Senin, 26 Juli 2010

Apa Kabar Pengajaran Sastra di Sekolah?


Tapi lihatlah, di tengah kekejaman dan kesedihan itu nampak anak-anak kera dan anak-anak raksasa riang bermain bersama-sama. Sepasang-sepasang, anak raksasa menggendong seekor anak kera. Lalu berlombalah mereka sampai terengah-engah nafasnya.
(Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin)



Keprihatinan terhadap kondisi kritik sastra dan arah perkembangan sastra Indonesia dewasa ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebelum milenium ini berlangsung, katakanlah, sudah terlaksana beberapa lokakarya, seminar, workshop yang membahas beberapa strategi dan taktik agar keduanya dapat berkembang secara sinergis. Pemikiran-pemikiran cemerlang yang dilontarkan oleh para pemerhati dan intelektual sastra kita pada saat itu masih dapat kita temukan dalam berbagai tulisan. Namun, sampai saat ini, perkembangan yang diharapkan itu masih berada di jalur yang meresahkan dan bahkan sangat kritis. Hasil-hasil diskusi dan pemikiran yang telah dicapai hanya berlalu begitu saja sebagai sebuah peristiwa dan hidup sebagai buku usang yang tertutup. Dalam tulisan singkat ini saya mencoba untuk mempertajam kembali sejauh manakah pengajaran sastra yang diterapkan di kelas-kelas sastra baik di universitas maupun di sekolah-sekolah kita berjalan.

PENGAJARAN SASTRA: SEBATAS PENGETAHUAN?
Secara sadar atau tidak pengajaran sastra hanya terselip dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Seturut dengan perkembangan model kurikulum yang disyaratkan pengajaran sastra hanya mengisi sebagian kecil ruang bahasa. Ada kesan bahwa seolah-olah pengajaran sastra tidak lebih penting daripada pengajaran bahasa itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan pengajaran matematika atau sains yang masih dipuja masyarakat kita, pengajaran sastra benar-benar terpuruk! Kondisi demikian menyebabkan pengajaran sastra menjadi sebuah tanah asing bagi para peserta didik.
Sejauh ini pengajaran sastra juga hanya diperkenalkan dalam sebuah rangkuman mengenai karya-karya kanon yang bermula dari Balai Pustaka, para sastrawan dalam angkatan-angkatan, jenis-jenis genre sastra seperti puisi atau prosa, atau pembacaan puisi dan pantun yang sangat dangkal. Melihat kondisi ruang dan waktu yang sangat terbatas, hal demikian tidak dapat dipersalahkan. Namun, bila kita cermati lagi, maka kita melihat bahwa pengajaran sastra demikian hanya menjadi sebatas pengetahuan (knowledge). Peserta didik hanya diminta untuk menghapal tanpa berusaha diajak untuk melihat sastra sebagai sebuah objek ilmu pengetahuan yang dapat dibandingkan, diaplikasikan, dianalisis, disintesiskan, dan dievaluasi.
Memang ada beberapa strategi yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara pendidikan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya adalah melalui pemisahan pengajaran sastra dengan pengajaran bahasa Indonesia sebagaimana pernah terjadi pada waktu lalu atau mempertahankan program bahasa dan budaya (A4). Namun, hal tersebut pun sangat jarang kita temui pada masa kini karena seolah-olah ada tuntutan “ketertinggalan” dan “status internasional” yang harus sesegera mungkin dijalankan masing-masing sekolah. Selain itu, tuntutan kurikulum mencekik kreativitas bahan-bahan pengajaran. Semakin kurikulum yang disyaratkan pemerintah itu dapat terselesaikan, semakin minimal kekhawatiran para guru bahasa dari kegagalan mereka membawa para murid berhasil dalam Ujian Nasional. Oleh karena itu, dalam kurikulum sehari-hari, pengajaran sastra hanya sesekali disisipkan dalam beberapa kompetensi yang diharapkan seperti membaca, mendengar, menulis, atau berbicara. Namun, apakah hal ini mampu memberikan artikulasi yang bermakna bahwa pengajaran sastra merupakan salah satu strategi budaya untuk semakin memanusiakan manusia? Apakah hal ini mampu menggugah rasa cinta para murid kepada sastra sebagai sebuah dokumen kemanusiaan?
Salah satu strategi yang seringkali dilakukan oleh para guru bahasa yang memiliki idealisme bahwa pengajaran sastra merupakan pengajaran yang khas adalah dengan mengadakan diskusi tentang karya sastra kontemporer. Strategi demikian memang dapat memudahkan mengalirnya beberapa gagasan dari para murid yang seringkali tidak disangka-sangka. Ruang kelas dapat lebih hidup.Pembicaraan mengenai karya sastra akan menjadi ruang pembicaraan tentang kehidupan karena aspek-aspek dalam kehidupan akan tersentuh dengan sendirinya. Kendati begitu, strategi ini memiliki sejumlah konsekuensi yang harus dicermati.
Pertama, guru sebagai fasilitator diskusi, mau tidak mau, harus memiliki wawasan yang luas baik dalam karya itu sendiri maupun aspek-aspek sosiologis, filosofis, politis, agama, atau psikologis yang terkait. Hal ini berarti bahwa diskusi yang difasilitasinya bukanlah sebuah pembicaraan struktural mengenai unsur internal karya sastra itu semata, tetapi bersama-sama melihat sastra sebagai sebuah teks kebudayaan.
Kedua, para murid diandaikan telah membaca karya tersebut sebelumnya. Tanpa pengalaman membaca, proses diskusi ini hanya akan menjadi omong kosong karena akan ada kecenderungan pada guru untuk mendominasi diskusi pada akhirnya.
Ketiga, strategi diskusi ini harus mempertimbangkan karya sastra yang dibicarakan sesuai perkembangan psikologis peserta didik. Diskusi ini sama sekali tidak bersifat sebagai diskusi yang arbitrer (mana suka). Sebagai contoh, apakah tepat jika pembicaraan mengenai Saman karya Ayu Utami atau Orang-orang Bloomington karya Budi Darma menjadi topik diskusi bagi anak kelas enam sekolah dasar? Dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian pertama-tama adalah bobot permasalahan yang ditampilkan dalam karya sastra itu, bukan alusi erotisme atau kekerasan yang dikhawatirkan memberikan pengaruh negatif. Untuk memberikan stimulus agar anak dapat menyukai pembacaan karya sastra, bobot permasalahan karya sastra memang harus diperhatikan sesuai dengan dunia yang dihidupi oleh anak.
Keempat, diskusi ini ditujukan bukan untuk mencari penafsiran yang monolitik melainkan penafsiran yang plural dari berbagai dimensi. Sekali lagi, guru sebagai fasilitator, sama sekali tidak berwenang untuk mematenkan penafsirannya sendiri. Ia hanya merangkum seluruh hasil diskusi sebagai sebuah mosaik yang bermakna. Terakhir, ada baiknya jika diskusi yang lebih menampilkan kemampuan lisan ini diiringi pula dengan kemampuan menulis.
Salah satu strategi dalam pengajaran sastra yang tampaknya belum populer di Indonesia adalah lingkar sastra (literature circles). Strategi pengajaran ini sangat potensial dalam ruang-ruang kelas sekolah dasar sampai menengah di Amerika. Pada awalnya lingkar sastra ini hanya terlihat sebagai sebuah strategi bagaimana program membaca secara lengkap dapat dilakukan. Akan tetapi, bila dicermati lebih dalam, strategi ini justru menawarkan kemampuan berpikir yang dapat dikembangkan secara kreatif oleh murid sendiri. Mereka tidak hanya dapat membaca atau mengidentifikasi informasi dan cerita sebagai sebuah pengetahuan saja tetapi juga mampu membuat korelasi dengan berbagai aspek di sekitar mereka, mengadakan perbandingan melalui prediksi dan penjelasan, menerapkan, menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi informasi yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Rangkaian ini sebenarnya bertujuan untuk membangun apresiasi pada sastra, gaya, dan maksud pengarang yang tercermin dalam cerita, dan untuk menilai selera pribadi atas sebuah cerita. Lingkar sastra ini terbangun melalui kerja kelompok. Dalam setiap kelompok setiap murid memiliki tugasnya masing-masing untuk melakukan sejumlah perbandingan, sintesis, atau evaluasi. Dari sini saja kita dapat melihat bahwa strategi demikian tidak hanya melulu mengarahkan murid kepada pemahaman teks, tetapi juga memunculkan leadership, tanggung jawab, dan penghargaan pada pemikiran setiap individu di antara mereka.

PENGAJARAN SASTRA: MESTIKAH DISINGKIRKAN?
Tampaknya bila kita hanya berkutat pada permasalahan bahwa ada kemandulan dalam kritik sastra kita saja, maka secara tidak langsung kita sendiri melupakan strategi untuk memberikan dasar kritik sastra yang kuat bagi generasi selanjutnya sejak dini. Oleh karena itu, mau tidak mau, kita harus mengarahkan diri kita kembali kepada strategi pengajaran sastra yang lebih kondusif dan inovatif .
Pada dasarnya kritik sastra yang dapat ditanamkan mula-mula adalah melalui kegiatan membaca, mendengarkan cerita atau dongeng, atau bahkan menonton film yang dapat dilakukan oleh murid-murid sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Untuk menghindari kepasifan mereka dalam meresepsi bacaan, dongeng, atau film tersebut, seorang guru bisa saja meminta mereka untuk menceritakan kembali isinya baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini harus dilakukan secara berulang-ulang dan bertahap sesuai dengan perkembangan psikologis mereka.
Akan tetapi, perlu dicermati pula bahwa pengajaran sastra awal ini tidak harus selalu identik dengan teks-teks tertulis yang terdapat dalam buku-buku saja. Pengadaan material seperti panggung boneka, slide film, kostum drama, dan gambar-gambar menjadi sangat penting bagi mereka untuk menumbuhkan minat pada sebuah cerita. Namun, lagi-lagi di sini kita terbentur pada penyusunan kurikulum yang tidak sensitif pada perkembangan psikologis anak bangsa. Pemerintah tampaknya cenderung mempertahankan kurikulum pengajaran dunia ketiga yang terus-menerus harus mengejar ketinggalannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap kita direkrut untuk langsung masuk pada wilayah melek teknologi tanpa penguasaan yang matang terhadap melek huruf dan melek budaya.
Saya melihat bahwa metode diskusi sebagaimana telah digagas di bagian depan, tampaknya dapat dikatakan sebagai jalan tengah pada masa kini untuk meningkatkan mutu pengajaran sastra kita. Akan tetapi, hal ini kiranya akan sia-sia bila pemerintah, fakultas ilmu budaya di universitas-universitas, lembaga-lembaga yang terkait, atau penerbit buku tidak tanggap pada keprihatinan ini. Tentu saja, strategi demikian tidak mutlak bergantung pada peranan guru bahasa semata-mata melainkan juga pada berbagai kebijakan, penyiapan sumber daya, dan pengadaan material pengajaran yang ada seperti buku-buku yang kondusif.
Sampai hari ini pun saya belum melihat adanya usaha serius untuk mengadakan kembali buku leveling yang kontekstual pada dunia anak dalam buku-buku sastra yang dapat diharapkan cocok dengan perkembangan psikologis peserta didik, walaupun sesungguhnya pada tahun 50-60-an usaha demikian pernah dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Setidak-tidaknya, jika kita hanya sepakat untuk menganggap pengajaran sastra sebatas pengetahuan, maka kita perlu merumuskan sebuah core knowledge yang penting dikuasai oleh peserta didik dalam berbagai level sebagaimana telah dilakukan oleh Core Knowledge Foundations yang dibidani oleh E.D. Hirsch, Jr. di Amerika sejak tahun 1986. Dalam Core Knowledge yang digagas oleh yayasan tersebut sebagai bentuk perhatian dari para guru dan orang tua murid, pengajaran sastra menduduki tempat pertama sebagai basis pengetahuan yang mendasari perkembangan imajinasi dan kreatifitas bagi pengetahuan yang lain. (Paul Heru Wibowo)

******

Tidak ada komentar: