Jumat, 21 November 2008

Sejenis Monster yang Tersembunyi dalam Pendidikan


Kegilaan selalu dilarang.
(Michel Foucault)

A.Belajar pada Abdullah
Agaknya pada saat ini, kita memiliki kesulitan untuk membayangkan bagaimanakah situasi pendidikan tradisional di negeri ini lima sampai tujuh abad yang lalu. Kendati begitu, hal ini tidak berarti bahwa kita tidak mampu memeriksa situasi tersebut dengan serius. Untuk mendapatkan perspektif tentang hal yang kita permasalahkan ini, mereka yang ingin memahami masa kini dari sudut pandang masa lalu, dapat berhutang pada Hikayat Abdullah, tanpa menafikan berbagai hasil penelitian mendalam yang telah dilahirkan oleh pakar pada abad ini.
Hikayat yang ditulis oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ini seringkali diklasifikasikan sebagai karya sejarah (Melayu). Tampaknya di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dapat dianggap sebagai data dalam penulisan sejarah. Salah satu bagian yang menjelaskan bagaimana pendidikan tradisional itu dilaksanakan, secara langsung berhubungan dengan pengalaman penulisnya sendiri dalam rangka mempelajari bahasa Arab. Abdullah mencatat bahwa pada masa itu bahasa Arab memiliki nilai prestise yang lebih tinggi daripada bahasa Melayu. Bahasa Arab adalah bahasa surga dan bahasa peradaban, sedangkan bahasa Melayu adalah bahasa pergaulan dan bahasa pasar (lingua franca). Posisi demikian membuat bahasa Arab menduduki tempat terhormat secara sosial dan mengimplikasikan posisi bahasa Melayu yang cukup marginal. Karena label ini, berbondong-bondonglah para pribumi belajar ke pusat-pusat pendidikan bahasa Arab di daerah Melayu agar penghayatan keimanan mereka semakin mendalam dan mereka mendapat pengakuan sosial yang lebih baik di mata masyarakat.
Kendati bertujuan demikian, Abdullah mengakui betapa mempelajari bahasa Arab pada masa itu tak ubahnya seperti memasukkan dirinya dalam teror yang tiada kunjung sirna. Menurutnya, hampir setiap hari ia harus menerima dengan pasrah teguran-teguran yang menyakitkan dan hukuman yang sangat keras dari sang guru. Tidak jarang ia harus mendapatkan bogem mentah, tendangan, dan siksaan fisik lainnya. Lebih daripada itu, Abdullah juga bersaksi bahwa hukuman-hukuman tersebut sepertinya dilaksanakan melalui alat-alat tertentu yang sanggup membuat si pembelajar menjadi lebih cepat dalam menguasai bahasa Arab, seperti penjepit lidah, cambuk berduri, atau tiang gantungan. Beberapa alat penyiksa itu dibuat agar si pembelajar dapat semakin berkonsentrasi dengan studinya itu. Sebagai konsekuensi, setiap kesalahan adalah usaha untuk menghancurkan diri sendiri.
B. Tata Etika dalam Pendidikan
Apa yang dinyatakan oleh Abdullah dapat kita analisis dalam dua artikulasi. Di satu pihak, sebagai sebuah fiksi, informasi yang dibawa oleh Hikayat Abdullah itu bisa jadi hanya merupakan sekumpulan narasi hiperbolis sebagaimana sering ditampilkan dalam cerita-cerita berjenis balada. Di lain pihak, sebagai sebuah fakta sejarah, informasi ini bisa menjadi data yang dapat dipergunakan sebagai inspirasi historiografi dalam memandang pendidikan tradisional. Di sini kita dapat bersikap sesuai dengan cara pandang kita masing-masing dalam menemukan kebenaran dalam teks. Hikayat Abdullah hanya menjadi semacam miniatur atas suasana pendidikan tradisional di daerah Melayu yang sejak awal ternyata telah tercampur dengan praktik kekerasan.
Berbicara mengenai pendidikan tidak pernah terlepas dari institusi yang disebut sebagai sekolah, akademi, atau perguruan tinggi. Tampaknya institusi demikian sebagai bentuk pendidikan modern, jelas berbeda dengan pendidikan tradisional dalam segala hal. Bagi kita, sekolah, akademi, atau perguruan tinggi bukanlah hasil rekacipta yang dirancang oleh nenek moyang kita, melainkan warisan budaya para bangsa penjelajah dan penjajah yang perlu diakui. Akan tetapi, ide mengenai kedisplinan berstudi dan kepatuhan serta rasa hormat kepada pengajar tidak pertama-tama sepenuhnya berasal dari bangs-bangsa itu. Kedisplinan dan kepatuhan adalah tata etika yang sejak semula, secara sadar atau tidak, telah menjadi semacam konvensi dan keutamaan yang diwariskan turun-temurun. Bahkan pada masa Majapahit, tata etika ini menjadi pusat tujuan dan makna dari pendidikan itu sendiri sebagaimana terdapat dalam naskah Wrhaspatitattwa. Meskipun begitu, dari sini pun kita masih dapat melihat ketimpangan struktural yang dibawa oleh pendidikan model itu. Tata etika masih menjadi milik yang eksklusif bagi mereka yang berada di wilayah kuil dan kerajaan.
Tidak dipungkiri bahwa institusi-institusi pendidikan modern yang telah disebutkan di atas merupakan ruang sosialisasi bagi penanaman nilai setelah rumah. Sebagaimana kompetisi dalam pendidikan tradisional yang diarahkan kepada nilai-nilai kebijaksanaan budi, keluhuran hati, dan terkendalinya segala nafsu badaniah, pendidikan modern pun ingin melaksanakan cita-cita tersebut. Namun, sayangnya, sejauh pengamatan saya, usaha itu belum berjalan dengan semestinya. Di negeri ini, institusi pendidikan hanya berfungsi sebagai tempat penampungan dan ruang tunggu bagi para calon tenaga kerja. Situasi ini pun menyebabkan struktur hubungan antara pihak sekolah dengan anak-anak didiknya berada dalam relasi tindakan rasional bertujuan alias hubungan antara pembeli dengan penjual. Pihak sekolah sekali waktu hanya menjadi tempat penitipan anak dari para orang tua yang mendambakan kehidupan ini berputar selama lebih dari 24 jam. Sementara itu, anak-anak didik hanya menjadi sumber investasi modal yang potensial dan aktual dari pihak sekolah atau yayasan.Situasi chaos seperti itu, jika dibiarkan begitu saja, justru akan menghalangi dan bahkan menutupi cita-cita luhur pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

C. Teror : Monster yang Tersembunyi
Di pihak lain, cita-cita ini ternyata mengalami paradoks ketika institusi pendidikan berkembang menjadi ruang yang terselubung bagi terjadinya tindak kekerasan yang sangat laten. Disadari atau tidak, institusi ini berubah menjadi sebuah asilum sosial ketika menerapkan peraturan-peraturan sebagai legitimasi dari kekuasaan, bukan sebagai sarana demi keteraturan itu sendiri. Hukuman sebagai bentuk konsekuensi lebih ditekankan daripada penghargaan sebagai bentuk konsekuensi yang lain. Di sini hukuman menjadi teknik untuk melegalkan kekuasaan (pemerintah) sekolah kepada anak didik.
Semakin banyak peraturan yang diberikan dan ditetapkan, semakin banyak konsekuensi negatif yang disediakan. Tidak jarang bila dari keadaan itu, banyak anak didik yang merasa tidak kerasan, tidak feel at home di sekolahnya sendiri dan berkeputusan untuk menjadi pemberontak yang tergabung dalam kelompok tawuran. Padahal, sebagaimana yang pernah saya alami di Jakarta, banyak di antara mereka yang memiliki harapan untuk menyandarkan diri pada perlindungan sekolah, termasuk kasih sayang dan perhatian dari para guru sebagai orang tua. Mereka berpaling kepada sekolah karena rumah sudah tidak dapat menyediakan hal itu. Rumah hanya menjadi ruang kosong, tempat kesepian dan tangis menjadi satu. Bahkan tidak jarang, bagi beberapa siswa yang menjadi nomaden karena broken home, sekolah, dalam arti fisik dan batin, menjadi satu-satunya rumah yang dapat diandalkannya.
Peraturan-peraturan sekolah yang terlalu ketat biasanya terjebak dalam sebuah permainan mengenai mitos kedisplinan. Disiplin selalu identik dengan keseriusan dan keteraturan dalam menaati dan mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Tubuh selalu menjadi sasaran dari kedisplinan ini. Pada tubuh, kedisplinan berurusan dengan hal-hal eksternal seperti penampilan, warna rambut, warna sepatu, atau ikat pinggang. Tubuh yang disiplin adalah tubuh yang sesuai dengan “aturan permainan” yang telah ditetapkan. Hal ini pun berlaku pada fenomena pergaulan di luar sekolah yang telah dibentuk oleh MTV dan para idola masa kini. Semuanya ditafsirkan dalam satu kerangka yang sama sehingga tidak dimungkinkan terjadinya dialog dan budaya demokrasi. Orang harus segera dipaksa untuk menyetujui keputusan tersebut tanpa diberi kesempatan untuk memilih atau membuka mulutnya untuk berargumentasi.
Pernyataan demikian tidak berarti bahwa segala peraturan sebaiknya ditiadakan. Tidak ada pretensi untuk menolaknya. Peraturan tetap harus dijalankan sejauh peraturan itu sendiri mampu menjadi alat refleksi, bukan sebuah sentensia (keputusan atau hukuman) yang dapat memunculkan tirani kata-kata yang bersifat monolitik. Peraturan dan hukuman hendaknya membuat si pelanggar menjadi orang yang diselamatkan, bukan orang yang dihukum. Itu berarti bahwa peraturan dan hukuman selalu memiliki makna keselamatan yang harus disingkap. Tanpa makna yang ingin dibangun dalam batin, peraturan hanya menjadi sesosok monster yang menakutkan dan teror belaka. Oleh karena itu, dalam peraturan, haruslah terbangun interaksi dan komunikasi yang santun, yang dipahami oleh masing-masing pihak dalam konteks yang sama dan berusaha tidak melakukan objektifikasi terhadap seseorang daripada yang lainnya.
Dalam peraturan yang cenderung diskriminatif dan berat sebelah, yang tidak mengindahkan segi-segi fungsi komunikatif yang santun antara kedua belah pihak, kekerasan dapat terjadi dengan sangat mudah. Kekerasan di sini biasanya dimulai dengan kekerasan yang bersifat verbal. Kekerasan ini bersifat menyakiti hati dan melemahkan mental. Si pelanggar seolah-olah dianggap sebagai seorang pesakitan akut atau pendosa yang tidak terampuni. Ia tidak diberi kesempatan untuk melakukan apologi. Keadaan demikian tidak akan pernah membuat dirinya menjadi murid yang dapat merefleksikan tindakannya, tetapi justru membuatnya menjadi murid yang bebal dan penuh kebencian. Di sini prinsip bahwa kekuasaan akan melahirkan anti kekuasaan harus sungguh-sungguh dipahami.
Tindak kekerasan verbal ini sebenarnya tidak lebih ringan daripada aksi kekerasan fisik. Aksi yang terakhir itu biasanya merupakan salah satu strategi yang cukup taktis untuk menundukkan tubuh. Jika tubuh dapat dikuasai, mental dan pikiran pun dapat dikuasai dengan lebih mudah. Namun, aksi kekerasan fisik ini tetap saja tidak dapat dibenarkan karena dapat melukai fungsi-fungsi alat tubuh dan menimbulkan dendam yang sangat mendalam. Secara sosial, ketertundukan tubuh ini merupakan simbol dari kehilangan harga diri. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kerap terjadi perlawanan fisik yang tidak terduga dari si pelanggar kepada pihak yang menyakitinya. Semakin ia direpresi atau ditekan, semakin besar pulka keinginannya untuk melakukan aksi balik. Jadi, sebenarnya, dalam proses hukuman itu sendiri, ada semacam perebutan dominasi yang laten di antara kedua belah pihak untuk menjadi satu-satunya penguasa tunggal. Pernyataan ini saya temukan setelah saya menyaksikan dua sequel film Silence of The Lambs, yaitu Hannibal dan Red Dragon. Di sana, pihak yang terhukum pun sebenarnya berusaha untuk menjadi pihak penghukum ketika ia sedang dihadapkan pada komunikasi yang sebenarnya.
D. Komunikasi-Interaksi dan Proses Demokrasi
Saya menyadari bahwa di masa lalupun saya pernah menjadi korban tindak kekerasan di sekolah, baik dalam tingkat verbal maupun fisik. Yang pasti saya tidak berdiri sendiri. Masih ada banyak orang lain yang mengalami hal serupa. Namun, hal itu seringkali hanya menjadi semacam kenangan dan dimaknai sebagai sebuah suvenir dari masa lalu. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh pihak sekolah itu berada pada jaluryang benar dan semestinya dalam rangka menaklukkan kenakan-kenakalan. Padahal apakah kenakalan itu? Bukankah ini sifat kritis yang mampu menunjukkan bahwa kedisplinan itu sebenarnya adalah nomenclature yang tidak pernah dapat dimengerti oleh anak manusia? Sayangnya, retorik ini tidak pernah ada dalam masyarakat kita. Masyarakat kita mudah terbungkam dan membungkamkan dirinya. Walhasil,tetap dipercaya bahwa kenakalan merupakan tindak pemberontakan dari keteraturan, sikap indispliner, dan bukti dari kurangnya pengetahuan. Kenakalan itu sendiri, secara sosial, sudah disepakati sebagai sifat devian yang harus dilawan dengan segala cara. Hukuman adalah salah satu cara bagaimana meredam perangai itu.
Kita tidak mengetahui secara pasti tata etika apakah yang berlaku pada masa kini. Rasa-rasanya tata etika yang kita imani sepuluh tahun yang lalu sudah usang dan bahkan menghilang. Orang sudah tidak dapat membedakan lagi apakah ia berada di tempat yang gelap atau terang, Semuanya menjadi relatif. Dalam kondisi ini segalanya bisa terbalik dan menghilang begitu saja. Peradaban ini telah digiring menuju suatu tempat asing oleh kekuasaan tertentu. Orang sudah tidak memerlukan ritual cuci tangan sebelum makan karena sudah ada sachet yang mampu membersihkan kotoran hanya dalam waktu sekejap. Anak-anak kecil sudah tidak mempedulikan dan mengiyakan nasihat orang tua sehingga dengan mudah menyiram wajah mereka dengan air kotor.
Justru dalam keadaan ini, kekuasaan bisa bersembunyi di mana saja karena seperti yang dinyatakan oleh Michel Foucault, seorang pemikir dari Perancis, kekuasaan itu menyebar dalam setiap ruang kehidupan manusia, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sekolah adalah lembaga potensial yang memungkinkan terjadinya keadaan demikian. Ia bisa sangat represif dan bahkan menimbulkan teror, tidak hanya bagi anak didik tetapi juga bagi para guru itu sendiri. Jika sudah terjerat dalam sistem kekuasaan yang despotis, maka satu-satunya cara untuk menghadapi keadaan itu adalah saling memperkuat interaksi, saling membuka komunikasi, dan saling percaya. Interaksi dan komunikasi akan mengatasi kesenjangan pengertian dan penafsiran yang berbeda-beda. Dikatakan demikian karena di sini otentisitas pluralitas penafsiran tetap dijaga karena merupakan bentuk keunikan yang dapat saling melengkapi. Dalam hal ini, pihak sekolah mau tidak mau harus membuka sekat-sekat yang menghambat hubungan dengan peserta didik dan antarrekan pengajar, seperti keinginan untuk selalu dihormati, pengagungan senioritas, otoritas,dan kebenaran absolut monotafsir. Hal demikian pun berlaku sebaliknya. Ada waktu-waktu tertentu bagi para peserta didik yang telah dianggap mampu menyuarakan kehendaknya untuk duduk satu meja dalam menentukan keputusan yang berhubungan dengan kegiatan bersama. Di sini prinsip kepercayaan menemukan jalannya. Disadari atau tidak, ini adalah langkah-langkah hidup berdemokrasi yang harus ditapaki dengan kesabaran yang sangat tinggi. Komunikasi-interaksi, keterbukaan, kepercayaan, dan partisipasi yang diusahakan terus-menerus ini, minimal, dapat mencegah timbulnya usaha-usaha destruktif di antara kedua belah pihak.

*******

Tidak ada komentar: