Senin, 26 Juli 2010
Apa Kabar Pengajaran Sastra di Sekolah?
Tapi lihatlah, di tengah kekejaman dan kesedihan itu nampak anak-anak kera dan anak-anak raksasa riang bermain bersama-sama. Sepasang-sepasang, anak raksasa menggendong seekor anak kera. Lalu berlombalah mereka sampai terengah-engah nafasnya.
(Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin)
Keprihatinan terhadap kondisi kritik sastra dan arah perkembangan sastra Indonesia dewasa ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebelum milenium ini berlangsung, katakanlah, sudah terlaksana beberapa lokakarya, seminar, workshop yang membahas beberapa strategi dan taktik agar keduanya dapat berkembang secara sinergis. Pemikiran-pemikiran cemerlang yang dilontarkan oleh para pemerhati dan intelektual sastra kita pada saat itu masih dapat kita temukan dalam berbagai tulisan. Namun, sampai saat ini, perkembangan yang diharapkan itu masih berada di jalur yang meresahkan dan bahkan sangat kritis. Hasil-hasil diskusi dan pemikiran yang telah dicapai hanya berlalu begitu saja sebagai sebuah peristiwa dan hidup sebagai buku usang yang tertutup. Dalam tulisan singkat ini saya mencoba untuk mempertajam kembali sejauh manakah pengajaran sastra yang diterapkan di kelas-kelas sastra baik di universitas maupun di sekolah-sekolah kita berjalan.
PENGAJARAN SASTRA: SEBATAS PENGETAHUAN?
Secara sadar atau tidak pengajaran sastra hanya terselip dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Seturut dengan perkembangan model kurikulum yang disyaratkan pengajaran sastra hanya mengisi sebagian kecil ruang bahasa. Ada kesan bahwa seolah-olah pengajaran sastra tidak lebih penting daripada pengajaran bahasa itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan pengajaran matematika atau sains yang masih dipuja masyarakat kita, pengajaran sastra benar-benar terpuruk! Kondisi demikian menyebabkan pengajaran sastra menjadi sebuah tanah asing bagi para peserta didik.
Sejauh ini pengajaran sastra juga hanya diperkenalkan dalam sebuah rangkuman mengenai karya-karya kanon yang bermula dari Balai Pustaka, para sastrawan dalam angkatan-angkatan, jenis-jenis genre sastra seperti puisi atau prosa, atau pembacaan puisi dan pantun yang sangat dangkal. Melihat kondisi ruang dan waktu yang sangat terbatas, hal demikian tidak dapat dipersalahkan. Namun, bila kita cermati lagi, maka kita melihat bahwa pengajaran sastra demikian hanya menjadi sebatas pengetahuan (knowledge). Peserta didik hanya diminta untuk menghapal tanpa berusaha diajak untuk melihat sastra sebagai sebuah objek ilmu pengetahuan yang dapat dibandingkan, diaplikasikan, dianalisis, disintesiskan, dan dievaluasi.
Memang ada beberapa strategi yang dilakukan oleh beberapa penyelenggara pendidikan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya adalah melalui pemisahan pengajaran sastra dengan pengajaran bahasa Indonesia sebagaimana pernah terjadi pada waktu lalu atau mempertahankan program bahasa dan budaya (A4). Namun, hal tersebut pun sangat jarang kita temui pada masa kini karena seolah-olah ada tuntutan “ketertinggalan” dan “status internasional” yang harus sesegera mungkin dijalankan masing-masing sekolah. Selain itu, tuntutan kurikulum mencekik kreativitas bahan-bahan pengajaran. Semakin kurikulum yang disyaratkan pemerintah itu dapat terselesaikan, semakin minimal kekhawatiran para guru bahasa dari kegagalan mereka membawa para murid berhasil dalam Ujian Nasional. Oleh karena itu, dalam kurikulum sehari-hari, pengajaran sastra hanya sesekali disisipkan dalam beberapa kompetensi yang diharapkan seperti membaca, mendengar, menulis, atau berbicara. Namun, apakah hal ini mampu memberikan artikulasi yang bermakna bahwa pengajaran sastra merupakan salah satu strategi budaya untuk semakin memanusiakan manusia? Apakah hal ini mampu menggugah rasa cinta para murid kepada sastra sebagai sebuah dokumen kemanusiaan?
Salah satu strategi yang seringkali dilakukan oleh para guru bahasa yang memiliki idealisme bahwa pengajaran sastra merupakan pengajaran yang khas adalah dengan mengadakan diskusi tentang karya sastra kontemporer. Strategi demikian memang dapat memudahkan mengalirnya beberapa gagasan dari para murid yang seringkali tidak disangka-sangka. Ruang kelas dapat lebih hidup.Pembicaraan mengenai karya sastra akan menjadi ruang pembicaraan tentang kehidupan karena aspek-aspek dalam kehidupan akan tersentuh dengan sendirinya. Kendati begitu, strategi ini memiliki sejumlah konsekuensi yang harus dicermati.
Pertama, guru sebagai fasilitator diskusi, mau tidak mau, harus memiliki wawasan yang luas baik dalam karya itu sendiri maupun aspek-aspek sosiologis, filosofis, politis, agama, atau psikologis yang terkait. Hal ini berarti bahwa diskusi yang difasilitasinya bukanlah sebuah pembicaraan struktural mengenai unsur internal karya sastra itu semata, tetapi bersama-sama melihat sastra sebagai sebuah teks kebudayaan.
Kedua, para murid diandaikan telah membaca karya tersebut sebelumnya. Tanpa pengalaman membaca, proses diskusi ini hanya akan menjadi omong kosong karena akan ada kecenderungan pada guru untuk mendominasi diskusi pada akhirnya.
Ketiga, strategi diskusi ini harus mempertimbangkan karya sastra yang dibicarakan sesuai perkembangan psikologis peserta didik. Diskusi ini sama sekali tidak bersifat sebagai diskusi yang arbitrer (mana suka). Sebagai contoh, apakah tepat jika pembicaraan mengenai Saman karya Ayu Utami atau Orang-orang Bloomington karya Budi Darma menjadi topik diskusi bagi anak kelas enam sekolah dasar? Dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian pertama-tama adalah bobot permasalahan yang ditampilkan dalam karya sastra itu, bukan alusi erotisme atau kekerasan yang dikhawatirkan memberikan pengaruh negatif. Untuk memberikan stimulus agar anak dapat menyukai pembacaan karya sastra, bobot permasalahan karya sastra memang harus diperhatikan sesuai dengan dunia yang dihidupi oleh anak.
Keempat, diskusi ini ditujukan bukan untuk mencari penafsiran yang monolitik melainkan penafsiran yang plural dari berbagai dimensi. Sekali lagi, guru sebagai fasilitator, sama sekali tidak berwenang untuk mematenkan penafsirannya sendiri. Ia hanya merangkum seluruh hasil diskusi sebagai sebuah mosaik yang bermakna. Terakhir, ada baiknya jika diskusi yang lebih menampilkan kemampuan lisan ini diiringi pula dengan kemampuan menulis.
Salah satu strategi dalam pengajaran sastra yang tampaknya belum populer di Indonesia adalah lingkar sastra (literature circles). Strategi pengajaran ini sangat potensial dalam ruang-ruang kelas sekolah dasar sampai menengah di Amerika. Pada awalnya lingkar sastra ini hanya terlihat sebagai sebuah strategi bagaimana program membaca secara lengkap dapat dilakukan. Akan tetapi, bila dicermati lebih dalam, strategi ini justru menawarkan kemampuan berpikir yang dapat dikembangkan secara kreatif oleh murid sendiri. Mereka tidak hanya dapat membaca atau mengidentifikasi informasi dan cerita sebagai sebuah pengetahuan saja tetapi juga mampu membuat korelasi dengan berbagai aspek di sekitar mereka, mengadakan perbandingan melalui prediksi dan penjelasan, menerapkan, menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi informasi yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Rangkaian ini sebenarnya bertujuan untuk membangun apresiasi pada sastra, gaya, dan maksud pengarang yang tercermin dalam cerita, dan untuk menilai selera pribadi atas sebuah cerita. Lingkar sastra ini terbangun melalui kerja kelompok. Dalam setiap kelompok setiap murid memiliki tugasnya masing-masing untuk melakukan sejumlah perbandingan, sintesis, atau evaluasi. Dari sini saja kita dapat melihat bahwa strategi demikian tidak hanya melulu mengarahkan murid kepada pemahaman teks, tetapi juga memunculkan leadership, tanggung jawab, dan penghargaan pada pemikiran setiap individu di antara mereka.
PENGAJARAN SASTRA: MESTIKAH DISINGKIRKAN?
Tampaknya bila kita hanya berkutat pada permasalahan bahwa ada kemandulan dalam kritik sastra kita saja, maka secara tidak langsung kita sendiri melupakan strategi untuk memberikan dasar kritik sastra yang kuat bagi generasi selanjutnya sejak dini. Oleh karena itu, mau tidak mau, kita harus mengarahkan diri kita kembali kepada strategi pengajaran sastra yang lebih kondusif dan inovatif .
Pada dasarnya kritik sastra yang dapat ditanamkan mula-mula adalah melalui kegiatan membaca, mendengarkan cerita atau dongeng, atau bahkan menonton film yang dapat dilakukan oleh murid-murid sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Untuk menghindari kepasifan mereka dalam meresepsi bacaan, dongeng, atau film tersebut, seorang guru bisa saja meminta mereka untuk menceritakan kembali isinya baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini harus dilakukan secara berulang-ulang dan bertahap sesuai dengan perkembangan psikologis mereka.
Akan tetapi, perlu dicermati pula bahwa pengajaran sastra awal ini tidak harus selalu identik dengan teks-teks tertulis yang terdapat dalam buku-buku saja. Pengadaan material seperti panggung boneka, slide film, kostum drama, dan gambar-gambar menjadi sangat penting bagi mereka untuk menumbuhkan minat pada sebuah cerita. Namun, lagi-lagi di sini kita terbentur pada penyusunan kurikulum yang tidak sensitif pada perkembangan psikologis anak bangsa. Pemerintah tampaknya cenderung mempertahankan kurikulum pengajaran dunia ketiga yang terus-menerus harus mengejar ketinggalannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap kita direkrut untuk langsung masuk pada wilayah melek teknologi tanpa penguasaan yang matang terhadap melek huruf dan melek budaya.
Saya melihat bahwa metode diskusi sebagaimana telah digagas di bagian depan, tampaknya dapat dikatakan sebagai jalan tengah pada masa kini untuk meningkatkan mutu pengajaran sastra kita. Akan tetapi, hal ini kiranya akan sia-sia bila pemerintah, fakultas ilmu budaya di universitas-universitas, lembaga-lembaga yang terkait, atau penerbit buku tidak tanggap pada keprihatinan ini. Tentu saja, strategi demikian tidak mutlak bergantung pada peranan guru bahasa semata-mata melainkan juga pada berbagai kebijakan, penyiapan sumber daya, dan pengadaan material pengajaran yang ada seperti buku-buku yang kondusif.
Sampai hari ini pun saya belum melihat adanya usaha serius untuk mengadakan kembali buku leveling yang kontekstual pada dunia anak dalam buku-buku sastra yang dapat diharapkan cocok dengan perkembangan psikologis peserta didik, walaupun sesungguhnya pada tahun 50-60-an usaha demikian pernah dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Setidak-tidaknya, jika kita hanya sepakat untuk menganggap pengajaran sastra sebatas pengetahuan, maka kita perlu merumuskan sebuah core knowledge yang penting dikuasai oleh peserta didik dalam berbagai level sebagaimana telah dilakukan oleh Core Knowledge Foundations yang dibidani oleh E.D. Hirsch, Jr. di Amerika sejak tahun 1986. Dalam Core Knowledge yang digagas oleh yayasan tersebut sebagai bentuk perhatian dari para guru dan orang tua murid, pengajaran sastra menduduki tempat pertama sebagai basis pengetahuan yang mendasari perkembangan imajinasi dan kreatifitas bagi pengetahuan yang lain. (Paul Heru Wibowo)
******
Jumat, 23 Juli 2010
Menakar Identitas di Atas Vinyl Cina: Refleksi Diskusi Poster Festival Kesenian Indonesia
“Apakah kita benar-benar sadar dan bangga akan akar budaya kita? Atau hanya di kulit saja? Atau kesadaran itu muncul karena adanya ancaman dari luar?Atau sekadar eforia? Mudah-mudahan tidak berhenti sampai di sini saja.”
(inskripsi dalam poster Mendadak Batik karya Indah Tjahyawulan)
Sejauhmanakah seni dapat merepresentasikan kesadaran akan identitas? Sejauhmanakah seni dapat mengeksplorasi hal itu di dalam dunia global yang begitu jamak dan beragam ini? Kedua pertanyaan ini mungkin hanya menjadi sejumput kecil pertanyaan dalam Festival Kesenian Indonesia yang digelar selama satu bulan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dengan mengambil tema Exploring Root of Identity, festival kali ini ingin menempatkan pembicaraan mengenai identitas sebagai masalah yang cukup mendesak untuk dikaji dalam kehidupan seni dan budaya masyarakat Indonesia. Melalui sejumlah acara seperti seminar, workshop, pameran, dan pertunjukan seni, gagasan mengenai identitas itu digali, dicermati, dan dikritisi.
Dalam festival ini, beberapa desainer poster pun memperoleh kesempatan untuk unjuk gigi. Sebanyak 40 poster yang mereka ciptakan memotret permasalahan identitas dari sejumlah perspektif yang berbeda-beda. Nicholas Wila Adi, misalnya, memotret ilustrasi-ilustrasi yang tersua dalam bak-bak truk yang melintas di sepanjang daerah Pesisir Pantai Utara Jawa. Tampaknya bak-bak truk yang di antaranya berilustrasikan wanita setengah telanjang, pendekar silat, pemandangan, para hero film Hollywood tahun 80-an, atau tokoh punakawan seperti Petruk dan bertuliskan kalimat-kalimat seperti “Mampir Bos,” “Doa Ibu Sepanjang Jalan,” atau “Aku Wis Seneng,” dipandang Nicholas mewakili identitas Indonesia yang sebenarnya. Sementara itu, Danu Widhyatmoko mengaitkan tema identitas secara metaforis dengan gambar pohon besar yang memiliki akar yang begitu kuat dan banyak dengan latar warna merah membara. Sumbo Tinarbuko menghentak publik dengan sebuah poster bertuliskan “Cara Mudah Menjadi 100 % Indonesia” untuk merepresentasikan problem identitas yang dialami oleh masyarakat Indonesia modern. Poster ini seolah-olah ditampilkan oleh Tinarbuko sebagai sebuah petunjuk singkat dan praktis bagaimana masyarakat dapat menumbuhkembangkan identitas ke-Indonesia-annya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam semangat yang sama, Indah Tjahyawulan menampilkan sebuah poster menarik dengan tema “Mendadak Batik”. Uniknya, tema ini dikemas dalam sejumlah status dan komentar yang terdapat pada social networking terbesar di dunia seperti Facebook mengenai hari Batik yang jatuh pada tanggal 2 Oktober lalu.
Untuk memberikan pemahaman kepada publik tentang maksud dan pesan ke-40 poster yang dipamerkan itu, diselenggarakan pula sebuah diskusi. Diskusi yang disampaikan oleh beberapa pembicara seperti Danu, Hani, dan Priyanto cukup menarik untuk dicermati. Dalam perspektif yang berbeda-beda, masing-masing pembicara itu mencoba mengupas hubungan poster dan akar identitas masyarakat Indonesia.
Danu, misalnya, memandang bahwa fungsi poster saat ini tidak diarahkan sebagai sarana propaganda politik melainkan sarana propaganda ekonomi. Karena itu sekitar 20-30 tahun lalu, nilai ekonomis poster bisa menjadi sangat mahal. Akan tetapi, pada saat ini, nilai ekonomis poster ditantang oleh kecanggihan media digital yang mampu memproduksi sekaligus merekayasa produk poster dalam jumlah yang tidak terbatas. Dapat dikatakan bahwa poster telah mengalami metamorfosis yang sangat cepat. Poster bukanlah sekadar sarana informasi dan komunikasi tetapi sudah merambah kepada ideologi dan paradigma yang berkembang di dalam masyarakat modern. Misalnya, poster cuci tangan bukanlah lagi selembar pengumuman atau informasi mengenai pentingnya kita mencuci tangan tetapi telah berubah sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk mencuci tangan secara langsung karena terbuat dari bahan sabun. Menurut Danu, wallpaper yang dipergunakan pada komputer pun pada saat ini dapat dikategorisasikan sebagai poster. Perkembangan yang begitu cepat dalam dunia poster seolah-olah ingin memberikan pesan bahwa teknologi dapat memaksimalkan pesan dan informasi. Tentu saja, sangat diharapkan bahwa pesan yang telah dielaborasi ini memiliki dampak yang sangat baik kepada masyarakat.
Sementara itu, Hani mencoba untuk membicarakan sejumlah pola yang dapat dilihat dari hasil karya sejumlah desainer dalam pameran kali ini. Sayang, pembahasannya terlalu berkesan simplistik dan tidak menampilkan analisis yang dapat menjelaskan hubungan identitas dan seni. Kendati begitu, dalam ulasannya Hani menanyakan apakah di dalam pameran ini ada kesadaran yang bertolak pada target spesifik.
Lain halnya dengan kedua pembicara sebelumya, Priyanto lebih menerangkan keberadaan poster sebagai sebuah karya seni secara teoretis. Ia menyatakan bahwa pada mulanya poster dipergunakan Martin Luther, perintis gerakan reformasi, di gereja Wittenberg untuk menggugat gereja Katolik pada tanggal 31 Oktober 1517. Pada perkembangan berikutnya, poster dipergunakan sebagai sarana berdagang. Akan tetapi, setelah itu, terutama di Rusia, poster dipergunakan sebagai sarana propaganda politik untuk menyerang kekuasaan Tzar. Sifatnya yang subversif seolah-olah menjadi penanda utama dalam poster. Lambat laun keberadaan poster mulai berubah lagi. Polandia, menurut Priyanto, adalah salah satu negara yang memberikan pengaruh yang cukup besar pada perkembangan pembuatan poster film. Poster-poster tersebut dibuat dalam pola yang tidak kaku, tetapi terlihat sangat sentimentil, romantis, dan emosional. Poster a la Polandia ini menjadi sumber inspirasi bagi gerakan avant garde yang dimotori oleh Andy Warholl dan para desainer poster progresif sampai hari ini.
Dari pameran dan diskusi ini, saya melihat beberapa pertanyaan yang menarik untuk dipikirkan lebih lanjut. Pertanyaan pertama adalah apakah keberadaan unsur bahasa di dalam poster begitu penting sehingga harus selalu disandingkan dengan bentuk-bentuk grafis? Sejauh ini saya melihat bahwa unsur bahasa seperti tulisan dipergunakan oleh para desainer poster untuk menerangkan maksud atau makna gambar. Ketergantungan terhadap tulisan tampak begitu kental sebagaimana tersua pada poster yang dielaborasi oleh Sumbo Tinarbuko atau Indah Tjahyawulan. Poster-poster itu akan kehilangan makna jika unsur bahasa dihilangkan dan unsur grafis ditonjolkan. posisi ini sangat dilematis. Di satu pihak, jika unsur bahasa terlalu ditekankan, ada kecenderungan bahwa poster hanya menjadi alat propaganda. Di pihak lain, jika unsur gambar terlalu ditekankan, ada kecenderungan bahwa poster tidak menyatakan apa-apa kecuali sebuah lukisan.
Pertanyaan kedua adalah bagaimanakan bentuk poster dapat dielaborasi di masa depan? Berdasarkan penjelasan yang disampaikan Danu, saya semakin percaya bahwa cepat atau lambat para desainer poster akan beralih kepada media digital sebagai salah satu perangkat kerja yang sangat penting. Teknologi ini jelas menjadi pilihan para desainer yang menjual gagasannya demi propaganda ideologi ekonomi neoliberalisme yang pada saat ini terus-menerus berakar sangat kuat. Poster bukan lagi sebuah media yang dibentuk oleh pencil and paper dan berdimensi dua. Poster masa depan adalah sebuah media multidimensi yang sudah sangat menyerupai kehidupan itu sendiri. Apakah kondisi demikian dapat disebut sebagai kondisi post-poster dimana realitas poster telah menjadi sebuah pseudo organisme yang bergerak, hidup, dan melingkupi praktik kehidupan sehari-hari secara kasat mata sehingga post-poster ini terejawantahkan dalam posture diri kita ?
Pertanyaan terakhir adalah apakah persoalan identitas sungguh-sungguh dapat direpresentasikan dalam media grafis seperti poster? Apakah bahasa gambar dan bahasa verbal di dalam poster mampu merepresentasikan serangkaian wacana sosial dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat mengenai identitas bangsa Indonesia yang terbelah di antara tradisionalitas dan modernitas? Sekilas, dari ke-40 poster yang ditampilkan, persoalan itu telah terjawab. Namun, hipotesis sementara saya adalah bahwa identitas memang sangat metaforis seperti pohon besar dengan akar-akar yang kuat. Tentu saja, penggambaran identitas di atas Vinyl Cina itu bukanlah sebuah proses akal-akalan. (Paul Heru Wibowo)
********
(inskripsi dalam poster Mendadak Batik karya Indah Tjahyawulan)
Sejauhmanakah seni dapat merepresentasikan kesadaran akan identitas? Sejauhmanakah seni dapat mengeksplorasi hal itu di dalam dunia global yang begitu jamak dan beragam ini? Kedua pertanyaan ini mungkin hanya menjadi sejumput kecil pertanyaan dalam Festival Kesenian Indonesia yang digelar selama satu bulan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dengan mengambil tema Exploring Root of Identity, festival kali ini ingin menempatkan pembicaraan mengenai identitas sebagai masalah yang cukup mendesak untuk dikaji dalam kehidupan seni dan budaya masyarakat Indonesia. Melalui sejumlah acara seperti seminar, workshop, pameran, dan pertunjukan seni, gagasan mengenai identitas itu digali, dicermati, dan dikritisi.
Dalam festival ini, beberapa desainer poster pun memperoleh kesempatan untuk unjuk gigi. Sebanyak 40 poster yang mereka ciptakan memotret permasalahan identitas dari sejumlah perspektif yang berbeda-beda. Nicholas Wila Adi, misalnya, memotret ilustrasi-ilustrasi yang tersua dalam bak-bak truk yang melintas di sepanjang daerah Pesisir Pantai Utara Jawa. Tampaknya bak-bak truk yang di antaranya berilustrasikan wanita setengah telanjang, pendekar silat, pemandangan, para hero film Hollywood tahun 80-an, atau tokoh punakawan seperti Petruk dan bertuliskan kalimat-kalimat seperti “Mampir Bos,” “Doa Ibu Sepanjang Jalan,” atau “Aku Wis Seneng,” dipandang Nicholas mewakili identitas Indonesia yang sebenarnya. Sementara itu, Danu Widhyatmoko mengaitkan tema identitas secara metaforis dengan gambar pohon besar yang memiliki akar yang begitu kuat dan banyak dengan latar warna merah membara. Sumbo Tinarbuko menghentak publik dengan sebuah poster bertuliskan “Cara Mudah Menjadi 100 % Indonesia” untuk merepresentasikan problem identitas yang dialami oleh masyarakat Indonesia modern. Poster ini seolah-olah ditampilkan oleh Tinarbuko sebagai sebuah petunjuk singkat dan praktis bagaimana masyarakat dapat menumbuhkembangkan identitas ke-Indonesia-annya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam semangat yang sama, Indah Tjahyawulan menampilkan sebuah poster menarik dengan tema “Mendadak Batik”. Uniknya, tema ini dikemas dalam sejumlah status dan komentar yang terdapat pada social networking terbesar di dunia seperti Facebook mengenai hari Batik yang jatuh pada tanggal 2 Oktober lalu.
Untuk memberikan pemahaman kepada publik tentang maksud dan pesan ke-40 poster yang dipamerkan itu, diselenggarakan pula sebuah diskusi. Diskusi yang disampaikan oleh beberapa pembicara seperti Danu, Hani, dan Priyanto cukup menarik untuk dicermati. Dalam perspektif yang berbeda-beda, masing-masing pembicara itu mencoba mengupas hubungan poster dan akar identitas masyarakat Indonesia.
Danu, misalnya, memandang bahwa fungsi poster saat ini tidak diarahkan sebagai sarana propaganda politik melainkan sarana propaganda ekonomi. Karena itu sekitar 20-30 tahun lalu, nilai ekonomis poster bisa menjadi sangat mahal. Akan tetapi, pada saat ini, nilai ekonomis poster ditantang oleh kecanggihan media digital yang mampu memproduksi sekaligus merekayasa produk poster dalam jumlah yang tidak terbatas. Dapat dikatakan bahwa poster telah mengalami metamorfosis yang sangat cepat. Poster bukanlah sekadar sarana informasi dan komunikasi tetapi sudah merambah kepada ideologi dan paradigma yang berkembang di dalam masyarakat modern. Misalnya, poster cuci tangan bukanlah lagi selembar pengumuman atau informasi mengenai pentingnya kita mencuci tangan tetapi telah berubah sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk mencuci tangan secara langsung karena terbuat dari bahan sabun. Menurut Danu, wallpaper yang dipergunakan pada komputer pun pada saat ini dapat dikategorisasikan sebagai poster. Perkembangan yang begitu cepat dalam dunia poster seolah-olah ingin memberikan pesan bahwa teknologi dapat memaksimalkan pesan dan informasi. Tentu saja, sangat diharapkan bahwa pesan yang telah dielaborasi ini memiliki dampak yang sangat baik kepada masyarakat.
Sementara itu, Hani mencoba untuk membicarakan sejumlah pola yang dapat dilihat dari hasil karya sejumlah desainer dalam pameran kali ini. Sayang, pembahasannya terlalu berkesan simplistik dan tidak menampilkan analisis yang dapat menjelaskan hubungan identitas dan seni. Kendati begitu, dalam ulasannya Hani menanyakan apakah di dalam pameran ini ada kesadaran yang bertolak pada target spesifik.
Lain halnya dengan kedua pembicara sebelumya, Priyanto lebih menerangkan keberadaan poster sebagai sebuah karya seni secara teoretis. Ia menyatakan bahwa pada mulanya poster dipergunakan Martin Luther, perintis gerakan reformasi, di gereja Wittenberg untuk menggugat gereja Katolik pada tanggal 31 Oktober 1517. Pada perkembangan berikutnya, poster dipergunakan sebagai sarana berdagang. Akan tetapi, setelah itu, terutama di Rusia, poster dipergunakan sebagai sarana propaganda politik untuk menyerang kekuasaan Tzar. Sifatnya yang subversif seolah-olah menjadi penanda utama dalam poster. Lambat laun keberadaan poster mulai berubah lagi. Polandia, menurut Priyanto, adalah salah satu negara yang memberikan pengaruh yang cukup besar pada perkembangan pembuatan poster film. Poster-poster tersebut dibuat dalam pola yang tidak kaku, tetapi terlihat sangat sentimentil, romantis, dan emosional. Poster a la Polandia ini menjadi sumber inspirasi bagi gerakan avant garde yang dimotori oleh Andy Warholl dan para desainer poster progresif sampai hari ini.
Dari pameran dan diskusi ini, saya melihat beberapa pertanyaan yang menarik untuk dipikirkan lebih lanjut. Pertanyaan pertama adalah apakah keberadaan unsur bahasa di dalam poster begitu penting sehingga harus selalu disandingkan dengan bentuk-bentuk grafis? Sejauh ini saya melihat bahwa unsur bahasa seperti tulisan dipergunakan oleh para desainer poster untuk menerangkan maksud atau makna gambar. Ketergantungan terhadap tulisan tampak begitu kental sebagaimana tersua pada poster yang dielaborasi oleh Sumbo Tinarbuko atau Indah Tjahyawulan. Poster-poster itu akan kehilangan makna jika unsur bahasa dihilangkan dan unsur grafis ditonjolkan. posisi ini sangat dilematis. Di satu pihak, jika unsur bahasa terlalu ditekankan, ada kecenderungan bahwa poster hanya menjadi alat propaganda. Di pihak lain, jika unsur gambar terlalu ditekankan, ada kecenderungan bahwa poster tidak menyatakan apa-apa kecuali sebuah lukisan.
Pertanyaan kedua adalah bagaimanakan bentuk poster dapat dielaborasi di masa depan? Berdasarkan penjelasan yang disampaikan Danu, saya semakin percaya bahwa cepat atau lambat para desainer poster akan beralih kepada media digital sebagai salah satu perangkat kerja yang sangat penting. Teknologi ini jelas menjadi pilihan para desainer yang menjual gagasannya demi propaganda ideologi ekonomi neoliberalisme yang pada saat ini terus-menerus berakar sangat kuat. Poster bukan lagi sebuah media yang dibentuk oleh pencil and paper dan berdimensi dua. Poster masa depan adalah sebuah media multidimensi yang sudah sangat menyerupai kehidupan itu sendiri. Apakah kondisi demikian dapat disebut sebagai kondisi post-poster dimana realitas poster telah menjadi sebuah pseudo organisme yang bergerak, hidup, dan melingkupi praktik kehidupan sehari-hari secara kasat mata sehingga post-poster ini terejawantahkan dalam posture diri kita ?
Pertanyaan terakhir adalah apakah persoalan identitas sungguh-sungguh dapat direpresentasikan dalam media grafis seperti poster? Apakah bahasa gambar dan bahasa verbal di dalam poster mampu merepresentasikan serangkaian wacana sosial dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat mengenai identitas bangsa Indonesia yang terbelah di antara tradisionalitas dan modernitas? Sekilas, dari ke-40 poster yang ditampilkan, persoalan itu telah terjawab. Namun, hipotesis sementara saya adalah bahwa identitas memang sangat metaforis seperti pohon besar dengan akar-akar yang kuat. Tentu saja, penggambaran identitas di atas Vinyl Cina itu bukanlah sebuah proses akal-akalan. (Paul Heru Wibowo)
********
Menemukan Kembali Masa Lalu
Almost everything we call "higher culture" is based on the spiritualization and intensification of cruelty- this is my proposition; the "wild beast" has not been laid to rest, it lives, it flourishes, it has merely become-deified.
(Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, 1885).
Menurut Sindhunata, salah satu tugas sastra Indonesia pascareformasi adalah menemukan kembali masa lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama rezim Orde Baru berkuasa banyak kebenaran masa lalu yang terpendam. Tugas yang diemban oleh ilmu sejarah untuk menguaknya sungguh berat. Karena itu, sejarah membutuhkan partner yang dapat menggali kebenaran tersebut.
Sebagaimana dinyatakan Joachim Fest, seorang filsuf Jerman, masa lalu perlu didekati dengan fantasi, intuisi, dan rasa ingin tahu yang manusiawi, selain penggalian sumber-sumber sejarah secara ilmiah. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu sesungguhnya tidak dapat dilacak di dalam sejarah sebab kebenaran yang asli dan sejati hanya terdapat di dalam roman.
Sastra memiliki tugas yang sama dengan sejarah yaitu mengingat masa lalu agar bisa ditemukan kebenaran di dalamnya. Sindhunata menyatakan bahwa aktivitas mengingat sangatlah penting, terutama dalam konteks pembentukan bangsa. Ini pun bukanlah tugas yang mudah. Hal demikian dapat dipahami karena masa lalu manusia Indonesia begitu gelap dan sulit ditembus. Selama rezim Orde Baru data-data sejarah sama sekali tidak dapat transparan.
Dalam beberapa hal, faktor ingatan jugalah yang menuntun Sindhunata untuk menuliskan sebuah novel yang berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga, dan Telegram Duka. Novel ini terinspirasi oleh lukisan Djoko Pekik yang berjudul Indonesia Tahun 2000: Berburu Celeng. Dalam lukisan itu digambarkan bagaimana seekor celeng raksasa tertangkap, dipikul oleh dua orang kurus kering, yang menjadi simbol dari wong cilik, dan disaksikan oleh sekian banyak rakyat.
Dalam novel itu Sindhunata menengarai bahwa celeng bukanlah binatang biasa melainkan makhluk yang kerasukan roh jahat sehingga ia menjadi serakah, rakus, bengis, dan haus kuasa. Setelah mengamati dengan saksama lukisan Djoko Pekik itu, ia begitu terkejut dan sampai kepada sebuah simpulan bahwa kejahatan celeng ternyata tidak dapat mati. Daya roh jahat yang dimilikinya membuat kejahatannya justru semakin lebih hidup, berlipat ganda, dan menulari siapa saja. Reformasi 1998 yang berniat membunuh celeng justru menghidupkannya kembali dan bahkan merasuki sekian banyak orang yang berniat merajamnya. Untuk menggambarkan situasi ini, Sindhunata mengutip lakon wayang yang dipentaskan oleh Ki Dhalang Manteb Soedharsono, Lengji Lengbeh (Celeng Siji, Celeng Kabeh, Satu Celeng, Semuanya Celeng). Karena hal itu, celeng dianggapnya bukan lagi mewakili sebuah simbol dalam sebuah penulisan sastra, melainkan suatu ingatan sejarah dan kultur bahwa bangsa ini akan terus terancam oleh nafsu, egoisme, rakus, serakah, haus kuasa, kejam, dan bengis.
Kendati begitu, Sindhunata juga tidak dapat menyangkal bahwa menghadapi dan mengolah ingatan-ingatan kultural bukanlah sesuatu yang mudah. Sejauh ini isi, makna, dan historitas idiom kultural seringkali tidak mudah dikupas. Selain itu, sarana, refleksi, dan catatan mengenai hal itu sama sekali tidak tersedia. Sindhunata mengakui bahwa warisan kultural itu sudah lama tidak ditangani dan hanya hidup sebagai ideologi belaka dalam pemerintahan Orde Baru.
Karena itu, untuk membuka kembali warisan kultural tersebut, sastra harus mengandalkan kekuatannya sendiri, yaitu bahasa atau kata-kata. Bahasa bukanlah sekadar sebuah sarana tetapi justru menjadi tujuan karena bukan hanya “dengan bahasa” melainkan juga “dalam bahasa-lah” ingatan kultural itu tercipta sebagai realitas yang baru. Pendek kata, sastra dan bahasanya menjadi pembebas bagi ingatan kultural yang terbelenggu itu.Dalam hal ini, kebebasan yang hendak dicapai sastra, menurut Sindhunata, berkaitan erat dengan manusia dan kemanusiaanya. Wilayah kebebasan demikian jauh lebih luas dan tinggi daripada kebebasan yang diimpikan politik, ekonomi, dan kehidupan intelektual.
********