuk yang paling kongkret di dalam refleksi itu. Inilah yang menjadi kekuatan utama dalam Laskar Pelangi. Bukankah beberapa hal itu pula yang seringkali kita kenang setelah kita meninggalkan masa lalu? Selain keluarga, dimanakah lagi kita pertama kali mulai menjadi pribadi yang paling beruntung?

Oleh karenanya, saya berpikir mungkinkah Laskar Pelangi dapat kita sebut sebagai sebuah teks narasi retrospektif dan nostalgia sekaligus bagi kita, para pembacanya, untuk memandang wajah pribadi-pribadi yang berpengaruh dalam hidup kita? Mungkinkah, melalui buku ini, kita dapat menghargai perjumpaan kita dengan masa lalu sebagai salah satu akar pohon kehidupan kita yang tidak tergoyahkan? Dapatkah, melalui buku ini pula, kita membangun sebuah citra perjumpaan antarpribadi yang lebih manusiawi di masa depan?

B. Antara Panggilan Hidup dan Tragedi
Selain berbicara mengenai persahabatan akrab yang pernah terbangun di masa lalu, buku Laskar Pelangi ini didedikasikan oleh pengarangnya kepada kedua gurunya di masa lalu; Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor. Kedua nama itu tidak hanya hadir di halaman persembahan buku ini, tetapi memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam bab-bab pertama. Tampaknya, Andrea memiliki segudang memori tentang mereka. Ia bahkan mampu melukiskan raut wajah serta perangai mereka satu demi satu secara terperinci. Ia mengetahui bedak tepung beras yang terpoles di wajah Ibu Muslimah, silabus pelajaran budi pekerti yang disusunnya, wajah Pak Harfan yang mirip dengan aktor Tom Hanks dalam film Cast Away, atau kaus dalamnya yang berlubang di beberapa bagian.

Kita pun mungkin memiliki memori yang hampir sama dengan Andrea. Ada banyak guru yang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Mereka pernah menjadi figur-figur yang kita idolakan lebih daripada selebritis super manapun. Mereka hangat dan selalu menjadi tempat yang teduh untuk berkeluh kesah bak pohon filicium. Mereka datang bagaikan pelita yang menerangi segala gundah ketika tiada seorang pun yang peduli. Namun, di balik kehangatan itu, mereka dapat berubah menjadi monster yang bengis, yang siap mencabik-cabik kita dalam ketidakberdayaan. Mereka pun dapat menjadi suara yang tidak pernah kita inginkan dalam hidup ini. Kita memuji dan menyanjung mereka. Namun, tidak jarang kita kecewa kepada mereka karena ternyata mereka bukanlah sepenuhnya dewa. Mereka tetaplah manusia biasa.

Dalam kehidupan nyata, kita memahami bahwa Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah beberapa pribadi yang telah menggantungkan hidupnya sebagai guru. Kita memahami bahwa untuk menjadi seorang guru, seseorang tidak hanya harus memenuhi segala syarat akademis, melainkan juga semangat. Ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang guru pertama kali, ibu saya pernah mengatakan bahwa semangat ini terlalu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Secara ideal, semangat itu hanya dapat terlihat pada segala praksis kehidupannya sehari-hari, selain di depan kelas. Akan tetapi, menurut beliau, seorang guru bukanlah gambaran dari manusia sempurna tetapi manusia yang ingin selalu menyempurnakan dirinya. Semangat demikian juga menandakan bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan hidup. Panggilan ini tentu saja dapat semakin tersemai jika keputusan batin yang matang pun mendasarinya. Tanpa keputusan seperti ini, menjadi guru hanyalah sebuah tragedi. Dalam Laskar Pelangi, tragedi seperti itu tampaknya tidak tersurat secara langsung pada kehidupan Ibu Muslimah atau Pak Harfan.

Namun, secara diam-diam, kita dapat melihat bahwa Andrea ingin menunjukkan bentuk tragedi lain yang dialami oleh kedua gurunya itu. Andrea tampaknya mahfum benar dengan kondisi kedua gurunya yang berkarya pada sekolah Muhammadiyah di Belitong. Sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan berbasis agama itu mustahil kita bayangkan sebagai model sekolah yang memiliki basis finansial yang sangat kuat seperti sekolah nasional plus atau sekolah internasional yang menjamur pada masa kini. Sejauh ini saya memahami bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh yayasan berbasis agama seperti Muhammadiyah bagi umat Muslim atau Kanisius bagi umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang tidak mendasarkan dirinya pada orientasi bisnis. Pendidikan yang digerakkan dalam yayasan-yayasan tersebut biasanya bersifat karitatif. Dalam sebuah penelitian etnografisnya mengenai sepak terjang Muhammadiyah di Indonesia, James L. Peacock pernah mencatat bahwa misi utama Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam adalah untuk kembali kepada kebenaran yang pokok dari ajaran agama dan tradisi Islam sesuai dengan Al Qur’an dan Hadith Nabi.[3] Gerakan ini disimbolkan dengan semboyan “Amar Makruf Nahi Mungkar”. Misi ini, salah satunya, diimplementasikan dalam pendidikan bercorak pesantren dan madrasah (terpisah menurut jenis kelamin). Baru setelah kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah mengembangkan pula sekolah campuran dengan gaya sekolah pemerintah yang tingkatannya sejajar dengan SD, SMP, dan SMA[4]. Sekolah-sekolah itu tidak hanya terdapat di pusat kota tetapi justru lebih banyak ditemukan di daerah-daerah marginal yang seringkali tidak dapat tersentuh oleh transportasi dan instrumen peradaban modern. Sebagai sebuah karya karitatif, tampaknya, sekali lagi, sekolah Muhammadiyah tempat Ibu Muslimah dan Pak Harfan berkarya pun tidak dapat berspekulasi untuk menjamin kesejahteraan mereka dengan stabil. Hal demikian dapat dipahami karena yayasan harus menanggung biaya operasional sekolah-sekolah lain yang tersebar. Tidak jarang, sebagaimana terjadi pula pada yayasan Kanisius, banyak sekolah yang terpaksa ditutup.

Kesejahteraan menjadi tragedi lain yang tampaknya harus ditanggung. Bukankah hal ini pula yang sedang ramai-ramai diteriakkan oleh para guru swasta, khususnya yang berkarya dalam yayasan pendidikan berbasis agama? Dari permasalahan ini pula, kita dapat membayangkan bagaimana nasib guru-guru seperti Ibu Muslimah atau Pak Harfan yang berkarya di tempat-tempat marginal, yang minim dari berbagai fasilitas peradaban modern. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru yang mengampu berbagai pelajaran harus diupah hanya dengan 15 kilo beras sebulan. Kita dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru di pedalaman yang setiap hari harus berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk bertemu dengan murid-murid yang ia sayangi. Kita pun dapat membayangkan bagaimana nasib seorang guru yang tidak pernah bisa membelikan buku pelajaran untuk anaknya sendiri, dan seterusnya.

Secara sadar atau tidak, pernyataan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa justru semakin menegaskan bahwa guru-guru kita memang tidak pernah sejahtera. Sejak masa kolonialisme, guru-guru kita memang selalu diplot sebagai pribadi-pribadi yang nrimo, pasrah apa adanya. Tidak boleh berteriak. Tidak boleh protes. Tidak boleh menuntut. Tidak boleh berkata “tidak!”. Seolah-olah guru adalah makhluk yang lepas bebas dari segala tuntutan materi dan duniawi. Hal demikian mungkin terjadi karena selama beberapa waktu kita memandang istilah guru dekat dengan dunia rohani yang berkuasa untuk mendidik dan menjaga keimanan umat (sic!). Saya mengamati bahwa di lingkungan pemerintah dan yayasan swasta pada masa kini ada kecenderungan untuk mengganti istilah itu dengan istilah lain, seperti pengajar, penilai, tutor, fasilitator, administrator, atau bahkan manajer kelas. Saya tidak tahu apakah pergantian istilah ini juga merupakan semacam strategi untuk semakin menghargai guru sebagai sebuah profesi yang profesional atau semacam dalih untuk meredam semangat guru sebagai agen perubahan sosial. Bukankah dengan pergantian istilah itu, posisi guru justru bergeser menjadi sekedar karyawan atau pekerja dalam sebuah perusahaan? Istilah-istilah pengganti itu secara diam-diam telah melenyapkan peran guru sebagai pendidik.

Kalau boleh jujur dengan keadaan masa kini, faktor kesejahteraan memang menjadi prioritas pertama bagi guru, terutama bagi mereka yang bekerja di wilayah terpencil dan yang bernaung di bawah yayasan pendidikan berbasis agama. Peran mereka tidak dapat kita nafikan dan kita katakan kecil bagi bangsa ini. Tanpa mereka yang pernah berupah 15 kilo beras sebulan, kita yakin bahwa tidak pernah muncul seorang Andrea yang mampu mengenyam pendidikan S-2 di Inggris, mendengarkan The Doors, atau menikmati hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire. Namun, apakah faktor kesejahteraan itu memang menjadi satu-satunya harapan yang dirindukan oleh para guru?

C. The Politic of Recognition
Selama beberapa tahun ini, saya tidak menyangkal bahwa faktor kesejahteraan adalah penting. Namun, faktor tersebut bukan menjadi hal yang terpenting. Pengakuan terhadap guru secara sosial dan budaya adalah hal yang lebih harus kita perhatikan. Sejauh ini peran guru hanya diakui oleh masyarakat dalam adagium guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau guru sebagai pelita dalam kegelapan. Itu pun dilakukan ketika hari jadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dirayakan dalam upacara bendera. Selebihnya, semboyan itu semakin sumbang dan tenggelam berbarengan dengan maraknya tawuran, aksi contek-menyontek di ujian akhir, seks bebas di kamar mandi sekolah, penyalahgunaan narkoba, dan delikuensi moral yang dilakukan oleh oknum guru.

Saya juga tidak dapat menutup mata bagaimana guru masa kini tidak memiliki bargaining power dalam menentukan kebijakan sekolah. Guru bisa dengan mudah dikomplain, dikooptasi, dan disomasi oleh para orang tua murid melalui kepala sekolah hanya karena mereka merasa telah membayar iuran sekolah dengan jumlah rupiah atau dollar yang tinggi. Sekolah menjadi arena kepentingan di antara para orang tua murid dengan dalih-dalih edukatif. Hal demikian belum ditambah dengan beban kurikulum dan tugas administrasi yang semakin berat. Sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kita laksanakan, misalnya, ternyata membuat guru-guru kita pontang-panting setiap hari dalam menyiapkan instrumen dan bahan pengajaran bagi murid-murid. Ketidakmampuan seorang guru dalam mengikuti sistem kurikulum yang berlaku membuat dirinya pasrah untuk ditinjau kembali atau bahkan diragukan berdasarkan penilaian kompetensi yang seringkali subjektif. Penilaian kompetensi guru seperti ini jugalah yang pada akhirnya dikhawatirkan oleh mereka yang berkarya di wilayah terpencil atau marginal. Bagaimanakah mungkin seorang guru yang berkarya di wilayah Sorong, Papua, memiliki kompetensi teknologi yang sama dengan rekannya yang bekerja pada sebuah sekolah unggulan di Jakarta?

Pengakuan bahwa profesi guru berbeda dengan profesi karyawan atau pekerja mutlak dilakukan. Hal ini bisa diimplementasikan dengan memunculkan kembali tugas utama dan citra guru sebagai pendidik. Citra ini harus diperbaharui dari dalam dan dari luar dirinya sendiri sehingga guru tidak digambarkan sebagai seorang intelektual yang bodoh, pongah, dan lugu, seperti yang tercitrakan dalam sebuah iklan shampoo di televisi swasta. Iklan itu menggambarkan seorang guru sebagai pribadi yang panik, yang tidak berbuat apa-apa, kecuali menyeka keringatnya ketika ia bersama murid-muridnya terjebak dalam sebuah lift. Apakah iklan ini juga merupakan gambaran aktual bahwa guru-guru kita tidak pernah bisa menyelesaikan segala persoalan pendidikan bersama? Apakah permasalahan pendidikan pun harus diselesaikan oleh para selebritis kita? Apakah untuk hal ini , kemampuan guru harus semakin ditingkatkan terus-menerus? Kendati begitu, tampaknya penilaian terhadap kompetensi guru pun harus disesuaikan dengan berbagai kondisi secara kontekstual dan selaras dengan bargaining power yang dimiliki guru secara otonom.

D. Pohon Filicium: Sebuah Memori dan Janji
Buku Laskar Pelangi, bagi saya, adalah bentuk pengakuan Andrea secara sosial terhadap guru-guru yang dicintainya. Berkali-kali dalam beberapa bab berikutnya, ia selalu menyatakan bahwa tanpa kehadiran mereka, ia tidak pernah merasa beruntung. Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah inspirator awal yang memberikan pondasi mendasar dalam kehidupannya. Saya rasa, refleksi ini menjadi bentuk pengakuan yang paling jujur. Dengan kesaksian seperti ini, kita diajak kembali untuk menghargai setiap usaha yang pernah dilakukan oleh para guru kita di masa lalu. Kita tidak hanya diajak untuk mengingat rona wajah mereka ketika mereka marah terhadap kita, melainkan juga senyum yang menyejukkan tatkala kita jatuh. Kita diajak untuk memandang para guru bukan sekedar sebagai peristiwa yang dapat berlalu, melainkan sebuah memori dan momen inspiratif dalam kehidupan kita. Ini adalah pengakuan sederhana yang dapat kita lakukan. Untunglah, Andrea mengerti hal itu. Ia mengerti bahwa Ibu Muslimah dan Pak Harfan adalah pohon filicium tua rindang yang meneduhinya.

******

[1] Andrea Hirata Seman, Laskar Pelangi, PT Bentang Pustaka: Yogyakarta, 2005, hlm. 64.

[2] Edward Said, “My Guru”, dalam LRB letters page (14 Januari 2002).

[3] Vide. James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia, Penerbit Cipta Kreatif: Jakarta, 1975, hlm. 25.

[4] Ibid., hlm. 62

Tidak ada komentar: