Jumat, 23 Juli 2010

Menakar Identitas di Atas Vinyl Cina: Refleksi Diskusi Poster Festival Kesenian Indonesia

“Apakah kita benar-benar sadar dan bangga akan akar budaya kita? Atau hanya di kulit saja? Atau kesadaran itu muncul karena adanya ancaman dari luar?Atau sekadar eforia? Mudah-mudahan tidak berhenti sampai di sini saja.”
(inskripsi dalam poster Mendadak Batik karya Indah Tjahyawulan)


Sejauhmanakah seni dapat merepresentasikan kesadaran akan identitas? Sejauhmanakah seni dapat mengeksplorasi hal itu di dalam dunia global yang begitu jamak dan beragam ini? Kedua pertanyaan ini mungkin hanya menjadi sejumput kecil pertanyaan dalam Festival Kesenian Indonesia yang digelar selama satu bulan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dengan mengambil tema Exploring Root of Identity, festival kali ini ingin menempatkan pembicaraan mengenai identitas sebagai masalah yang cukup mendesak untuk dikaji dalam kehidupan seni dan budaya masyarakat Indonesia. Melalui sejumlah acara seperti seminar, workshop, pameran, dan pertunjukan seni, gagasan mengenai identitas itu digali, dicermati, dan dikritisi.
Dalam festival ini, beberapa desainer poster pun memperoleh kesempatan untuk unjuk gigi. Sebanyak 40 poster yang mereka ciptakan memotret permasalahan identitas dari sejumlah perspektif yang berbeda-beda. Nicholas Wila Adi, misalnya, memotret ilustrasi-ilustrasi yang tersua dalam bak-bak truk yang melintas di sepanjang daerah Pesisir Pantai Utara Jawa. Tampaknya bak-bak truk yang di antaranya berilustrasikan wanita setengah telanjang, pendekar silat, pemandangan, para hero film Hollywood tahun 80-an, atau tokoh punakawan seperti Petruk dan bertuliskan kalimat-kalimat seperti “Mampir Bos,” “Doa Ibu Sepanjang Jalan,” atau “Aku Wis Seneng,” dipandang Nicholas mewakili identitas Indonesia yang sebenarnya. Sementara itu, Danu Widhyatmoko mengaitkan tema identitas secara metaforis dengan gambar pohon besar yang memiliki akar yang begitu kuat dan banyak dengan latar warna merah membara. Sumbo Tinarbuko menghentak publik dengan sebuah poster bertuliskan “Cara Mudah Menjadi 100 % Indonesia” untuk merepresentasikan problem identitas yang dialami oleh masyarakat Indonesia modern. Poster ini seolah-olah ditampilkan oleh Tinarbuko sebagai sebuah petunjuk singkat dan praktis bagaimana masyarakat dapat menumbuhkembangkan identitas ke-Indonesia-annya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam semangat yang sama, Indah Tjahyawulan menampilkan sebuah poster menarik dengan tema “Mendadak Batik”. Uniknya, tema ini dikemas dalam sejumlah status dan komentar yang terdapat pada social networking terbesar di dunia seperti Facebook mengenai hari Batik yang jatuh pada tanggal 2 Oktober lalu.
Untuk memberikan pemahaman kepada publik tentang maksud dan pesan ke-40 poster yang dipamerkan itu, diselenggarakan pula sebuah diskusi. Diskusi yang disampaikan oleh beberapa pembicara seperti Danu, Hani, dan Priyanto cukup menarik untuk dicermati. Dalam perspektif yang berbeda-beda, masing-masing pembicara itu mencoba mengupas hubungan poster dan akar identitas masyarakat Indonesia.
Danu, misalnya, memandang bahwa fungsi poster saat ini tidak diarahkan sebagai sarana propaganda politik melainkan sarana propaganda ekonomi. Karena itu sekitar 20-30 tahun lalu, nilai ekonomis poster bisa menjadi sangat mahal. Akan tetapi, pada saat ini, nilai ekonomis poster ditantang oleh kecanggihan media digital yang mampu memproduksi sekaligus merekayasa produk poster dalam jumlah yang tidak terbatas. Dapat dikatakan bahwa poster telah mengalami metamorfosis yang sangat cepat. Poster bukanlah sekadar sarana informasi dan komunikasi tetapi sudah merambah kepada ideologi dan paradigma yang berkembang di dalam masyarakat modern. Misalnya, poster cuci tangan bukanlah lagi selembar pengumuman atau informasi mengenai pentingnya kita mencuci tangan tetapi telah berubah sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk mencuci tangan secara langsung karena terbuat dari bahan sabun. Menurut Danu, wallpaper yang dipergunakan pada komputer pun pada saat ini dapat dikategorisasikan sebagai poster. Perkembangan yang begitu cepat dalam dunia poster seolah-olah ingin memberikan pesan bahwa teknologi dapat memaksimalkan pesan dan informasi. Tentu saja, sangat diharapkan bahwa pesan yang telah dielaborasi ini memiliki dampak yang sangat baik kepada masyarakat.
Sementara itu, Hani mencoba untuk membicarakan sejumlah pola yang dapat dilihat dari hasil karya sejumlah desainer dalam pameran kali ini. Sayang, pembahasannya terlalu berkesan simplistik dan tidak menampilkan analisis yang dapat menjelaskan hubungan identitas dan seni. Kendati begitu, dalam ulasannya Hani menanyakan apakah di dalam pameran ini ada kesadaran yang bertolak pada target spesifik.
Lain halnya dengan kedua pembicara sebelumya, Priyanto lebih menerangkan keberadaan poster sebagai sebuah karya seni secara teoretis. Ia menyatakan bahwa pada mulanya poster dipergunakan Martin Luther, perintis gerakan reformasi, di gereja Wittenberg untuk menggugat gereja Katolik pada tanggal 31 Oktober 1517. Pada perkembangan berikutnya, poster dipergunakan sebagai sarana berdagang. Akan tetapi, setelah itu, terutama di Rusia, poster dipergunakan sebagai sarana propaganda politik untuk menyerang kekuasaan Tzar. Sifatnya yang subversif seolah-olah menjadi penanda utama dalam poster. Lambat laun keberadaan poster mulai berubah lagi. Polandia, menurut Priyanto, adalah salah satu negara yang memberikan pengaruh yang cukup besar pada perkembangan pembuatan poster film. Poster-poster tersebut dibuat dalam pola yang tidak kaku, tetapi terlihat sangat sentimentil, romantis, dan emosional. Poster a la Polandia ini menjadi sumber inspirasi bagi gerakan avant garde yang dimotori oleh Andy Warholl dan para desainer poster progresif sampai hari ini.
Dari pameran dan diskusi ini, saya melihat beberapa pertanyaan yang menarik untuk dipikirkan lebih lanjut. Pertanyaan pertama adalah apakah keberadaan unsur bahasa di dalam poster begitu penting sehingga harus selalu disandingkan dengan bentuk-bentuk grafis? Sejauh ini saya melihat bahwa unsur bahasa seperti tulisan dipergunakan oleh para desainer poster untuk menerangkan maksud atau makna gambar. Ketergantungan terhadap tulisan tampak begitu kental sebagaimana tersua pada poster yang dielaborasi oleh Sumbo Tinarbuko atau Indah Tjahyawulan. Poster-poster itu akan kehilangan makna jika unsur bahasa dihilangkan dan unsur grafis ditonjolkan. posisi ini sangat dilematis. Di satu pihak, jika unsur bahasa terlalu ditekankan, ada kecenderungan bahwa poster hanya menjadi alat propaganda. Di pihak lain, jika unsur gambar terlalu ditekankan, ada kecenderungan bahwa poster tidak menyatakan apa-apa kecuali sebuah lukisan.
Pertanyaan kedua adalah bagaimanakan bentuk poster dapat dielaborasi di masa depan? Berdasarkan penjelasan yang disampaikan Danu, saya semakin percaya bahwa cepat atau lambat para desainer poster akan beralih kepada media digital sebagai salah satu perangkat kerja yang sangat penting. Teknologi ini jelas menjadi pilihan para desainer yang menjual gagasannya demi propaganda ideologi ekonomi neoliberalisme yang pada saat ini terus-menerus berakar sangat kuat. Poster bukan lagi sebuah media yang dibentuk oleh pencil and paper dan berdimensi dua. Poster masa depan adalah sebuah media multidimensi yang sudah sangat menyerupai kehidupan itu sendiri. Apakah kondisi demikian dapat disebut sebagai kondisi post-poster dimana realitas poster telah menjadi sebuah pseudo organisme yang bergerak, hidup, dan melingkupi praktik kehidupan sehari-hari secara kasat mata sehingga post-poster ini terejawantahkan dalam posture diri kita ?
Pertanyaan terakhir adalah apakah persoalan identitas sungguh-sungguh dapat direpresentasikan dalam media grafis seperti poster? Apakah bahasa gambar dan bahasa verbal di dalam poster mampu merepresentasikan serangkaian wacana sosial dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat mengenai identitas bangsa Indonesia yang terbelah di antara tradisionalitas dan modernitas? Sekilas, dari ke-40 poster yang ditampilkan, persoalan itu telah terjawab. Namun, hipotesis sementara saya adalah bahwa identitas memang sangat metaforis seperti pohon besar dengan akar-akar yang kuat. Tentu saja, penggambaran identitas di atas Vinyl Cina itu bukanlah sebuah proses akal-akalan. (Paul Heru Wibowo)

********

Tidak ada komentar: