Jumat, 07 November 2008

Menjelang Eksekusi; Mengapa Harus Diingat?


Awal Agustus 2006 adalah momen berdarah bagi keluarga Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva.Setelah mendekam selama 5 tahun di penjara Petobo, Palu, mereka bertiga divonis mati oleh pemerintah Indonesia.Konon, mereka adalah dalang kerusuhan sosial di Poso. Konon, mereka juga adalah otak di belakang tragedi kemanusiaan di daerah itu. Gereja Kristen dan Katolik, sejak awal telah menyuarakan bahwa pemerintah seharusnya tidak bersikap tebang pilih pada kasus ini. Menurut data dan fakta yang mereka kumpulkan, dalam kerusuhan itu, ketiga orang Flores ini ditemukan tidak bersalah. Bahkan mereka sesungguhnya sama sekali tidak terlibat dengan kasus tersebut. Mereka berada di Poso secara kebetulan sebagai para pedagang.Namun, pemerintah sudah terlanjur diam. Pemerintah tidak mau mendengar seruan lagi. Pantang bagi pemerintah untuk menjilat ludahnya sendiri.


Beberapa tahun setelah itu, sungguh terbukti bahwa langkah pemerintah dalam menghukum mati Tibo dan teman-temannya adalah sebuah kekeliruan besar yang cukup memalukan. Meskipun dilakukan secara diam-diam, pelaku-pelaku sesungguhnya mulai dimunculkan. Pelaku-pelaku sesungguhnya mulai diperiksa. Pelaku-pelaku sesungguhnya mulai disidangkan. Namun, Tibo dan kawan-kawan telah menjadi korban yang sungguh sia-sia. Nasib mereka naas, tanpa grasi dan dukungan kemanusiaan. Mereka hanya menjadi kambing hitam yang sungguh tidak berdaya.


Hari ini,dua tahun setelah eksekusi Tibo dan kawan-kawan, kita semua sedang was-was menantikan kapan para pelaku Bom Bali I itu dihukum mati. Meski ada sejumlah reaksi pro dan kontra dalam masyarakat, hukuman mati, konon memang menjadi keniscayaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah jauh-jauh hari. Namun, sampai hari ini pun, tidak ada tanda bahwa hukuman kepada para pelaku akan dilakukan. Selama beberapa hari, media televisi yang secara gencar meliput hal ini telah membentuk sejumlah opini publik. Beberapa opini secara tajam menunjuk ketidaktegasan dan kegentaran pemerintah dalam melakukan eksekusi. Secara gamblang polisi dianggap takut karena eksekusi itu akan menimbulkan dampak sosial yang tidak kondusif bagi umat Islam di Indonesia. Beberapa opini mempertanyakan kembali kebenaran penyidikan polisi bahwa Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron adalah dalang dari tragedi di Bali. Ketiga orang ini pun dipandang sebagai bagian dari skenario pemerintah untuk memberikan kesan yang baik di depan mata Amerika, Australia, dan PBB.

Mungkinkah nasib ketiga orang ini-yang tampaknya justru telah menjadi "folk heroes" bagi sebagian orang-serupa dengan nasib ketiga orang yang dieksekusi dua tahun lalu? Lepas dari sejumlah atribut atau simbol agama yang terlihat sangat memusingkan dalam peristiwa itu,kita tampaknya perlu mengkaji kembali seberapa akuratkah eksekusi mati dapat dipergunakan sebagai simbol dari tegaknya hukum?Seberapa dalamkah makna eksekusi mati yang diterapkan oleh pemerintah dapat menggerakkan hati kita untuk membenci kejahatan dan menegakkan keadilan?

Berabad-abad yang lalu, ketika monotheisme ditegakkan di padang tandus Yehuda, ada Sabda yang mensyaratkan hukum balas dendam atau Vendetta sebagai bentuk keadilan. Mata ganti mata. Hidung ganti hidung. Telinga ganti telinga. Bukan berarti, Sabda itu mau merayakan sebuah ritus kekerasan dalam tubuh umatnya. Namun, di balik syarat itu, ada sebuah pengajaran bahwa orang diajak untuk tidak bersikap brutal dan membabi buta. Seperti kondisi sekarang, karena mencuri seekor anak ayam, si maling tewas mengenaskan dengan tubuh terbakar karena siraman bensin dan api massa. Jelas, ini gaya para kanibalis yang pongah!

Hari ini, kita semua sebagai satu bangsa sangat bersimpati dengan keluarga Imam Samudera, Amrozi, dan Ali Ghufron. Di layar televisi, beberapa wajah yang haru mengingatkan kita bahwa kehilangan adalah sebuah petaka yang tidak dapat dilupakan dengan mudah. Entah mereka sungguh bersalah atau tidak dalam tragedi Bali I itu, kita memang tidak pernah mengetahui. Mereka bertiga sudah terlanjur basah masuk ke dalam hukum kausalitas manusia yang angkuh. Hari ini, memahami eksekusi mati tampak lebih rumit daripada memahami kehendak Tuhan. Sebab, bagaimanapun, eksekusi mati adalah sebuah produk masyarakat modern yang paling rasional untuk memaknai keadilan di tengah-tengah rasa benci dan rasa iba.Namun, seberapa jauhkah hal ini mampu menampilkan wajah keadilan sebagai cermin dari karya Tuhan?

Tidak ada komentar: