Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.
(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Menurut Sindhunata, salah satu tugas sastra Indonesia pascareformasi adalah menemukan kembali masa lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama rezim Orde Baru berkuasa banyak kebenaran masa lalu yang terpendam. Tugas yang diemban oleh ilmu sejarah untuk menguaknya sungguh berat. Karena itu, sejarah membutuhkan partner yang dapat menggali kebenaran tersebut.
Sebagaimana dinyatakan Joachim Fest, seorang filsuf Jerman, masa lalu perlu didekati dengan fantasi, intuisi, dan rasa ingin tahu yang manusiawi, selain penggalian sumber-sumber sejarah secara ilmiah. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu sesungguhnya tidak dapat dilacak di dalam sejarah sebab kebenaran yang asli dan sejati hanya terdapat di dalam roman.
Sastra memiliki tugas yang sama dengan sejarah yaitu mengingat masa lalu agar bisa ditemukan kebenaran di dalamnya. Sindhunata menyatakan bahwa aktivitas mengingat sangatlah penting, terutama dalam konteks pembentukan bangsa. Ini pun bukanlah tugas yang mudah. Hal demikian dapat dipahami karena masa lalu manusia Indonesia begitu gelap dan sulit ditembus. Selama rezim Orde Baru data-data sejarah sama sekali tidak dapat transparan.
Dalam beberapa hal, faktor ingatan jugalah yang menuntun Sindhunata untuk menuliskan sebuah novel yang berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga, dan Telegram Duka. Novel ini terinspirasi oleh lukisan Djoko Pekik yang berjudul Indonesia Tahun 2000: Berburu Celeng. Dalam lukisan itu digambarkan bagaimana seekor celeng raksasa tertangkap, dipikul oleh dua orang kurus kering, yang menjadi simbol dari wong cilik, dan disaksikan oleh sekian banyak rakyat.
Dalam novel itu Sindhunata menengarai bahwa celeng bukanlah binatang biasa melainkan makhluk yang kerasukan roh jahat sehingga ia menjadi serakah, rakus, bengis, dan haus kuasa. Setelah mengamati dengan saksama lukisan Djoko Pekik itu, ia begitu terkejut dan sampai kepada sebuah simpulan bahwa kejahatan celeng ternyata tidak dapat mati. Daya roh jahat yang dimilikinya membuat kejahatannya justru semakin lebih hidup, berlipat ganda, dan menulari siapa saja. Reformasi 1998 yang berniat membunuh celeng justru menghidupkannya kembali dan bahkan merasuki sekian banyak orang yang berniat merajamnya. Untuk menggambarkan situasi ini, Sindhunata mengutip lakon wayang yang dipentaskan oleh Ki Dhalang Manteb Soedharsono, Lengji Lengbeh (Celeng Siji, Celeng Kabeh, Satu Celeng, Semuanya Celeng). Karena hal itu, celeng dianggapnya bukan lagi mewakili sebuah simbol dalam sebuah penulisan sastra, melainkan suatu ingatan sejarah dan kultur bahwa bangsa ini akan terus terancam oleh nafsu, egoisme, rakus, serakah, haus kuasa, kejam, dan bengis.
Kendati begitu, Sindhunata juga tidak dapat menyangkal bahwa menghadapi dan mengolah ingatan-ingatan kultural bukanlah sesuatu yang mudah. Sejauh ini isi, makna, dan historitas idiom kultural seringkali tidak mudah dikupas. Selain itu, sarana, refleksi, dan catatan mengenai hal itu sama sekali tidak tersedia. Sindhunata mengakui bahwa warisan kultural itu sudah lama tidak ditangani dan hanya hidup sebagai ideologi belaka dalam pemerintahan Orde Baru.
Karena itu, untuk membuka kembali warisan kultural tersebut, sastra harus mengandalkan kekuatannya sendiri, yaitu bahasa atau kata-kata. Bahasa bukanlah sekadar sebuah sarana tetapi justru menjadi tujuan karena bukan hanya “dengan bahasa” melainkan juga “dalam bahasa-lah” ingatan kultural itu tercipta sebagai realitas yang baru. Pendek kata, sastra dan bahasanya menjadi pembebas bagi ingatan kultural yang terbelenggu itu.Dalam hal ini, kebebasan yang hendak dicapai sastra, menurut Sindhunata, berkaitan erat dengan manusia dan kemanusiaanya. Wilayah kebebasan demikian jauh lebih luas dan tinggi daripada kebebasan yang diimpikan politik, ekonomi, dan kehidupan intelektual.
********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar