


Jacko, Surip, dan Rendra
“Dalam berkarya, tidak pernah saya mengkonsentrasikan diri terhadap orisinalitas atau kebaruan tetapi konsentrasi saya kerahkan untuk setia pada hati nurani saya dan kepada hidup.”
(WS Rendra, “Mempertimbangkan Tradisi”)
T |
idak ada seorang pun yang menyangka bahwa dalam dua bulan terakhir ini, kita kehilangan tiga nama populer dalam dunia kesenian. Pada awal bulan Juli,dunia dikejutkan oleh kematian the king of pop, Michael Jackson. Hal ini sungguh menyentak jutaan penggemarnya. Pasalnya, Jacko pernah menjanjikan bahwa di tahun ini pula ia akan kembali menghibur para penggemarnya dengan energi dan performance yang lebih segar. Konon, karena itu pula, tiket rencana pertunjukannya telah diburu habis oleh para penggemarnya di belahan Eropa.
Belum kering air mata, di bulan Agustus ini, kita kehilangan lagi dua nama sekaligus; Mbah Surip dan WS Rendra. Di tengah ketenarannya yang fenomenal, Mbah Surip, pelantun tembang Tak Gendong dan Bangun Tidur, justru menghadap yang Mahakuasa. Kemunculannya di dunia hiburan ternyata cukup singkat. Masyarakat tidak dapat mendengarkan celotehnya yang jenaka dan
Sementara itu, Rendra yang kita kenal sebagai salah satu penyair besar Indonesia, selain Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri, sehari setelah kematian Mbah Surip, meninggalkan dunia ini selamanya. Padahal, konon kabarnya, menjelang tanggal 17 Agustus nanti, penyair yang dijuluki sebagai si burung merak itu masih berpartisipasi bersama Kantata Takwa dalam pagelaran konser kemerdekaan.
Bagi saya, baik Jacko, Surip,maupun Rendra adalah tiga nama yang patut dicatat dalam sejarah kebudayaan manusia modern. Di satu sisi, mereka adalah para public figure yang sukses dalam panggung kesenian modern. Oleh masyarakat, mereka dianggap sebagai orang-orang yang memiliki pesona dan kharisma tersendiri di atas panggung kesenian. Kendati demikian, perlu diakui bahwa kesuksesan yang mereka peroleh itu bukanlah sebuah hal yang didapat secara instan. Mereka adalah wajah manusia modern yang mau tekun untuk bekerja keras. Setiap mereka memiliki sejumlah kisah pahit di balik ketenaran nama mereka.
Ketenaran Jacko bukanlah dimulai ketika ia berusia 25 tahun atau 30 tahun. Ia memulai karirnya sejak usianya masih begitu muda. Bersama saudara-saudaranya, ia berlatih sebagai seorang penghibur sejati. Jalan yang ia tempuh ini pun tidak mudah. Ia harus menempa dirinya dalam disiplin keras dan kasar yang diterapkan sang ayah. Tidak jarang, sebagai anak, ia harus merelakan hak-haknya diperkosa sang ayah. Sebagai remaja, ia harus merelakan sebagian hidupnya untuk diperas habis oleh kapitalisme hiburan yang memandang dirinya sebagai mesin uang baru. Setelah MTV berdiri pada tanggal 1 Agustus 1981, Jacko, boleh dibilang, telah menjual seluruh dirinya.Sejak saat itu, Jacko hadir bagai sebuah bom bagi dunia hiburan. Suara, goyang badannya, tangan, dan kakinya telah menguras isi hati dan air mata penggemarnya. Tiba-tiba saja Jacko muncul sebagai seorang dewa hiburan di jagad ini. Karena itu, bukan tempatnya jika kita menyalahkannya karena secara tiba-tiba Jacko yang hitam, pesek, dan kribo itu bermetamorfosis sebagai penyanyi berkulit putih, berhidung mancung, dan berdagu belah. Itu adalah tuntutan kapitalisme hiburan a la Amerika yang harus dilakoni Jacko sampai akhir hayatnya. Ia harus terus bersandiwara dengan identitasnya yang sejati..
Mbah Surip pun bernasib sama. Identitasnya tidak diketahui, sesungguhnya. Namun, kisah kehidupannya begitu getir. Konon, selama duapuluh tahun lebih dia tidak pernah memiliki rumah untuk bernaung dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam. Ia sudah lama menjadi duda karena sang istri begitu kecewa kepadanya. Cintanya kandas, meski ia begitu menyayangi anak-anaknya. Kisahnya yang tragis begitu mirip dengan lagu-lagu blues yang dinyanyikan musikus
Bukan hal yang kebetulan pula jika pada masa Orde Baru, Rendra dikenal sebagai seorang hero dalam dunia kepenyairan di
Namun, di balik kisah kehidupan mereka yang heroik itu, hal yang sangat tragis terjadi. Setelah kematian mereka, kita dapat melihat bahwa mereka bertiga bukanlah lagi ikon-ikon perlawanan terhadap modernitas yang kaku. Jacko bukanlah lagi ikon penentang rasialisme yang sangat kental seperti tercermin dalam lagunya Black and White.Mbah Surip bukanlah lagi penentang sikap masyarakat Jakarta yang masa bodoh dan tidak peduli kepada sesamanya seperti tercermin dalam lagu Tak Gendong. Rendra bukanlah lagi penentang kondisi pendidikan
Sampai peti matinya tertutup, Jacko masih tereksploitasi. Ia masih menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam berita-berita gossip seolah-olah kematiannya hanyalah sebuah sandiwara yang biasa ditayangkan dalam program reality show. Oleh media, kematiannya diarahkan sebagai sebuah tindakan yang tidak wajar. Akibatnya ada semacam kesan yang terbentuk di dalam masyarakat bahwa kematiannya seolah-olah disangsikan. Berita mengenai munculnya hantu Jacko ini pun menjadi klimaks menjelang pemakamannya
Hal yang sama terjadi pula pada Mbah Surip. Sampai hari ini, jenazah Mbah Surip masih menjadi komoditas yang menarik. Kisah kehidupannya terus diulang-ulang dalam berbagai tayangan televisi swasta. Bahkan untuk memperoleh informasi yang akurat tentang dirinya, dihadirkan sejumlah tokoh dari seniman sampai politisi. SBY pun tiba-tiba saja “urun rembug” memberikan opini tentang Mbah Surip. Sebagai kabar terakhir, makamnya saat ini menjadi tempat yang sangat sakral lengkap dengan juru kunci dan jam kunjung bagi sejumlah orang yang masih bergelut dengan togel dan korupsi.
Sementara itu, Rendra menjadi tokoh yang paling bernasib tragis. Di saat dunia sastra
Jacko, Mbah Surip, dan Rendra adalah ikon korban peradaban masyarakat modern yang terlanjur maruk dengan media
********